Ponpes Attaqwa Putra menjadi tuan rumah Halaqah Fiqih Peradaban dengan tema Fiqih Siyasah dan Negara Bangsa, Selasa (22/11/2022).
Halaqah yang digelar di Aula Serbaguna Yayasan Attaqwa Komplek Ponpes Attaqwa Putra, Ujungharapan Bahagia Babelan Bekasi, tersebut diselenggarakan Ponpes Attaqwa bekerja sama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Kementerian Agama RI.
Sebagai narasumber Halaqah adalah Katib Syuriah PBNU KH. M. Faiz Syukron Makmun, MA.; Ketua Umum Yayasan Attaqwa KH. Irfan Mas’ud, MA; dan Direktur Pascasarjana Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta Dr. KH. M. Azizan Fitriyana, MA.
Turut hadir sekaligus membuka halaqah Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi H. Asnawi, S.Ag.
Pimpinan Ponpes Attaqwa Putra KH. Husnul Amal. D.E.S.A. dalam kalimat tarhibnya mengungkapkan bahwa halaqah ini digelar dengan kekuatan silaturahmi.
Diantara tujuannya agar para alim ulama dapat lebih intens bermudzakarah (diskusi) dan berkontribusi menjawab tantangan realitas perubahan zaman serta peradaban baru.
Tentunya tantangan ini akan menjadi mudah dihadapi jika dapat di jawab secara kolektif sekaligus disosialisasikan oleh para ulama dan tokoh-tokoh Islam.
Oleh karenanya Ponpes Attaqwa turut menjadi bagian dari perhelatan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dalam menyambut usia satu abadnya di mana salah satu programnya adalah menggelar Serial Halaqah Fiqih Peradaban di 250 pesantren seluruh Indonesia.
Sementara Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, H. Asnawi, S.Ag., menyambut gembira dan mengapresiasi halaqah semacam ini yang merupakan salah satu tradisi penting yang sudah dikembangkan oleh para ulama pesantren.
Oleh karenanya dia berharap tradisi penting ini patut dijaga agar pada gilirannya para lulusan pesantren tidak gagap menjawab tantangan zaman bahkan bisa mengisi ruang-ruang berkarya dalam mengisi dan membangun peradaban dan bangsa.
Sesi Halaqah yang dimoderatori oleh H. Fathun Mubarok, MA. memulai pembahasan dengan Fiqih Siyasah dan Relasi Ideal Pesantren dan Negara dalam Konsep Negara Bangsa.
KH. Faiz Syukron Makmum, MA., sebagai narasumber pertama mengatakan tema unik ini tidak banyak dibahas dalam serial halaqah di pesantren lainnya yang banyak menitikberatkan kepada konsep siyasah syar’iyyah, fiqih minoritas dan kewarganegaraan juga relasi dengan tatanan dunia baru.
Katib Syuriah PBNU yang akrab dipanggil Gus Faiz ini menekankan bahwa relasi pesantren dan negara sangatlah kuat.
Dalam konteks keindonesiaan beliau tegaskan lahirnya republik ini tidak lepas dari peran pesantren dan para ulamanya.
Begitupun dinamika yang terjadi di dalamnya dari negara Republik Indonesia berdiri hingga sekarang pesantren dan ulamanya memainkan peranan penting dalam negara.
“Ijtihad NU memberikan gelar Presiden Soekarno ‘Waliyyul Amri Ad-Dhoruri bis Syaukah’ itu hadir bukan dari ruang kosong, tapi karena menjawab tantangan zaman itu di mana pemerintah semakin otoriter dan bahkan dapat membubarkan partai sebesar Masyumi,” ungkap Gus Faiz.
Menurutnya, hal itu sekaligus juga menjawab tantangan hukum fiqih sebagai solusi agar pernikahan para perempuan Indonesia yang tidak punya wali nasab dapat menjadi sah secara agama dengan walinya kepada hakim (pemerintah) yang sah.
“Begitupun fatwa jihad Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari hadir menjawab pertanyaan masyarakat bagaimana hukumnya membela bangsa dan negara di zaman perjuangan revolusi mempertahankan kemerdekaan,” terangnya memberi contoh.
Membuka paparannya dalam tema Peran Pesantren dan Negara dalam Mewujudkan Masyarakat Madani, Pimpinan Umum Yayasan Attaqwa KH. Irfan Mas’ud, MA. menggarisbawahi bahwa dalam konteks membangun peradaban, fiqih siyasah masuk dalam persoalan muamalah (interaksi sosial).
Lebih lanjut ditambahkannya bahwa prinsip muamalah adalah boleh (al-ibahah) dilakukan selama tidak ada dalil pasti yang melarangnya.
Bahkan dalam muamalah prinsip yang dipraktekkan adalah terus melakukan inovasi (al-ibtida’) untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik.
Dan oleh karena itu diperlukan tajdid (pembaharuan) yang berkelanjutan. Dijelaskannya bahwa pembaruan berkelanjutan ini memiliki tiga pilar utama.
Mengutip ceramah ilmiah Syeikh al-Musnid Dr. Usamah Sayyid Al-Azhari beberapa waktu lalu di UIN Jakarta, bahwa tiga pilar tajdid itu adalah harus mengerti nash (teks keagamaan), mengerti waqi’ (realitas zaman) dan mengkorelasikan dengan baik keduanya (husnur ribth baynan nash wal waqi’).
“Maka apapun sistemnya dalam bernegara tidak pernah dipersoalkan Islam, asal dapat mewujudkan empat tujuan akhir dari bernegara, yaitu dapat menjamin terwujudnya keadilan (al-‘adalah), persamaan (al-musawah), kebebasan (al-hurriyyah) dan musyawarah (as-syura),” tambahnya.
Lebih lanjut Pimpinan Umum Yayasan Attaqwa mengelaborasikan bahwa dalam mewujudkan masyarakat madani antara negara dan masyarakat (baca: pesantren) bisa berbagi peran dalam kerjasama yang bersifat komplementer.
“Pengalaman pahit dasawarsa 70-an dan 80-an tentu tidak boleh terulang lagi, di mana kalangan pesantren diminta partisipasinya sebagai pelengkap untuk menyukseskan program-program pembangunan Orba, tapi tidak pernah dilibatkan dalam penentuan arah kebijakan pembangunan,” tegasnya.
Selanjutnya beliau mencontohkan bagaimana pesantren telah membuktikan perannya untuk membantu tugas-tugas negara dalam menyejahterakan rakyat dan memberikan jaminan pendidikan bagi semua kalangan.
“Pendiri Attaqwa KH. Noer Ali membangun konsepnya dalam sebuah istilah Perkampungan Surga dengan tiga pilar utamanya, membangun pendidikan dan sekolah-sekolah di bawah Perguruan Attaqwa, mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui Dewan Masjid Attaqwa dan memberdayakan ekonomi masyarakat melalui Lembaga Wakaf Attaqwa”, pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments