Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Libur Ramadan Momentum Menyulam Moderasi Agama

Libur Ramadan Momentum Menyulam Moderasi Agama

Kabarumat.co – Ketika waktu berhenti sejenak di Ramadan, pendidikan agama memiliki peluang besar untuk menjadi mercusuar yang membimbing generasi muda melewati derasnya arus globalisasi. Dalam sunyi dan khidmatnya Ramadan, kita dapat memanfaatkan momentum ini untuk membangun kesadaran akan pentingnya moderasi dalam beragama. Bukan sekadar ajang ibadah personal, tetapi juga ruang kolektif untuk merefleksikan nilai-nilai yang menghubungkan manusia satu sama lain dalam harmoni.

Diskursus tentang libur sekolah selama Ramadan menjadi relevan dengan wacana ini. Pemerintah mengungkapkan bahwa kebijakan libur di bulan puasa 2025 masih dalam pembahasan dan diserahkan kepada kewenangan masing-masing daerah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam mengelola waktu belajar selama Ramadan, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan agama yang lebih kontekstual.

Di tengah gempuran informasi dan derasnya ideologi global, pendidikan agama moderat bukan hanya relevan, melainkan mendesak. Moderasi agama adalah jembatan antara tradisi yang mengakar dan modernitas yang kian menggoda. Benedict Anderson, melalui konsep “imagined community (2016),” mengajarkan bahwa identitas kolektif terbangun melalui narasi bersama. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk merekatkan kembali narasi ini dalam bingkai moderasi, agar generasi muda mampu menjadi bagian dari komunitas global tanpa kehilangan pijakan lokal.

Namun, bagaimana membangun narasi yang moderat? Dalam dinamika sosial yang terus berubah, pendidikan agama tidak bisa lagi terpaku pada pendekatan tekstual yang statis. Teori adaptasi dari Talcott Parsons (2012) memberikan inspirasi: pendidikan agama harus menjadi sistem yang luwes, mampu merespons perubahan zaman tanpa kehilangan intisarinya. Ramadan, dengan segala kekhusyukannya, adalah waktu ideal untuk melatih fleksibilitas ini.

Guru agama memiliki peran kunci dalam menyulam nilai-nilai moderasi di tengah kompleksitas modernitas. Mereka bukan sekadar penyampai ajaran, tetapi penjaga makna yang mampu menjembatani dunia tradisi dengan realitas kontemporer. Dalam ruang kelas atau pesantren kilat selama Ramadan, mereka dapat menciptakan dialog yang mendalam, menghubungkan hikmah puasa dengan tantangan globalisasi.

Pendidikan agama yang moderat harus mampu melihat modernitas bukan sebagai ancaman, tetapi peluang. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa madrasah dan lembaga pendidikan lainnya lahir dari semangat moderasi yang mengadopsi modernisasi tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional. Ramadan, dengan semangat pembaruan yang dibawanya, menawarkan ruang untuk melanjutkan tradisi ini.

Namun, perjalanan menuju moderasi tidak selalu mulus. Trauma sejarah dan ketakutan akan perubahan sering kali menjadi tembok penghalang. Kelompok-kelompok konservatif cenderung melihat modernisasi sebagai ancaman terhadap kemurnian ajaran agama. Ramadan dapat menjadi momen untuk meruntuhkan tembok ini, membangun dialog yang inklusif, dan menunjukkan bahwa moderasi adalah jalan tengah yang menguatkan, bukan melemahkan.

Mengapa moderasi penting? Di dunia yang semakin plural, moderasi menjadi benteng yang melindungi nilai-nilai toleransi. Toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga tentang merayakan keragaman sebagai kekayaan. Pendidikan agama selama Ramadan harus menjadi laboratorium untuk menanamkan nilai-nilai ini, agar siswa tidak hanya memahami agamanya sendiri, tetapi juga menghormati keyakinan orang lain.

Teknologi informasi, meski sering dianggap ancaman, sebenarnya adalah sekutu yang potensial. Di bulan Ramadan, teknologi dapat digunakan untuk memperkaya pengalaman spiritual siswa. Misalnya, program daring yang interaktif dapat memperluas wawasan mereka tentang Islam di berbagai belahan dunia. Namun, teknologi juga membawa tantangan: arus informasi yang tidak terkendali dapat menjadi pintu masuk bagi ideologi ekstrem. Pendidikan agama moderat harus mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan kendali atas nilai-nilai inti yang ingin ditanamkan.

Peran guru agama semakin strategis di era digital ini. Mereka harus menjadi navigator yang membimbing siswa melalui lautan informasi, memastikan mereka tidak terjebak dalam pusaran ideologi yang destruktif. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk mengasah keterampilan ini, menjadikan pendidikan agama sebagai pelindung dari ancaman globalisasi yang tidak terkendali.

Era digital juga membuka peluang kolaborasi internasional dalam pendidikan agama. Ramadan bisa menjadi momen untuk menjalin koneksi dengan komunitas Muslim global, menciptakan rasa kebersamaan yang melampaui batas geografis. Namun, akses global ini harus diimbangi dengan pendidikan kritis tentang cara memilah informasi dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab.

Transformasi pendidikan agama selama Ramadan harus diarahkan untuk menciptakan generasi yang kuat secara spiritual dan intelektual. Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, pendidikan agama dapat menjadi benteng melawan ideologi radikal, sekaligus menyiapkan siswa untuk menjadi pemimpin yang toleran dan visioner.

Pendidikan agama yang berbasis teknologi tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Guru harus menjadi fasilitator yang membantu siswa memahami bagaimana nilai-nilai agama relevan dalam konteks kehidupan mereka. Ramadan, dengan segala maknanya, menjadi platform untuk menyampaikan pesan ini dengan cara yang lebih personal dan mendalam.

Moderasi dalam pendidikan agama juga berarti mengintegrasikan nilai-nilai universal ke dalam ajaran agama. Ramadan adalah waktu untuk merenungkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, dan empati, yang tidak hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, pendidikan agama selama Ramadan tidak hanya membangun iman, tetapi juga memperkuat kemanusiaan.

Pada akhirnya, pendidikan agama yang moderat adalah kunci untuk menghadapi tantangan globalisasi. Ramadan memberikan kita peluang untuk merefleksikan bagaimana nilai-nilai agama dapat menjadi solusi atas masalah-masalah global, dari konflik hingga ketidakadilan sosial. Pendidikan agama yang moderat menunjukkan bahwa agama dan modernitas bukanlah dua kutub yang bertentangan, tetapi dua sisi dari mata uang yang sama.

Ramadan adalah waktu untuk membangun kembali narasi agama yang relevan dan inklusif. Pendidikan agama harus menjadi alat untuk menciptakan generasi yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga mampu menjadi agen perubahan yang membawa kedamaian dan keadilan. Dengan memanfaatkan momentum Ramadan, kita dapat melangkah lebih dekat menuju visi ini, menciptakan dunia di mana nilai-nilai agama dan kemanusiaan hidup berdampingan dalam harmoni.

Oleh: Syamsul Kurniawan (Penulis adalah Ketua Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban, PW Muhammadiyah Kalimantan Barat.)