Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Solusi Hukum Mengakhiri Pernikahan Saat Suami Hilang Tanpa Kabar

Solusi Hukum Mengakhiri Pernikahan saat Suami Hilang tanpa Kabar

Kabarumat.co – Alur perkawinan tak selamanya mulus. Halangan, rintangan, dan godaan kerap menerjang mahligai rumah tangga. Bahkan, tak jarang berakhir dengan perceraian di meja pengadilan. Di antara sederet permasalahan suami-istri, ada pula istri yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa kejelasan: apakah bercerai atau masih berstatus suami-istri.

Jika masih berstatus suami-istri, bagaimana kelangsungan nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya? Jika istri sudah tidak sabar dan ingin menikah lagi, berapa lama ia harus menunggu? Bagaimana cara istri mengakhiri pernikahan dengan suami yang meninggalkannya?

Dilansir NU Online, syariat menetapkan bahwa selama tidak ada ikrar talak dari suami atau keputusan hakim, status pernikahan masih sah meskipun suami telah meninggalkan istri dalam waktu yang lama.

Dalam literatur hukum Islam, suami yang meninggalkan istri sering disebut sebagai suami mafqud atau suami ghaib, yaitu suami yang hilang kabar dan kontak tanpa diketahui tempat tinggalnya, atau meskipun diketahui, tidak ada kepastian apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Menurut pandangan para ulama mazhab, masalah suami yang meninggalkan istri ini disarankan untuk diselesaikan oleh hakim di pengadilan. Salah satu contohnya adalah kasus yang diajukan kepada Umar bin Khathab. 

عن يحيى بن جعدة أن رجلاً استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث ‌أربع ‌سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج

Artinya: “Diriwayatkan dari Yahya bin Ju’dah, ada seorang laki-laki yang disihir oleh jin sehingga menghilang dan meninggalkan istrinya. Maka sang istri pun mengadu kepada Umar bin al-Khathab. Umar memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani masa iddah, dan boleh menikah kembali.”

Ini juga menjadi kesimpulan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya, dengan alasan bahwa jika pembatalan nikah (fasakh) dibolehkan karena kesulitan berjimak akibat impotensi atau kesulitan nafkah karena kemiskinan, maka apalagi dengan hilangnya suami. (Lihat: Abu Ishaq asy-Syairazi, Al-Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2010], jilid 3, hal. 123).

Namun, dalam qaul jadid-nya, Imam Syafii menyimpulkan bahwa suami tidak boleh dihukumi meninggal sampai ada bukti kuat atau setelah berlalunya waktu di mana dipastikan suami tidak mungkin lagi hidup.

Pendapat para ulama mazhab dijelaskan lebih lanjut oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili. Menurut ulama Hanafi, masalah ini sebaiknya diserahkan kepada hakim yang harus menunggu, berijtihad, dan mengambil keputusan berdasarkan bukti dan kemaslahatan. Sesuai dengan pernyataan Sayidina Ali:

امرأة المفقود امرأة ابتليت فلتصبر، لا تنكح حتى يأتيها يقين موته

Artinya: “Perempuan yang kehilangan suami adalah perempuan yang diuji. Maka bersabarlah! Jangan menikah sampai ada keyakinan akan kematian suaminya.”

Hal serupa dikemukakan oleh ulama Hanbali. Mereka sependapat dengan ulama Hanafi bahwa jika suami hilang dan diduga masih hidup, maka hakim harus memutuskan berdasarkan bukti kuat. Namun, jika hilangnya suami diasumsikan karena kematian, seperti pergi berperang, hakim boleh memutuskan kematiannya setelah empat tahun sejak suami menghilang.

Menurut ulama Maliki, suami hilang bisa diputus kematiannya setelah empat tahun sejak istri mengajukan perkara ke pengadilan. Setelah itu, istri menjalani masa iddah wafat dan dapat menikah kembali jika mau.

Ada juga pendapat lain dari ulama Maliki yang mengatakan bahwa hakim dapat memisahkan suami-istri setelah satu tahun atau lebih sejak hilangnya suami. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr, 2013], jilid X, hal. 7893).

Di Indonesia, kasus istri yang ditinggalkan suami tanpa kepastian sudah diantisipasi dengan sighat ta’liq yang dibacakan oleh pengantin pria setelah akad nikah, isinya sebagai berikut:

“Setelah akad nikah, saya (nama pengantin pria) berjanji dengan sungguh hati, bahwa saya akan mempergauli istri saya (nama pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’liq sebagai berikut: Apabila saya: Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut; Tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama 3 (tiga) bulan; Menyakiti badan/jasmani istri saya, atau Membiarkan istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih; dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak ridha dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, maka jika gugatannya diterima dan istri saya membayar Rp 10.000 sebagai iwadh (pengganti), jatuhlah talak saya satu kepadanya.” (Lihat: Lampiran Buku Nikah).

Jika suami melakukan hal-hal di atas, termasuk meninggalkan istri tanpa kabar selama dua tahun, istri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Jika gugatannya diterima, talak jatuh satu sesuai dengan sighat ta’liq yang dibacakan.

Jika tidak terikat sighat ta’liq, istri yang ditinggalkan suami minimal dua tahun dapat mengajukan gugatan suami mafqud atau suami ghaib sesuai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Lihat: Ahmad Syahrus, Menolak Kemudharatan dalam Perkara Gugatan, [Bandung: Citra Aditya Bakti, 2020], halaman 5).

Syarat-syarat untuk mengajukan cerai dengan alasan suami mafqud atau ghaib di Pengadilan Agama adalah:
1. Fotokopi identitas diri dan alamat lengkap penggugat.
2. Fotokopi surat keterangan ghaib dari kelurahan.
3. Fotokopi buku nikah.
4. Buku nikah asli.
5. Surat gugatan yang jelas dan terperinci.
6. Membayar biaya perkara.

Menurut Pasal 139 KHI ayat 1, jika alamat tergugat tidak jelas atau tidak tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkan gugatan di papan pengumuman Pengadilan Agama dan mengumumkannya di media massa.

Jika setelah dipanggil secara resmi tergugat tidak hadir, gugatan cerai dapat diterima dan diputus secara verstek oleh hakim tanpa kehadiran tergugat. (Lihat: https://badilag.mahkamahagung.go.id). Wallahu a’lam

M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat

Advertisements