Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

GP Ansor dan Tugas Berat Melawan Terorisme

Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas memberikan arahan dalam Peringatan Harlah ke-88 GP Ansor, Minggu (24/4) kemarin. Ia menegaskan, semua kader harus terus berkhidmah kepada para kiai dan ulama Nahdlatul Ulama, serta negara, dan agar tidak pernah lelah mencintai Indonesia. Harlah kali ini mengusung tema “Berkhidmah Tanpa Batas” yang divisualkan melalui logonya; huruf 88 berwarna hijau dengan sebuah garis penghubung berwarna kuning keemasan.

Bersamaan dengan harlah ke-88, jagad media sosial dihebohkan dengan sejumlah hal tentang GP Ansor, antara yang memuji dan yang mencemoohnya. Organisasi kepemudaan NU tersebut memang kerap kali menarik perhatian publik, baik secara keorganisasian maupun para pengurusnya. Sang Ketum, Yaqut, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Agama RI, dipandang sebagai sosok kontroversial. GP Ansor sendiri tak jarang dicaci karena tugasnya: menjaga gereja.

Apakah menjaga gereja satu-satunya tugas GP Ansor? Sama sekali tidak. Tetapi karena Banser-nya GP Ansor sering menjaga gereja, mereka sering mendapat tuduhan negatif; dianggap lebih membela Krsten daripada Islam. Tuduhan tersebut bersamaan dengan fakta bahwa GP Ansor—juga melalui Banser—berada di front depan untuk melawan gerakan-gerakan Islam politik. FPI, HTI, misalnya. Kepada kelompok-kelompok tersebut, GP Ansor sering kontra.

Penting untuk ditegaskan di awal, saya bukan bagian dari GP Ansor. Jadi, tulisan ini bukan pesanan, bukan humas NU apalagi GP Ansor. Saya hanya ingin mengulas mereka dari sisi yang boleh jadi orang lain tidak menyangka, yaitu bahwa GP Ansor memikul beban berat dengan memerangi terorisme. Khidmahnya untuk bangsa mesti mendapat apresiasi yang proporsional. Tanpa bermaksud menjunjung ormas tertentu, GP Ansor memang tidak laik dicerca.

Persoalan bangsa ini yang hingga kini belum terselesaikan dengan tuntas ialah terorisme. Ancamannya jelas: rusaknya kerukunan antarumat hingga runtuhnya NKRI. Umat Kristen masih belum bisa beribadah dengan tenang, karena banyak gereja pernah menjadi target bom. Artinya, kebebasan beragama di NKRI masih belum berjalan mulus. Namun mengapa GP Ansor yang melalui Banser berusaha ada di depan justru kena getah cercaan dan stigmatisasi?

GP Ansor dan Banser

Kelahiran GP Ansor diwarnai semangat nasionalisme dan epos kepahlawanan. Ia lahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser sebagai bentuk perjuangan Ansor sangat masyhur terutama saat perjuangan fisik melawan teror penjajahan dan penumpasan G 30 S/PKI.

GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Mereka mampu mempertahankan eksistensi diri dan mendorong percepatan mobilitas sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya. GP Ansor juga tetap eksis pada setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional. GP Ansor juga ternyata berjalan di medan rawan; melawan terorisme.

Dalam tugas berat ini, yang turun ke lapangan adalah Banser. GP Ansor bahkan memiliki Datasemen Khusus (Densus) 99 Asmaul Husna, dan Ketum Yaqut dipilih Jokowi sebagai Menag juga konon demi mengentaskan radikalisme-terorisme di tanah air. Konsen Banser-nya GP Ansor untuk melawan terorisme bahkan sampai memancing banyak penyusup, seperti Abu Janda. Dan melalui sosok Abu Janda, GP Ansor dan Banser terseret stigma negatif hingga hari ini.

Banser dan Aksi-aksi Teror

Banser sering kali menjadi target olokan karena menjaga gereja—kebanyakan pengolok bahkan nyinyir mengapa Banser yang notabene Muslim malah konsen menjaga tempat ibadah non-Muslim. Terlepas dari kontroversi dan stigma yang diarahkan, ternyata Banser berhasil meredam aksi-aksi teror secara signifikan. Menjaga gereja dipandang sebelah mata, tetapi sedikit yang membayangkan jika gereja tak punya penjagaan, berapa kali aksi teror akan menghantui.

Jadi selain menjaga kiai, terutama keamanan para kiai NU dari gangguan seperti penusukan dan pembegalan, Banser telah membantu kiprah GP Ansor secara umum dalam hal menjaga NKRI. Bagaimanapun tidak ada yang bisa menyangkal, gerilya terorisme menargetkan gereja dan tempat ibadah non-Muslim sebagai amaliah mereka. Terutama kelompok teror Jama’ah Islamiyah (JI), yang menjadikan gereja sebagai musuh berat; Salibis kafir.

Aksi-aksi teror di gereja merupakan hambatan utama kerukunan antarumat beragama. Tidak hanya perizinan yang kerap kali mendapat penentangan dari Muslim garis keras, bom bunuh diri di gereja terjadi beberapa kali dan mencoreng Islam itu sendiri. Pada 2018 lalu, rentetan bom meledak dan menewaskan banyak jemaat di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya. GKI Diponegoro Surabaya, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, dan Gereja Katedral Makassar juga pernah dibom.

Di tengah ancaman yang mempertaruhkan nyawa, Banser-nya GP Ansor maju ke garda terdepan menerobos stigma negatif dan bahaya aksi-aksi teror. Saya tidak bukan bagian dan juga tak punya kepentingan dengan Banser secara khusus maupun GP Ansor secara umum, tetapi saya berani mengatakan, hanya elemen GP Ansor yang seberani itu. Demi terciptanya kerukunan antarumat, mereka melawan ketabuan menjaga gereja dan menjadi front terdepan melawan terorisme.

Harus diakui bahwa kontra-terorisme berada di medan terjal dan sulit; tantangannya adalah stigma negatif bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Selama ini, GP Ansor melalui Banser-nya konsisten di medan terjal tersebut menghalau terorisme yang mengancam persatuan dan kerukunan antarsesama. Tentu saja GP Ansor bukan satu-satunya yang berjasa dalam melawan terorisme. Namun, kenapa di tengah tugas berat tersebut, segelintir orang masih memandang sinis GP Ansor?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Advertisements
Ahmad Khoiri
Mahasiswa Magister Pengkajian Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.