Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Digital Native: Strategi Baru Kontra-Radikalisasi

Digital Native: Strategi Baru Kontra-Radikalisasi

Kabarumat.co. – Seiring berkembangnya teknologi informasi, masyarakat yang terbiasa dengan kemajuan digital, alias digital native, menjadi bagian tak terpisahkan dan merupakan keniscayaan. Masyarakat, umumnya generasi muda, mesti melek digital di era digital. Namun demikian, dengan segala keuntungan akses informasi global, juga muncul tantangan baru terutama dalam menghadapi potensi radikalisasi di dunia maya.

Apa itu digital native? Istilah ini merujuk kepada individu yang tumbuh di era di mana teknologi digital, internet, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Konsep ini pertama kali diusulkan oleh penulis Marc Prensky, pada 2001 silam, untuk mendiferensiasi antara generasi yang lahir sebelum era digital (digital immigrant) dan generasi yang lahir setelahnya (digital native).

Generasi digital native memiliki lima karakteristik. Pertama, akses penuh terhadap teknologi sejak dini. Digital native memiliki akses ke perangkat digital seperti komputer, smartphone, dan internet sejak belia. Mereka tumbuh dengan teknologi tersebut sebagai bagian integral dari pengalaman hidup mereka. Sejak bayi pun, mereka sudah dikenalkan dengan YouTube, TikTok, dan lainnya. Ajaib, bukan?

Kedua, keterampilan alami terhadap teknologi. Kemampuan menggunakan perangkat dan aplikasi digital dianggap sebagai sesuatu yang alami bagi digital native. Mereka kerap memiliki pemahaman mendalam mengenai teknologi, juga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan baru. Jika diperhatikan, generasi hari ini tidak ada yang gaptek, karena sejak dini mereka sudah bersentuhan dengan teknologi.

Ketiga, kreativitas dalam menggunakan teknologi. Para digital native memiliki tendensi untuk menggunakan teknologi dengan cara yang kreatif, termasuk dalam bidang pembuatan konten, desain grafis, dan pengembangan aplikasi. Hari ini kreativitas tersebut tidak hanya melahirkan segudang profesi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Digital native bisa sejahtera sekalipun orangnya di rumah—kaya sambil rebahan.

Keempat, rasa nyaman hingga ketergantungan dengan media sosial. Ini sama halnya dengan social media addict, yakni kecanduan media sosial. Para digital native secara umum merasa nyaman berinteraksi melalui platform media sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan membangun jejaring sosial. Kuantitas interaksi langsung berkurang, karena jejaring mereka adalah dunia digital.

Kelima, menguasai dunia digital dan hiper-aktif di dalamnya. Generasi digital native memiliki pemahaman optimal baik terhadap risiko dan peluang di dunia digital, termasuk ancaman keamanan siber, privasi online, dan literasi media. Mereka juga memiliki kemampuan untuk dengan cepat memahami dan mengadopsi teknologi baru yang muncul, dan memanfaatkannya secara maksimal. Baik ke hal positif maupun negatif.

Dari kelima karakteristik tersebut, digital native memiliki dua sisi yang tak terpisahkan, yaitu positif dan negatif. Di situlah masalah muncul. Tidak jarang, digital native dimanfaatkan para radikalis-teroris untuk menyebarkan propaganda, merekrut simpatisan, dan membangun jaringan radikal. Karenanya, ancaman ini mesti dinetralisasi. Melibatkan digital native secara positif sebagai strategi kontra-radikalisasi pun menjadi kewajiban.

Bagaimana caranya? Pertama-tama perlu membangun edukasi dan kesadaran digital di kalangan digital native. Mereka perlu disadarkan dan diberdayakan, sehingga mampu memilah konten dan tercegah dari infiltrasi radikal. Edukasi ini penting karena dalam sejumlah kasus, para digital native itu pasif dan have fun belaka. Orientasi tersebut mesti diubah, dengan menyadarkan peran besar mereka saat ini.

Itulah yang disebut dengan pemberdayaan media sosial positif. Alih-alih jadi sarang radikalisasi, media sosial wajib dijadikan sarana diseminasi pesan positif yang mendukung kontra-radikalisasi. Dukungan untuk kampanye online, pembentukan komunitas daring yang mendukung nilai-nilai moderasi agama, dan pemasifan konten edukatif tentang kontra-radikalisasi harus diberikan sepenuhnya.

Selain itu, digital native sebagai strategi baru kontra-radikalisasi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai moderat dalam konten digital. Pemerintah, perusahaan teknologi, dan kreator konten memiliki peran penting untuk memastikan bahwa pesan-pesan hal-ihwal toleransi, keragaman, dan perdamaian lebih banyak tersebar di ruang digital. Sebaliknya, konten hate speech dan hate spin disterilisasi.

Editorial ini hendak menegaskan bahwa relasi antara digital native dan kontra-radikalisasi online itu krusial untuk diperhatikan. Digital native, sebagai generasi yang tumbuh di era digital, memiliki dampak signifikan pada bagaimana upaya kontra-radikalisasi dirancang dan diimplementasikan di lingkup daring. Untuk itu, partisipasi aktif di media sosial mesti digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan positif dan kontra-radikalisasi.

Keterlibatan diri menjadi digital native, di tengah jejaring sosial yang luas, dapat juga memanfaatkan strategi peer-to-peer. Pendekatan peer-to-peer secara daring merupakan metode efektif dalam menyebarkan pesan kontra-radikalisasi, sebab teman sejawat pasti memberikan dukungan dan informasi satu sama lain. Bisa dilihat bagaimana gelembung Anies Bubble hari ini, itu tidak lepas dari pengaruh digital native.

Aspek lain yang tidak kalah penting ialah ketika digital native terlibat dalam dialog dan debat konstruktif mengenai isu-isu radikalisasi dan konter terhadapnya. Tentu, kendati digital native berpotensi sebagai strategi baru kontra-radikalisasi, tantangan dan risiko tetap ada. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan holistis dan berkelanjutan untuk mengoptimalisasi peran generasi digital native dalam kontra-radikalisasi itu sendiri. Semua harus terlibat!

Advertisements