Kabarumat.co – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah di depan mata. Rakyat Indonesia akan disuguhi kembali hajat lima tahunan ini. Wajah para kandidat Capres-Cawapres menghiasi halaman utama koran-koran dan media massa lainnya. Ada enam anak bangsa yang berkontestasi, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dalam kampanye, mereka tengah memulai dengan gaya dan caranya masing-masing untuk mencuri simpati masyarakat. Terkadang pula meskipun harus menjual dirinya, seperti imej gemoy sebagai gimik. Pertarungan ide dan gagasan untuk memajukan bangsa Indonesia pada lima tahun ke depan telah mereka suguhkan di berbagai mimbar publik.
Pertanyaannya adalah apakah rakyat akan terkesima untuk membelinya? Ini persoalan yang harus segera diikhtiarkan guna mencapai komunikasi politik yang efektif. Tentu hal itu membutuhkan riset yang terukur dan terstruktur.
Safari politik keenam calon tak mau ketinggalan satu sama lain. Lebih-lebih bersafari pada lumbung suara rakyat yaitu pondok pesantren. Pun mengunjungi elemen-elemen politik yang bisa meraup suara yang signifikan. Ada pula yang mendekati ulama, kiai, ustaz, dan tokoh lintas organisasi. Ada pula dengan menggunakan gaya komunikasi politik dengan cara turun menyapa rakyat.
Pendekatan politik dengan berbagai macam cara itu tak lepas dari pekerjaan para kandidat. Namanya politik, tak sejuk kalau tidak ada bumbu-bumbu yang dijadikan sebagai pemanis dan pengasin dari percaturan politik. Sehingga sangat wajar apabila rakyat disuguhi dengan tontonan politik yang terkadang sangat menggelikan.
Partai politik sebagai pengusung dari para calon kandidat presiden dan wakil presiden ini terus berupaya mendesain komunikasi politik dengan melakukan citra positif dengan memuji serta mengunggulkan potensi yang dimiliki. Tak ketinggalan pula, para pendukungnya menyambut para kandidat bak seorang pahlawan, bahkan seperti dewa.
Desain yang menghipnotis kalangan masyarakat Indonesia telah berhasil meskipun itu hanya sekadar lipstik untuk mempercantik kepribadiannya di permukaan. Anehnya, tak ada calon sebagai representasi ulama. Padahal pemimpin dari kalangan ulama adalah salah satu harapan masyarakat Indonesia, terlebih rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi ilmu dan ulama.
Di Manakah Ulama?
Keberadaan ulama tidak boleh hanya menjadi supporter para politisi. Ia harus menjaga marwahnya sebagai orang berilmu yang memiliki tugas untuk menjaga bangsa dan negara. Tugas ulama sebagai pewaris nabi bukan hanya sebagai pengisi ruang-ruang pengajian semata melainkan harus hadir di tengah-tengah problematika kebangsaan melalui jalur politik.
Terjun pada politik
Terjun pada politik tidak dimaknai harus menjadi calon DPR, presiden, dan bahkan pimpinan-pimpinan di lembaga negara dan pemerintahan. Ulama memiliki tanggung jawab untuk mengontrol budaya yang kurang baik dari sisi apa pun. Jika ulama dijadikan sebagai alat politik oleh oligarki untuk memuluskan misinya, itu sebuah kecelakaan yang sangat dahsyat.
Pada situasi di mana rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah kehadiran ulama seyogianya menjadi jawaban yang menyejukkan bagi rakyat. Imam al-Ghazali menyampaikan, sebaik-baiknya pemerintah adalah mereka yang datang menemui ulama. Dan seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang datang menemui pemerintah/penguasa yang zalim.
Pesan ini disampaikan agar ulama lebih mulia daripada penguasa. Magnet ulama mendekati Pilpres sangat nampak sekali. Tidak sedikit para politisi berkunjung ke pondok pesantren, bahkan pula berkunjung ke kediamannya untuk meminta doa berkah. Lebih dari itu meminta dukungan politik dan moral agar misi politiknya tercapai.
Saya memiliki harapan, ulama jangan sampai menjadi kaki politisi. Tapi mampu memberikan masukan, nasihat, dan bimbingan pada politisi. Ini tugas yang berat dan mungkin “sebagian” politisi tidak terlalu menyukainya. Politisi yang menyukai nasihat ulama itulah yang disebut oleh Imam Ghazali sebagai politisi yang baik.
Sebaliknya politisi yang anti-nasihat ulama merupakan politisi abal-abal yang tidak akan mampu memikul tanggung jawab yang diamanahkan. Kembali pada tiga kandidat Capres di atas, akan berlabuh untuk mendukung pada siapa ulama yang ada di Indonesia?Mungkin juga perkumpulan
Mungkin juga ijtimak ulama perlu digagas untuk menentukan arah politiknya. Ijtihad dari para ulama akan menemukan kandidat yang terbaik. Bisa jadi calon presiden yang diusulkan bukan ketiga calon itu. Ini menarik kita tunggu.
Indonesia Bukan Negara Sekuler
Sebagai bangsa yang mempercayai agama, sebuah keniscayaan para ulama ikut menjaga marwah agama dari gerombolan politisi, yang hanya pintar mengisap kekayaan bumi pertiwi. Pada satu sisi tidak memikirkan nasib rakyat yang melarat. Jika mengikuti perjuangan nabi sejak Adam hingga Muhammad, beliau memperjuangkan nasib rakyat dari segala penindasan dan ketidakadilan.
Memisahkan negara dan agama sama halnya membiarkan kekafiran. Kafir yang saya maksud bukanlah kafir yang bermakna harfiah. Oleh sebab itu, ulama atau para kiai harus menolak permainan politik yang semata-mata menjadikannya sebagai komoditas politik.
Sebaiknya, masyarakat yakin bahwa dengan memberikan mandat kepada ulama dalam memainkan politiknya, negara akan aman, masyarakat akan makmur, damai dan sejahtera. Sebaliknya jika mandat itu dibebankan kepada orang yang tidak paham agama, maka praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi semakin menjamur. Bangsa akan menjerit.
Bagi saya, semakin banyak tokoh agama yang mengambil peran dalam menjalankan politik, baik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif, maka akan membawa dampak yang lebih positif. Para pemuka agama baik Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha jika sudah bersatu dalam meramaikan politik aktif akan membawa kemaslahatan yang lebih besar.
Leave a Review