Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

PR Besar Negara dalam Memberantas Pegiat Khilafah

PR Besar Negara dalam Memberantas Pegiat Khilafah

Sebelum bicara khilafah, penting diungkap di awal bahwa menjelang empat tahun kepemimpinan periode kedua Jokowi, banyak pencapaian yang telah ditorehkan negara Indonesia baik di ranah nasional maupun internasional.

Terlepas dari isu-isu miring yang menghinggapi Jokowi sejak periode pertama kepresidenannya, ia kini menjadi sosok yang dicintai banyak masyarakat Indonesia. Jokowi dinilai menjadi presiden terbaik, yang berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju dan disegani internasional.

Penilaian tersebut bukanlah tidak berdasar. Beberapa hari lalu, ketika Indonesia memegang Presidensi G20, apresiasi terhadap Jokowi datang dari segala penjuru. Tentu saja angin-angin kebencian juga ada, tetapi itu pasti datang dari pihak yan sejak semula tidak cinta negara dan tidak bangga dengan pemimpinnya sendiri. Menggelar G20 di tengah kondisi perang bukanlah perkara mudah, dan Jokowi berhasil mempertemukan dua pemimpin negara adidaya; Presiden AS dan Presiden China.

Sebelum G20, PBNU juga telah menggelar R20, forum para pemimpin agama dunia yang dihadiri ratusan pemuka agama sedunia di Nusa Dua, Bali. Jokowi juga hadir memberi sambutan, meskipun melalui video dan tidak hadir ke lokasi acara. Yang jelas, NU dan Jokowi mempertegas hubungannya, dan Jokowi dilihat oleh para pemuka agama dunia sebagai presiden yang berprestasi. Lagi-lagi, berkat Jokowi, negara mendapat apresiasi dari internasional. Rakyat tentu saja bangga.

Setelah G20, Jokowi langsung meluncur hadir ke KTT Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) ke-29 di Bangkok, Thailand. Dan sebelum acara KTT APEC selesai, Jokowi pulang lebih awal untuk menghadiri secara langsung Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo. Setengah bulan terakhir, agenda Jokowi lumayan padat dalam rangka membawa negara Indonesia ke level internasional. Atas pencapaiannya itu, ia menuai banyak pujian dari masyarakat.

Di TikTok, misalnya, selama dua pekan terakhir, Jokowi selalu muncul di beranda FYP. Dan untuk pertama kali, netizen memberikan komentar positif dan bangga akan presidennya. Kebanggaan tersebut sampai mengangankan sesuatu yang mustahil: minta Jokowi manju tiga periode. Itu semua menunjukkan bahwa Jokowi, sebagai presiden, telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk negara. Lalu pertanyaannya, apa lagi yang masih menjadi PR besar bagi negara?

Jawabannya adalah: pemberantasan khilafah. Negara memang sangat baik daripada keadaan di era SBY, ketika islamisme dan populisme bergerak masif tanpa kontrol yang memadai. Saat itu teroris marak dan mencuat ke permukaan, FPI berjaya, HTI kaya raya, dan Wahabi beranak-pinak dengan cukup pesat. Namun di era Jokowi, negara kembali stabil sekalipun ia dianggap represif terhadap gerakan Islam hingga dituduh menganut islamofobia.

Namun kebijakan untuk menghapus badan hukum belum cukup untuk memberantas pegiat khilafah di negara ini. Karena itu, tugas lanjutannya adalah membuat kebijakan di bidang siber secara efektif. Media keislaman mesti dalam kontrol yang ketat, dan setiap media yang mengusung khilafahisme harus di-banned secepat mungkin, kontennya harus di-takedown, dan para aktor di balik media dan konten tersebut harus ditindak secara hukum. Apakah serepresif itu?

Jelas. Gerakan khilafahisasi melalui media keislaman bukan perkara kecil, sekalipun pelakunya tidak membawa parang atau pedang sebagaimana FPI beraksi di jalanan. Media-media tersebut menebarkan propaganda bahwa rezim hari ini adalah kacung Barat kapitalis-sekuler-liberal. Media tersebut juga memprovokasi masyarakat agar antipati dengan negara, dan agar sama sekali tidak bangga menjadi bagian dari negara Indonesia—apa pun prestasinya secara nasional maupun internasional.

Media-media itu tak hanya berupa website, melainkan juga YouTube, Instagram, Facebook, dan TikTok. Betapa banyak akun media yang narasinya mengarah pada upaya mencabut akar-akar kenegaraan dan merobohkan pilar kebangsaan. Demokrasi dianggap thaghut. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 difitnah sebagai produk anti-Islam yang harus dilawan. Gerakannya sangat masif, namun pemberantasan yang negara lakukan belum menyentuh ke area tersebut.

Perlunya regulasi pemberantasan khilafahisme juga disebabkan semakin dekatnya pemerintahan Jokowi menuju akhir. Pasca-Pilres nanti, belum tentu kontra-khilafah semasif hari ini, juga tidak ada yang bisa menerka apakah pengganti Jokowi sama tegasnya atau justru lunak sebagaimana di era SBY. Maka, PR besar tersebut harus segera diselesaikan oleh negara. Jangan sampai kebijakan lambat dan pegiat khilafah berhasil menarik meyoritas masyarakat ke baris mereka untuk merebut negara. Harus dicegah.

Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman