Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Memaknai Natal Sebagai Momentum Kasih Sesama

Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal Bagi Umat Islam

Kabarumat.co – Perayaan Natal telah berlangsung kemarin, 25 Desember. Kemeriahannya luar biasa. Saudara umat Kristiani merayakannya secara khidmat, karena tahun-tahun sebelumnya tidak optimal disebabkan pandemi. Namun, apa yang bisa diambil pelajaran dari Natal itu, terutama bagi umat non-Kristiani? Ini menarik diulas karena faktanya, alih-alih diambil pelajaran, publik masih kerap terjebak dalam debat kusir tentang hukum pengucapannya.

Padahal, mengucapkan selamat Natal adalah wujud solidaritas. Ranahnya sosial, yakni akhlak, bukan akidah. Umat Muslim tidak perlu meyakini Yesus anak Tuhan untuk mengucapkan Merry Christmas. Maka, untuk apa diperdebatkan setiap tahun? Agar intoleransi sesama warga negara menguat? Agar kasih antarwarga negara punah dan tersisa perpecahan? Ini semua tidak boleh terjadi, juga tidak bisa dibiarkan.

Natal, jika dipahami dalam konteks relasi antarwarga negara, akan jadi manifestasi kasih sesama. Al-Qur’an juga melukiskan dalam surah Ali Imran [3]: 103, agar umat manusia mempererat tali persaudaraan dan jangan terpecah-belah. Jadi, mengapa harus berselisih hanya soal perayaan? Di bawah negara kesatuan, perpecahan adalah pengkhianatan. Karenanya, jadikan Natal sebagai momentum penguatan kasih sesama.

Kontekstualisasi Makna Natal

Ucapan “Merry Christmas” menggema di media sosial, sejak Minggu malam hingga Senin, kemarin. Dilansir Wikipedia, dalam bahasa Inggris, kata Christmas (Hari Natal) berasal dari kata Cristes maesse, yang berarti Mass of Christ (Misa Kristus). Tradisi Natal diawali oleh Gereja Kristen terdahulu untuk memperingati sukacita kehadiran juru selamat: Mesias, di dunia. Natal adalah peringatan kelahiran Yesus Kristus.

Secara historis, tidak ada tanggal berapa tepatnya hari lahir Yesus, tetapi kalender Masehi menetapkan tanggal perayaan Natal pada setiap 25 Desember. Pada hari, gereja mengadakan ibadah perayaan keagamaan khusus. Selama masa Natal, umat Kristiani mengekspresikan cinta-kasih dan sukacita mereka dengan bertukar kado dan menghiasi rumah mereka dengan daun hollymistletoe dan pohon Natal.

Di Indonesia, pohon Natal dapat ditemui di berbagai tempat, terutama mal dan monumen daerah, seperti di Bundaran HI. Sementara itu, Natal dalam tradisi Amerika dirayakan dengan beberapa kegiatan, seperti tukar-menukar kado, mengirim kartu ucapan, makan malam Natal, dan amal. Apa makna semua itu? Ini yang menarik, yaitu bahwa secara filosofis dan kontekstual, muara tradisi Natal tersebut adalah kasih sesama.

Tukar kado, misalnya, secara filosofis mencerminkan kedermawanan dan kegembiraan dalam memberi—ungkapan cinta dan perhatian kepada sesama. Ini secara kontekstual dapat dimaknai bahwa di tengah kultur chaos seperti sekarang, tukar-menukar kado menjadi ekspresi kasih sayang dan kebersamaan. Tujuannya, menciptakan hubungan emosional dan memperkuat ikatan kasih dan persahabatan.

Adapun mengirim kartu ucapan, filosofinya mencerminkan keinginan berbagi kebahagiaan dan kehangatan dengan orang-orang yang, boleh jadi, jauh secara fisik. Kartu menjadi sarana menyampaikan pesan kasih sayang. Jika dikontekstualisasi pada era digital sekarang, tradisi ini tetap relevan sebagai bentuk perhatian personal di tengah kesalingtidakpedulian. Kartu menjadi medium menyampaikan pesan kebaikan dan tali kasih—silaturahmi.

Bagaimana dengan makan malam Natal? Secara filosofis, ia menandai momen kebersamaan dan manifestasi syukur. Itu mencerminkan nilai-nilai keluarga, persatuan, dan kenikmatan bersama dengan berbagi hidangan istimewa. Secara kontekstual, makan malam Natal menjadi waktu untuk berkumpul, mengenang tradisi, dan merayakan keberagaman kuliner. Sekali lagi, itu memperkuat hubungan antarsesama.

Sementara amal, secara filosofis menggambarkan kepedulian sosial dan tanggung jawab terhadap sesama yang kurang beruntung. Filosofinya adalah berbagi keberkahan dengan mereka yang membutuhkan (dhu’afā’). Tradisi tersebut, jika dikontekstualisasi, adalah upaya memberdayakan masyarakat, baik melalui sumbangan materi maupun kehadiran fisik. Amal menjadi bentuk kasih yang nyata untuk mengentaskan kesenjangan sosial.

Kasih Sesama, Anti-Intoleransi

Toleransi di Indonesia diperjuangkan sejak dari, dan sama tuanya dengan, kemerdekaan. Perumusan NKRI oleh para founding father mengedepankan kesetaraan, makanya negara ini tidak diformat sebagai negara Islam—tetapi negara beragama. Kedudukan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu setara. Tolok ukur kebenarannya ialah hukum positif, yang dapat disebut sebagai kalimah sawā’, yakni kebenaran universal.

Kendati demikian, narasi anti-toleransi juga bukan sesuatu yang baru. Mindset intoleran, secara genealogis, dapat dilacak melalui adanya klaim kebenaran mutlak yang berusaha dibawa ke ranah negara-bangsa. Para pengusung intoleransi tidak mau mendispensasi keyakinan mereka akan kebenaran atas asas keragaman belaka. Mulailah mereka menuntut hegemoni hukum, bahkan berujung anarkisme.

Dalam konteks itu, jelas bahwa mindset dan tindakan intoleran kontradiktif dengan otorisasi ‘kalimah sawā’’ yang, mengingat kondisi Indonesia yang multi-etnis, multi-agama, dan multi-ras, implementasinya sangat urgen. Kasih sesama, terlepas dari apa pun latar belakang setiap warga negara, meniscayakan sikap anti-intoleransi, dan maju bersama sebagi negara-bangsa berdaulat, rukun, dan sejahtera.

Natal, sebagaimana perayaan Idulfitri, umat Islam harus hormat. Jangan sampai terjangkit ajaran sesat para teroris yang nir-kasih dan intoleran. Termasuk dari wujud kasih sesama juga menyudahi debat kusir tentang hukum mengucapkan Natal, karena itu menyinggung umat Kristiani. Yang setuju mengucapkan, silakan. Yang tak setuju, silakan. Yang jelas, kasih sesama jangan sampai luntur hanya karena egoisme religiositas belaka.

Selamat merayakan Natal bagi saudara-saudara Kristiani.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Advertisements