Suatu hari, seperti dikutip dari buku Biografi al-Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Jindan karya as-Syarif Ahmad bin Novel bin Jindan (h. 26-28), di masa penjajahan Belanda, Habib Salim bin Jindan pernah datang ke rumah seorang tetangganya yang berbangsa Belanda. Tetanga itu terkejut, tapi juga merasa terhormat dengan kedatangan sang Habib.
Tanpa basa-basi Habib Salim langsung mengatakan kepada tetangga Belanda itu, “Boleh aku meminjam beberapa hari lukisan ratu Belanda yang kau pajang di rumahmu ?” Mendengar hal itu, sang tetangga malah membolehkan dan justru merasa terhormat. Maka al-Habib pulang dengan membawa lukisan ratu Belanda tersebut. Sesampainya di rumah, beliau meminta muridnya untuk memasangkan lukisan itu di rumahnya, tanpa menjelaskan maksudnya.
Beberapa hari kemudian, Pasukan Belanda mengepung rumah Habib Salim, untuk menangkap beliau. Para tentara Belanda memaksa Habib Salim untuk ikut mereka ke kantornya. Mendengar sergahan itu, Habib Salim kepada komandan pasukan itu, « baik, saya akan ikut. Tapi tunggu, tolong kamu turunkan lukisan besar yang aku gantung di sudut ruangan itu dan bawa ke luar rumah. Setelah itu kalian bakar dan buang di sampah, karena lukisan itu ternyata sama sekali tidak ada gunanya. » Murid-murid Habib Salim lalu menurunkan lukisan sang Ratu Belanda tersebut.
Komandan Belanda terperanjat melihat Habib Salim memajang lukisan besar Ratu Belanda.
“Kenapa diturunkan lukisan ratu kami ?”
Habib Salim menjawab, “Untuk dibakar dan dibuang !”
Komandan Belanda masih kaget, “kenapa ?”
Habib Salim membalas, “untuk apa aku memajang lukisan ini di tempat yang tinggi dan terhormat, tapi tentara Belanda tetap mempermalukanku ? Apakah demikian pemerintah Belanda memperlakukan orang-orang yang menghormati ratunya ? Kalau memang demikian, lebih baik aku turunkan saja dan aku bakar, karena tidak ada gunanya !”
Mendengar jawaban itu, sang Komandan langsung meminta maaf dan mengurungkan niatnya menangkap Habib Salim. Mereka merasa malu dan tidak mengira kalau Habib Salim – yang mereka lihat – ternyata memajang lukisan Ratu Belanda di rumahnya.
Habib Salim bin Jindan adalah diantara ulama besar yang pernah hidup di Indonesia di awal abad ke-20. Ulama yang termasuk golongan sayyid (keturunan Rasulullah) ini tak lain adalah kakek dari dua Habaib yang juga telah dikenal luas di Indonesia, yaitu Habib Ahmad bin Novel dan Habib Jindan bin Novel, pengasuh Pesantren al-Fachriyah, Tangerang, Banten.
Habib Salim bin Jindan dikenal luas kealimannya karena memiliki pengetahuan keilmuan yang luas. Salah satu karyanya adalah kumpulan fatwanya yang berjudul al-Ilmam bi Ma’rifati al-Fatawa wa al-Ahkam. Ia juga dikenal sebagai ahli hadis dan dikenal memiliki karya di bidang hadis mulai dari keilmuan hadis, sampai sanad-sanad hadis yang bersambung dari beliau hingga ke Rasulullah Saw. Diantara karya-karyanya di bidang hadis adalah :
Al-‘Uqud ad-Durriyyah fi al-Musalsalaat al-Fakhriyyah
Al-Qoul al-Hatsits fi al-‘Amal bi al-Hadits ad-Dho’if
Balabil al-Athyar fi Salasil al-Akhbaar
Al-Miqbas fi al-Khirqoh wa al-Ilbas
Leave a Review