Dibekuknya sejumlah tokoh lantaran diduga terlibat jaringan Jamaah Islamiyah (JI) menandai adanya perubahan dalam arah gerakan terorisme di Indonesia. Tiga nama yang dicokok Densus 88 karena berafiliasi dengan JI berasal dari tiga ranah yang berbeda. Anung al Hamad disebut-sebut merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi keagamaan swasta terkenal di Bogor.
Ini artinya, JI tengah berusaha menancapkan pengaruhnya di dunia pendidikan, utamanya melalui lembaga perguruan tinggi keagamaan. Ahmad Farid Okbah merupakan pendiri sekaligus ketua umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI). Hal ini bisa diartikan bahwa JI mulai merambah dunia politik praktis. Bahkan, bukan tidak mungkin PDRI sendiri merupakan pengejawantahan gerakan JI di dunia politik praktis.
Terakhir, Ahmad Zain An Najah merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Zain memiliki posisi strategis di lembaga keagamaan yang nisbi prestisius di negeri ini. Bisa diartikan bahwa JI tengah menyasar lembaga keagamaan dan keulamaan yang memiliki posisi strategis di masyarakat.
Jika disimpulkan secara sederhana, ditangkapnya tiga tokoh tersebut seolah menyingkap fakta bahwa ada semacam operasi senyap (silent operation) yang tengah dilancarkan oleh kelompok teroris, utamanya Jamaah Islamiyah.
Operasi senyap secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah manuver melemahkan lawan, namun dengan langkah yang tidak mencolok dan tidak disadari oleh lawan tersebut. Level tertinggi operasi senyap ialah ketika bisa menyusup ke barisan lawan tanpa diketahui. Pola-pola inilah yang selama beberapa tahun belakangan tampak dilakukan oleh organisasi teroris, utamanya Jamaah Islamiyah.
Mereka tidak lagi hanya fokus dengan upaya menyebarkan ideologi kebencian dan kekerasan serta mendalangi aksi-aksi teror dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Lebih dari itu, mereka mulai merancang sebuah operasi untuk menguasai lembaga atau institusi, baik sosial, agama, maupun pemerintahan.
Tujuannya tentu saja demi mendukung keberhasilan agenda mereka, yakni mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Mengutip pernyataan peneliti terorisme, Noor Huda Ismail, apa yang dilakukan JI itu merupakan bagian dari strategi “tamkin”.
Yakni strategi penguasaan wilayah dengan menyusup ke sejumlah organ atau lembaga. Mulai dari lembaga pendidikan, lembaga sosial-keagamaan, hingga institusi pemerintah. Pola yang demikian ini tidak kalah berbahayanya dengan strategi menebar teror dan kekerasan di lapangan.
Terorisme dalam wujudnya sebagai aksi kekerasan berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan hilangnya rasa aman publik. Sedangkan terorisme sebagai sebuah operasi senyap ini berdampak pada melemahnya institusi sosial, politik, agama, bahkan negara lantaran terinfiltrasi oleh gerakan terorisme.
Membedung Operasi Senyap Teroris
Arah baru gerakan terorisme yang ditandai dengan strategi operasi senyap ini jelas harus diwaspadai bersama. Di satu sisi, kita patut mengapresiasi langkah aparat keamanan yang sigap membongkar jaringan terorisme di sejumlah lembaga.
Pendekatan hukum ini penting sebagai upaya jangka pendek memutus rantai jejaring ekosistem terorisme di sejumlah lembaga strategis. Di sisi lain, kita juga harus melakukan pembenahan dari sisi internal kelembagaan agar tidak mudah disusupi oleh anasir radikalisme maupun terorisme.
Langkah pertama yang wajib dilakukan ialah setiap lembaga idealnya memiliki mekanisme yang ketat dalam memilih pengurus apalagi ketuanya. Metode profiling maupun screening wajib dilakukan untuk mengetahui rekam jejak calon pengurus atau ketua. Masing-masing lembaga wajib memastikan ketua dan jajaran pengurusnya steril dari unsur radikalisme, apalagi terorisme.
Langkah kedua, setiap lembaga harus membangun sistem deteksi dini dan pengawasan internal untuk memastikan institusinya steril dari paham dan gerakan terorisme. Sistem deteksi dini ini meliputi kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam mencegah berkembangnya paham radikal-terorisme yang menjalar dalam sebuah lembaga. Dengan begitu, setiap gejala yang mengarah pada radikalisme-terorisme di sebuah lembaga bisa direspons seefektif mungkin.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah untuk terus-menerus mengedukasi umat ihwal kesadaran mengenali dan menolak paham radikal-terorisme. Masyarakat harus memahami bahwa di era kiwari ini, terorisme tidak melulu identik dengan ideologi kekerasan.
Paham radikalisme dan terorisme kini kian bermetamorfosa dan bertransformasi sekaligus berkamuflase menjadi gerakan sosial, politik, dan keagamaan yang fleksibel dan inklusif. Jaringan terorisme juga tidak selalu hanya terkait persoalan aksi-aksi kekerasan. Melainkan juga terkait persoalan pendanaan dan sebagainya. Di titik inilah, umat harus membangun kesadaran bersama untuk melawan segala manuver kaum radikal-teroris.
Leave a Review