Kabarumat.co – Film Tin and Tina yang tayang di Netflix, mengisahkan kisah anak yang fanatik terhadap agama. Tin dan Tina merupakan si kembar yang dibesarkan di gereja dan memperoleh ajaran agama dari tempat tersebut. Keduanya kemudian diadopsi oleh pasangan suami-istri, Lola-Adolfo, yang kesulitan hamil karena Lola mengalami keguguran pada saat pernikahan digelar.
Keputusan mengadopsi Tin dan Tina yang sudah memperoleh pengetahuan agama dari gereja, pada mulanya diharapkan sebagai obat bagi Lola-Adolfo yang sedang mengalami krisis Iman. Namun, di tengah kehidupan, justru si kembar menjadi racun bagi kehidupannya. Hari-hari mereka, terutama Lola begitu menakutkan.
Seluruh sudut rumah dipasangi salib. Kamar yang ditempati oleh Tin dan Tina pun, tidak luput dari salib dan Alkitab yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Mereka juga tidak segan untuk memberikan komentar dan mengkritik apabila Lola tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang diperoleh oleh Tin dan Tina selama di Gereja, atau tidak sesuai dengan firman Alkitab.
Tin dan Tina adalah dua anak yang sedang mabuk agama dan memahami agama secara tertulis di dalam Alkitab. Bahkan, pada saat Lola dikaruniai anak, Tin dan Tina melakukan Baptis kepada bayi dengan menenggelamkan bayi tersebut. Melihat kejadian ini, Lola sangat marah dan akhirnya memutuskan mengembalikan Tin dan Tina ke gereja.
Kisah di atas adalah sebuah penggambaran bahwa ajaran agama yang dipahami secara tekstual, justru menjadikan seseorang salah kaprah dalam menjalankan kehidupannya. Tidak hanya itu, fanatisme terhadap agama yang digambarkan oleh sosok Tin dan Tina, justru menjadikan representasi suatu agama sebagai ajaran yang buruk. Fanatisme terhadap agama adalah penyakit, bukan sebagai pondasi dasar keimanan, melainkan menghancurkan keimanan itu sendiri karena membahayakan orang lain.
Karakteristik fanatik bisa dilihat dalam beberapa hal, di antaranya: pertama, sikap irasional dalam bertindak. Kedua, mengutamakan emosional, pandangan sempit dan lebih mengutamakan kelompoknya. Ketiga, menganggap sebuah kebenaran mutlak yang berasal dari kelompoknya dan menyalahkan kelompok lain. Keempat, dalam mencapai tujuan, cara apapun dilakukan untuk kemenangan kelompoknya sendiri dan akan menyalahkan kelompok lain.
Dalam beragama, sikap fanatik sangat jelas terlihat ketika bertemu dengan orang yang memiliki karakteristik demikian, bahkan kita sendiri bisa menganalisis, apakah sikap fanatik ini ada pada dalam diri? Dengan begitu, kita akan berefleksi untuk memperbaiki sikap dalam kehidupan sosial beragama.
Fanatisme Agama, Mengapa Berbahaya?
KH. Hasyim Asy’ari pernah membahas betapa jeleknya sikap taklid dan fanatisme buta yang menyebabkan kehancuran umat dikarenakan menempuh jalan yang menyelisihi sunnah sehingga menjatuhkan umat Islam pada kebingungan dan kefanatikan. Pada film di atas, penonton diajak berefleksi betapa buruk dampak yang diciptakan pada fanatisme beragama.
Fanatisme terhadap agama merusak citra agama karena yang didahulukan adalah kepentingan kelompok yang diikuti. Masyarakat awam yang tidak memiliki landasan agama dan hanya ikut-ikutan, akan memperparah keadaan yang ada, karena hanya berfokus terhadap sosok, tanpa memperdulikan landasan Al-Quran dan Sunnah.
Dengan fakta ini, belajar agama merupakan hal yang wajib dilakukan oleh umat Muslim. Menurut hemat penulis, beragama bukan hanya soal meyakini sepenuh hati tentang agamanya, akan tetapi juga memahami segala peribadatan yang dilakukan dalam beragama. Agama Islam adalah agama yang logis sehingga apabila pada suatu kasus, sangat tidak masuk akal, ketika ada kelompok yang menyerukan perang dan membunuh lantaran perbedaan pemahaman agama. Perlu dicatat pula bahwa, belajar agama juga harus melihat guru yang dijadikan acuan dalam belajar agama. Jangan sampai, kita jadi salah guru sehingga terjerumus pada sikap fanatik terhadap agama.
Dengan demikian, belajar tentang agama adalah proses panjang yang harus dilakukan oleh setiap Muslim selama hidupnya. Fanatisme beragama sangat minim dimiliki oleh orang yang memahami agama. Hal ini karena mereka sudah bertemu dengan pemahaman yang berbeda, dan memiliki sikap terbuka untuk memahami ajaran agama yang berbeda. Melihat segala jenis perbedaan pemahaman, maka akan tercipta sikap bijak dan toleran terhadap kondisi masyarakat beragama. Wallahu A’lam.
Leave a Review