Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

IKN: Misi Dekolonialisasi dan Mentalitas Merdeka

IKN: Misi Dekolonialisasi dan Mentalitas Merdeka

Kabarumat.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor bau kolonial. Hal itu disampaikan saat memperkenalkan istana baru di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Dia mengatakan istana di Jakarta dan Bogor dibangun oleh pemerintahan Belanda di masa penjajahan. Bukan dibuat oleh anak-anak bangsa Indonesia.

“Bekas gubernur jenderal Belanda, dan sudah kita tempati 79 tahun. Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi (masa kolonial),” kata Jokowi, seperti dikutip Kompas, 13 Agustus 2024.

Saat pembukaan IKN, Jokowi bercerita Istana Negara Jakarta adalah bekas Kantor Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Lalu dia menyampaikan bahwa Istana Merdeka pernah dipakai Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge. Sementara Istana Kepresidenan Bogor adalah bekas Kantor Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff.

Fakta di atas kemudian menjadi alasan pembangunan IKN. Jokowi ingin Indonesia punya istana kepresidenan buatan bangsa sendiri. Maka, kata dia, hal itu akan diwujudkan di IKN, ibu kota negara baru. Dan betul saja, IKN sudah memiliki dua istana, yaitu Istana Garuda dan Istana Negara. Istana Garuda difungsikan sebagai kantor presiden, sedangkan Istana Negara sebagai acara kenegaraan.

IKN Proyek Dekolonialisasi

IKN bisa diartikan sebagai proyek dekolonialisasi. Karena itulah IKN dibangun dengan desain lokal dan oleh orang asli lokal Indonesia. Mungkin Jokowi ingin mewujudkan apa yang dikatakan Tan Malaka: yakni merdeka 100 persen. Tapi bagaimana cara merealisasikannya?

Sesungguhnya, dekolonialisasi dan merdeka 100 persen itu adalah proyek berkelanjutan dari satu sejarah bangsa ke bangsa selanjutnya. Berkelanjutan. Tidak hanya berhenti dan membangun sebuah bangunan megah. Tetapi juga harus mengubah cara pandang, membangun cara berpikir keindonesiaan, dan memperhatikan nilai-nilai dan etika ketimuran. Sementara mentalitas kolonial yang terpasang di dalam semua sistem ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, bahkan arsitektur harus ditinggalkan.

Dekolonialisasi artinya membongkar nilai-nilai maupun sistem pengetahuan kolonial yang mendasari sistem ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Menurut para pakar, dekolonialisasi bukan hanya membongkar teks, bahasa, maupun norma warisan kolonial, tetapi juga cara berpikir dan mentalitas (Rudi Hartono, Kompas.com – 16/08/2024).

Pembangunan IKN mungkin dimaksudkan untuk itu. Dengan IKN, ingin menghilangkan bekas arsitektur kolonial atau dekolonialisasi arsitektur. Namun kemudian dalam arsitektur IKN ini banyak orang mengkritik karena tidak sesuai dengan gaya arsitektur khas Nusantara. Bahkan mulai dari gaya pendiriannya juga berkonflik.

Menariknya, IKN kini sedang digadang-gadang menjadi bangunan yang Indonesia-sentris. Sebuah bangunan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia. Dalam hal ini, baik dari sektor ekonomi, pendidikan, politik, maupun budaya harus terpusat untuk seluruh Indonesia. Bukan terpusat di Pulau Jawa (Jawa-sentris).

Mentalitas Merdeka

Karena itu, proyek dekolonialisasi ini penting untuk didukung, setidaknya dari dari aspek arsitektur. Hal lain seperti pengetahuan, filosofi, nilai-nilai kenusantaraan juga harus dilestarikan sebagai pengalaman dan pengamalan kolektif manusia Indonesia. Dan ini harus bisa diwariskan turun-temurun untuk generasi bangsa Indonesia ke depan.

Pembuangan bau kolonial memang sudah sejak lama dilakukan di Indonesia. Hari ini, setidaknya dimulai dari arsitektur, hukum, dan bahasa. Sayangnya, IKN masih menggunakan bahasa asing, seperti Nusantara Sustainability Hub, National Training Center, Telkom Smart Office, BRI International Microfinance Center, dan lain-lain. Bagi saya ini juga harus dikurangi untuk mengurangi kadar bau kolonial.

Menurut saya, selain bangunan, cara menghapus bau kolonial atau dekolonialisasi adalah dengan cara memartabatkan manusia, budaya dan bahasa Indonesia. Sebab, belajar dari sejarah, gerak kolonialisasi selalu melakukan penghancuran lewat bahasa, manusia dan budaya. Memakai bahasa selain bahasa Indonesia adalah sama saja dengan kurang memartabatkan bahasa Indonesia dan dengan itu masih saja mencintai bahasa kolonial.

Bagi saya, bangsa yang budaya, bahasa, dan manusianya merasa rendah di hadapan bangsa lain, adalah bangsa yang tidak berhak memiliki masa depan. Dengan kata lain, bangsa ini sebenarnya tidak pernah ada dan kalah. Karena itu, sekali lagi, menghapus jejak-jejak kolonialisme atau dekolonialisasi harus membongkar semua tata nilai-nilai dan sistem pengetahuan kolonial, serta harus bermentalitas merdeka!

Advertisements