Kabarumat.co – Muslim kita diperintahkan untuk konsisten menerima takdir yang telah digariskan, termasuk di dalamnya berkaitan dengan urusan jenis kelamin. Oleh karena itu, Islam mengecam orang yang melakukan tindakan menyerupai lawan jenis dalam berbagai hal. Seperti dalam cara bicara, cara bersikap, dan cara berbusana.
Dilansir NU Online, tindakan penyerupaan ini secara teori fiqih Islam dikenal dengan istilah tasyabbuh, yang berarti meniru atau menyerupai. Larangan menyerupai lawan jenis secara tegas dijelaskan dalam sebuah hadits sahih:
لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِِّجَالِ (رواه البخاري)
Artinya: “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Al-Bukhari).
Kata laknat dalam hadits itu menunjukkan bahwa tindakan menyerupai lawan jenis hukumnya adalah haram. Bahkan bukan sekadar haram, tergolong sebagai dosa besar dan dianggap salah satu kemungkaran yang kian meraja lela. (Mustafa Dib Al-Bugha, Fiqhul Manhaji, [Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah], juz III, halaman 104).
Salah satu bentuk tasyabbuh yang penting diperhatikan adalah dalam hal berpakaian. Karena trend fashion terkadang mendorong orang mengenakan style fashion agar tampak modis dan stylish, namun tidak disertai pertimbangan kepantasan dan kebolehan secara syariat dan secara budaya. Karenanya, penting bagi kita memahami mana pakaian yang mengandung unsur tasyabbuh dan mana yang tidak. Mana pakaian yang sesuai dengan norma agama, senada dengan budaya, atau tidak.
Hakikat Tasyabbuh dalam Berpakaian Tasyabbuh dalam terminologi syariat diartikan sebagai tindakan menyerupai lawan jenis, baik dalam cara berpakaian atau cara bersikap. Tindakan menyerupai lawan jenis yang tidak diperkenankan dalam konteks ini hanya berkaitan dengan hal-hal yang menjadi ciri khas dari lawan jenis, atau memiliki karakteristik kuat menunjukkan identitas jenis kelamin tertentu.
Artinya jika keserupaan hanya terjadi pada hal-hal yang tidak atau kurang identik pada jenis kelamin tertentu, maka tindakan tersebut tidak sampai masuk kategori tasyabbuh yang diharamkan. (Ibnu Al-Batthal, Syarhu Shahihil Bukhari, [Darul Kutub Al-Islamiyyah], juz IX, halaman 140).
Selain keharaman tasyabbuh pakaian ditentukan oleh jenis pakaian yang khas dipakai laki-laki atau perempuan, syarat lain dari keharaman tasyabbuh adalah adanya tindakan yang dilakukan secara sengaja. Adapun mengenakan pakaian yang dilakukan secara tidak sengaja atau sebab kebetulan dan ketidaktahuan, maka tidak sampai menyebabkan dosa. (Al-Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, [Darul Kutub Al-Alamiyyah], juz XI, halaman 105).
Berkaitan dengan ketentuan tasyabbuh, perlu juga dipahami bahwa niat tidak memiliki dampak hukum atau peranan dalam menentukan hukum haram, jika berkaitan dengan pakaian yang sangat identik dengan jenis kelamin tertentu. Karena memakai pakaian yang demikian sudah dianggap mengandung unsur kesengajaan.
Lain halnya jika orang mengenakan pakaian yang tidak identik dengan jenis kelamin tertentu, maka niat akan berperan sebatas mempertimbangkan tujuan pemakaiannya, apakah untuk melakukan maksiat atau tidak. Ia akan berdosa karena niat buruknya, bukan sebab memakai pakaian yang dikenakannya. Contoh pakaian yang identik bagi perempuan adalah dress, gelang kaki, kebaya, dan pakaian lain yang menunjukkan potongan dan model wanita. Sedangkan pakaian yang identik bagi pria di antaranya adalah baju koko, peci haji, dan lain sebagainya.
Relasi Pakaian dengan Agama dan Budaya Salah satu cara untuk menentukan apakah suatu pakaian sesuai dengan norma agama, misal dalam hal style dan potongan sebagaimana uraian yang telah dibahas adalah dengan melihat budaya yang berkembang di masyarakat. Tradisi atau budaya masyarakat sangat berperan dalam hal ini, sebagaimana argumentasi yang disampaikan Imam Al-Abadi:
فأماهيئة اللباس فتختلف باختلاف عادة كل بلد فرب قوم لا يفترق زي نسائهم من رجالهم في اللبس لكن يمتاز النساء بالاحتجاب والاستتار
Artinya: ‘’Adapun cara berpakaian, maka akan berbeda-beda dengan adanya perbedaan tradisi setiap daerah, sehingga terkadang sekelompok masyarakat tidak memiliki perbedaan pakaian antara perempuan dan laki-laki. Namun perempuan menjadi berbeda dengan memakai hijab dan penutup.” (Al-Abadi, XII, halaman 105)
Dengan demikian pakaian yang sudah umum digunakan oleh semua jenis kelamin dan sudah membudaya, seperti celana, sabuk, topi, dan hem atau pun kemeja, maka tidak masuk ke dalam kategori pakaian yang mengandung unsur tasyabbuh yang diharamkan. Wallahu a’lam bis shawab.
Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding, Sumenep, Jawa Timur.
Kenali Kami Lebih Dekat
Assalamu Alaikum Akhi Ukhti!! Selamat datang di Kabar Umat
Kami hadir setiap saat untuk menyampaikan berita terpercaya serta wawasan keislaman, keindonesiaan dan kebudayaan hanya buat Akhi Ukhti. Bantu sukseskan Visi kami satukan umat kuatkan masyarakat dengan cara share konten kami kepada teman-teman terdekat Akhi Ukhti !