Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Bagaimana Cara Perempuan Jihadis Bisa Kembali pada Jalan yang Benar?

Bagaimana Cara Perempuan Jihadis Bisa Kembali pada Jalan yang Benar?

Bagaimana rasanya mendapatkan diskriminasi atas nama gender? Menjadi perempuan yang kadang dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan apapun. Namun, saya meyakini bahwa, di lingkungan sekitar kita, sudah banyak orang-orang yang sudah memberikan kesempatan bagi orang lain bukan karena jenis kelamin, akan tetapi karena kemampuan yang dimiliki. Lalu, apakah pertanyaan tersebut selesai? Tentu tidak.

Ada banyak pertanyaan lain ketika melihat persoalan tanggung jawab dan hak yang dimiliki oleh masing-masing individu. Misalnya dalam persoalan mainstreaming isu ekstremisme yang kerap kali dialami oleh perempuan. Sejauh ini, pesona perempuan menjadi jihadis, dipotret sebagai pelaku. Kasus peledakan bom yang dilakukan oleh perempuan, pada dasarnya posisi perempuan tetap menjadi korban. Sehingga kalimat yang menyatakan perempuan sebagai pelaku, belum melihat secara interseksionalitas. Hal ini karena posisi perempuan yang kerap dijadikan makhluk kedua ataupun makhluk yang lemah dalam melakukan segala jenis pekerjaan.

Terlibatnya perempuan dalam kelompok ekstremisme dan kelompok teroris, menjadi salah satu PR bersama dalam memberikan edukasi dan menyebarkan pengetahuan serta akses terkait terorisme yang sudah menjelma di media online dengan sejuta cara. Namun, di balik dari kerentanan perempuan bergabung dalam kelompok ekstremis, ada berbagai harapan dan kondisi sangat cerah untuk melihat perempuan kembali pada jalan yang benar, jalan yang kaffah, yakni jalan yang dapat memberikan perempuan memperoleh legitimasi atas kehidupan dan kebebasannya menjadi seorang muslim.

Setidaknya ada beberapa alasan perempuan bisa kembali pada jalan yang benar, di antaranya:

Pertama, kritik pada praktek kebencian. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebencian secara alamiah kita tolak sebagai manusia. Praktek-praktek kebencian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teror, akan memuakkan para perempuan karena di berbagai ruang yang lain, perempuan adalah makhluk yang lembut dan penyayang. Hal ini karena erat kaitannya dengan kodrat perempuan sebagai makhluk yang memberikan kehidupan dengan cara hamil, melahirkan, menyusui. Sikap ini menjadi sebuah ciri khas yang dimiliki oleh perempuan.

Kedua, gender issues, dalam konteks poligami. Saya meyakini bahwa, persoalan poligami, titik persoalannya adalah perempuan tidak ingin diperlakukan sama bersama dengan perempuan yang posisinya serupa sebagai istri. Sekalipun dengan atas nama agama, poligami tetap menjadi persoalan yang sangat memuakkan digencarkan oleh sang suami para teroris untuk menambah keturunan, sehingga bisa menciptakan tentara di surga.

Ketiga, bacaan kritis. Jika pepatah mengatakan bahwa membaca adalah memberi makan jiwa, maka kalimat ini benar adanya. Sebab dengan membaca, mampu merubah karakter dan cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Termasuk ketika membaca pemikiran-pemikiran dari berbagai referensi, akan memberikan dampak untuk mengubah gerakan dan pola kehidupan yang selama ini dilakukan.

Keempat, memori pluralisme. Wacana tentang pluralisme, melihat segala jenis perbedaan dari setiap individu selalu melekat dalam diri kita sebagai manusia. Artinya, sejak lahir kita diberikan pengalaman masa kecil tentang perbedaan karakter dari orang tua dan seluruh keluarga. Dari sinilah kemudian timbul rasa ketidaknyamanan, baik komunitas ataupun lingkungan yang tidak menghargai perbedaan ataupun lingkungan yang tidak setuju terhadap persatuan dan kesatuan.

Kelima, kelelahan atas narasi permusuhan. Narasi-narasi negatif dan permusuhan bahkan kebencian, bagaimanapun akan memberikan dampak yang sangat tidak baik bagi seseorang. Setiap orang akan muak dengan segala konfrontasi dan perdebatan. Sehingga dari sini, menjadi salah satu gerbong seorang perempuan kembali pada jalan yang benar.

Keenam, ilusi ISIS. Gerakan ISIS adalah gerakan yang ingin mengubah dunia dengan pemerintahan Islam. Tujuan tersebut adalah ilusi yang sama sekali tidak masuk akal dengan kekuatan yang di framing sebagai kekuatan Islam.

Ketujuh, power of love (family and community). Kekuatan cinta dari keluarga dan komunitas akan menjadi basis pengetahuan dan pengalaman seorang perempuan untuk kembali ke jalan yang benar. Maka tidak salah ketika dalam pendampingan istri-istri napiter, kehadiran komunitas-komunitas yang memberikan pendampingan kepada para perempuan menjadi ruang atau wadah kuat dalam menemukan jati diri dan melakukan perbaikan kehidupan.

Ketujuh alasan ini menjadi bagian dari perjalanan perempuan jihadis dalam menemukan jalan yang benar. Setiap fase yang dialami oleh perempuan, sangat penting untuk diperlihatkan sebagai proses pencarian. Termasuk berbagai fase atas pemahaman Islam yang dialami. Wallahu a’lam.

Muallifah
Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bisa disapa melalui instagram @muallifah_ifa