Kabarumat.co – Nilai dan dogma keagamaan sering kali menjadi pintu masuk bagi kelompok radikal untuk memprovokasi masyarakat melakukan aksi ektremisme-terorisme. Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia tak jarang dimanfaatkan para radikalis untuk menyebarkan paham radikal dan melakukan radikalisasi. Ini, tentu, super bahaya.
Alasan kelompok radikal menyasar pendidikan pesantren sebagai tempat radikalisasi dan diseminasi ideologi, disebabkan oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Faktanya, pesantren sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat untuk memperdalam wawasan keislaman adalah lahan basah radikalisasi.
Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang pendidikan pesantren yang muncul sejak abad kelima belas. Didirikan pertama kali oleh Sunan Ampel, pesantren telah membuktikan kualitasnya dengan melahirkan ulama dan cendekiawan yang andal dan menguasai keilmuan Islam yang masyhur di kancah dunia. Taruhlah contoh KH. Mahfudz Tremas, Syekh Nawawi Banten, KH. Abdurrahman Wahid.
Namun, semenjak terjadinya Bom Bali, dua dekade silam, muncul kegelisahan dan cara pandang negatif sebagian masyarakat terhadap pesantren. Hal tersebut karena paham yang mereka ajarkan menimbulkan kekacauan dan kekhawatiran terhadap publik. Bayangkan, pelaku Bom Bali adalah alumni Pesantren Ngruki, binaan ideolog teror: Abu Bakar Ba’asyir.
Kuatnya otoritas tenaga pengajar pesantren menciptakan kemudahan tersendiri dalam upaya provokasi melalui doktrin keagamaan. Terbukanya kesempatan untuk menginterpretasikan dalil agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis secara tekstual menjadi sebuah keniscayaan yang dilakukan kelompok radikal untuk memprovokasi masyarakat Muslim.
Dengan begitu, maka dibutuhkan sebuah langkah strategi untuk menutup pergerakan kelompok-kelompok radikal yang ingin merusak marwah dan kewibawaan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam indigenous yang unggul dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang rahmatan lil ‘alamiin. UU Pesantren, jawabannya.
UU Pesantren untuk Kontra-Radikalisasi
Sudah lumrah diketahui bersama, bahwa pesantren adalah sentral pendidikan dakwah dan penyebaran Islam tertua di Indonesia. Karakteristik pesantren dengan independensi dalam penyusunan kurikulum dan sumber pembelajaran menjadi ciri khas yang unik dari pendidikan pesantren.
Independen di sini dalam artian bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang dalam pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada kiai selaku pemilik dan pengelola pesantren. Dalam hal ini meliputi, penyusunan kurikulum, kegiatan pembelajaran, hasil capaian, dan output pembelajaran sampai pengelolaan dana anggaran.
Dengan begitu, sifat independensi dan jauh dari pantauan negara inilah yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyebarluaskan paham mereka melalui kegiatan pembelajaran dan interpretasi atas teks keagamaan secara skripturalis dan fundamental.
Hari ini, citra dan kewibawaan pesantren—baik sebagai penjaga kemerdekaan maupun sebagai sarana dakwah Islam telah dicoreng dengan beberapa tindakan ekstremisme-terorisme oleh kelompok radikal. Dengan embel-embel pendidikan pesantren, mereka menipu masyarakat Muslim. Para radikalis hari ini banyak mendirikan pesantren abal-abal, hanya sebagai lumbung radikalisasi.
Karenanya, UU Pesantren No. 18 Tahun 2019 dapat menjadi angin segar dan langkah yang strategis pemerintah dalam menutup penyebaran paham radikal dengan mengatasnamakan pesantren. UU Pesantren mesti diapresiasi sebagai strategi menyetop radikalisasi di pendidikan.
Terbentuknya regulasi dalam bentuk UU dapat menjadi landasan normatif dan yuridis, juga berfungsi sebagai bentuk afirmasi pemerintah terhadap eksistensi dan kontribusi pesantren. Selain itu, dapat menjadi langkah taktis menutup pergerakan kelompok radikal di Indonesia.
Bukti ini, dapat kita lihat dalam bunyi klausul yang terdapat pada Bab II Pasal 2 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan berasaskan pada Ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, pemberdayaan, kemaslahatan, multikultural, profesionalitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum.
Lebih lanjut, tujuan daripada penyelenggaran pendidikan pesantren juga disebutkan dalam UU Pesantren. Di antaranya ialah bahwa, pertama, pendidikan pesantren bertujuan untuk membentuk individu yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang didasarkan pada keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, berilmu, ta’āwun, tawāzun, serta tasāmuh.
Kedua, mendorong pemahaman keberagamaan yang moderat, cinta tanah air, terwujudnya kerukunan hidup beragama, terbentuknya watak peradaban bangsa yang cerdas, bermartabat, dan berkemajuan.
Ketiga, ikut serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Dengan begitu, maka jelas bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki orientasi pada kesejahteraan dan ketenteraman bagi masyarakat. Sehingga, segala bentuk paham radikal yang mengatasnamakan “pesantren” sebagai strategi penyebaran tidak akan terjadi lagi. Radikalisasi dalam pendidikan pesantren harus diberantas total, melalui UU Pesantren tersebut.
Optimalkan UU Pesantren, diseminasi radikalisme dan radikalisasi pendidikan di pesantren auto mati. Namun jika tidak, yang mati adalah pendidikan moderat. Harus disadari bersama bahwa dalam institusi pendidikan, moderasi dan radikalisasi tidak dapat berjalan beriringan. Siapa yang masif, ialah pemenangnya. Siapa pemenangnya, maka santri akan terbentuk demikian: apakah mereka akan jadi Muslim moderat, atau malah jadi radikalis-teroris.
Leave a Review