Aksi terorisme tidak diragukan merupakan puncak tertinggi dari kejahatan kemanusiaan luar biasa (extra-ordinary crime) yang dilatari oleh ideologi kebencian dan kekerasan. Sebagaimana makna kata teror yang berarti upaya menciptakan ketakutan, tujuan akhir aksi terorisme bukanlah semata tentang berapa jumlah korban tewas dan berapa kerusakan harta-benda yang mampu ditimbulkannya.
Tujuan akhir aksi terorisme ialah bagaimana aksi kekerasan itu bisa memicu ketakutan, kepanikan dan kecemasan publik. Ketika publik merespons aksi terorisme dengan kecemasan, kepanikan, dan ketakutan, maka saat itulah para teroris telah mendapatkan kemenangannya.
Maka, dari tinjauan psikologis para pelaku aksi terorisme bisa dikategorikan sebagai psikopat. Mereka melukai bahkan membunuh orang tanpa motivasi yang jelas dan tujuan yang spesifik. Mereka melakukan aksi kejahatan dan kekerasan sekadar untuk bersenang-senang sekaligus memvalidasi keyakinannya atas opini yang ia bangun sendiri. Sedangkan secara sosio-politik, aksi terorisme merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Hannah Arendt sebagai “banality of the devil”, alias banalitas kejahatan.
Istilah banality of the devils dipopulerkan oleh Arendt untuk menggambarkan perilaku Adolf Eichmaan, seorang jenderal Nazi yang bertanggung jawab secara langsung atas praktik pembunuhan massal (genosida) kaum Yahudi pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Menurut Arendt, Eichman sebenarnya bukan sosok psikopat atau brutal sebagaimana kerap dipersepsikan media massa dan masyarakat umum.
Sebaliknya, Eichman ialah sosok yang cerdas dan patuh pada atasan. Ia ialah manusia biasa yang terjebak dalam praktik kekerasan karena kepatuhan tanpa syarat pada atasan dan aturan birokrasi kemiliteran dimana ia berkarir di dalamnya.
Dengan mempopulerkan istilah banality of the devils, Arendt pada dasarnya ingin mengatakan bahwa kejahatan kemanusiaan luar biasa, seperti genosida, bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk orang biasa yang dalam kesehariannya dikenal baik, santun, dan cerdas. Kejahatan, menurut Arendt akan menjadi banal manakala pelakunya tidak merasa bersalah atas perbuatannya dan menganggapnya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan.
Teori “banality of the devils” ini kiranya juga relevan untuk melihat fenomena terorisme berlatar agama (Islam) yang belakangan ini marak terjadi di negeri ini. Saban kali terjadi aksi terorisme dan identitas pelakunya terungkap, publik kerap dibuat kaget. Lantaran, kebanyakan dari mereka ialah sosok-sosok manusia pada umumnya. Bahkan, kerap dipersepsikan sebagai orang baik, rajin ibadah, ramah pada tentangga dan perilaku positif lainnya.
Lantas, mengapa orang-orang biasa yang dicitrakan berperingai positif itu bisa menjadi pelaku aksi kejahatan keji; bom bunuh diri, menyerang polisi dan sebagainya? Jika merujuk pada konsepsi Arendt tentang banality of the devils, hal itu terjadi karena mereka kehilangan nalar kritis untuk menyikapi sebuah aturan atau perintah.
Dalam kasus Adolf Eichmann yang berperan memasukkan ribuan orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi untuk dibunuh, hilangnya nalar kritis itu mewujud pada sikap Eichmann yang selalu tunduk pada perintah atasan agar karir militernya aman. Ia tidak peduli bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Ia hanya peduli bahwa untuk mendapatkan karir militer yang bagus, ia harus setia pada perintah atasan.
Dalam kasus terorisme berlatar agama, hilangnya nalar kritis itu mengemuka pada sikap teroris yang bertaklid buta pada doktrin atau ajaran agama yang ditafsirkan secara harfiah dan kaku. Para teroris terlah termakan propaganda radikalisme dan ekstremisme yang mendoktrinkan bahwa kelompok yang berbeda ialah musuh dan layak untuk dimusnahkan.
Doktrin bernada kebencian dan kekerasan inilah yang menjadi bahan bakar kelompok teroris dalam menjalankan aksi-aksi kejahatannya. Lantaran yakin bahwa aksi teror yang mereka lakukan itu benar, mereka tidak lagi merasa bersalah. Sebaliknya mereka kerap mengglorifikasi aksi terorisme sebagai perjuangan (jihad) membela agama dan Tuhan.
Ketika menyerang gereja, para teroris meyakini bahwa mereka sedang menyerang musuh-musuh Islam. Demikian pula, ketika mereka menyerang polisi, mereka meyakini bahwa mereka tengah menyerang kekuatan yang merepresentasikan taghut. Cara pandang yang demikian ini jelas berbahaya, karena menganggap kejahatan sebagai sebuah kewajaran, bahkan keharusan.
Sebagai kejahatan luar biasa, terorisme tentu tidak bisa ditangani hanya dengan memakai pendekatan hukum dan militer saja. Lebih dari itu, penanganan problem terorisme harus juga melibatkan pendekatan filosofis. Setidaknya ada dua hal penting yang harus kita lakukan dalam hal ini.
Pertama, mengembangkan nalar kritisisme utamanya di kalangan umat beragama dalam mempelajari doktrin maupun teks keagamaan. Nalar kritis diartikan sebagai sikap tidak mudah begitu saja menerima kebenaran final sebelum melakukan proses verifikasi, dan penelaahan mendalam dan membandingkan pengetahuan atau informasi dengan referensi lain.
Kedua, mengembangkan nalar humanisme yakni komitmen untuk selalu menempatkan nilai kemanusiaan di atas semua kepentingan apa pun. Nalar humanisme merupakan fondasi penting bagi manusia agar setiap ucap dan perilakunya didasari kesadaran untuk berempati dan bersimpati pada penderitaan orang lain.
Dengan membangun kultur kritisisme dan humanisme dalam beragama, kita berharap umat beragama akan terhindar dari propaganda radikalisme dan ekstremisme.
Leave a Review