Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Radikalisme dalam Masyarakat, Kapan Berakhir?

Radikalisme dalam Masyarakat, Kapan Berakhir?
Radikalisme dalam Masyarakat, Kapan Berakhir?

Keanekaragaman suku, budaya dan agama di Indonesia memperkaya khazanah pengetahuan masyarakatnya. Bila ditelusuri dalam banyak literatur sejarah, akan ditemukan fakta bahwa bangsa Indonesia sangat kaya akan gagasan dan ide, hal itu tercermin melalui para pendiri bangsa yang lahir dari rahim yang berbeda namun bersama-sama berjuang dengan menyatukan kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongannya demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Konsekuensi dari keragaman itu adalah perbedaan sudut pandang dalam menyikapi sesuatu. Dengan kata lain, selama perbedaan pandangan dan pemikiran itu dapat disikapi dengan positif akan berdampak baik untuk menunjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tak jarang perbedaan tersebut dimanfaatkan untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tak jujur dari pihak yang mengaku luhur. Menjamurnya gerakan kelompok Islam transnasional mempertegas asumsi tersebut.

Populisme agama di Indonesia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Pilpres 2014, pilkada DKI 2017, dan pemilu 2019 telah menyadarkan sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa kerukunan antar umat beragama terganggu akibat menjamurnya gerakan kelompok Islam transnasional yang rela menukar kepentingan nasional dengan kepentingan individu dan kelompoknya. Radikalisme telah menjadi ancaman serius yang membahayakan persatuan dan kerukunan masyarakat Indonesia.

Adian Husaini (2006) menerangkan bahwa ada empat kriteria tentang Islam radikal. Pertama, memiliki keinginan untuk mengubah tata nilai dan sistem yang telah ada, dengan keyakinan ideologi dan sifat fanatik yang begitu tinggi. Kedua, apabila ada kelompok lain yang dianggap bertentangan dengan mereka, maka mereka akan melalukan aksi-aksi yang keras bahkan bertindak kasar.

Ketiga, kelompok radikal memiliki ciri khas baik dari segi penampilan ataupun ritual ibadah sebagai identitas mereka. Keempat, kelompok Islam radikal menyebarkan pahamnya bergerak secara gerilya, meskipun ada juga yang secara terang-terangan.

Tindakan dan perilaku yang ditampilkan oleh kelompok Islam transnasional tidak mencerminkan wajah Islam yang ramah dan sebaliknya justru merusak citra Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Adian seolah hendak menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok Islam transnasional tidak boleh dibiarkan karena akan menyebabkan demokrasi di Indonesia mengalami konstipasi -sembelit-.

Al-Muhafadzah wa Al-Akhdzu

Istilah Al-Muhafadzah wa Al-Akhdzu rasanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Dan Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang menjadi garda terdepan untuk terus mendengungkan dan mendakwahkan pentingnya prinsip ini sebagai anti tesis dari kemandulan berpikir yang diderita oleh kelompok Islam transnasional.

Secara sederhana prinsip Al-Muhafadzah wa Al-Akhdzu ini dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi masa lalu yang masih relevan. Namun, tidak berarti menolak pembaharuan terhadap sesuatu, justru semangat Al-Muhafadzah wa Al-Akhdzu ini mendukung segala bentuk pembaharuan untuk menghadapi segala persoalan yang hadir di tengah-tengah jalan.

Melalui semangat Al-Muhafadzah wa Al-Akhdzu akan lahir kaum muslimin yang memiliki kualitas dengan pemahaman agama yang komprehensif sehingga tidak mudah teragitasi dan terprovasi oleh doktrin-doktrin kacangan yang didakwahkan oleh kelompok Islam transnasional. Di samping itu juga akan membentuk kepribadian dan sikap yang moderat dan toleran terhadap perbedaan.

Berbeda dengan kelompok Islam transnasional yang masih tersandera oleh pemahaman Islam yang konservatif. Perwujudan dari pemahaman Islam yang konservatif tersebut seperti yang tercermin pada kelompok-kelompok Islam yang melarang pembangunan tempat ibadah agama lain, mendelegitimasi pemerintah melalui tindakan-tindakan anarkis, melakukan aksi bom bunuh diri dan yang paling berbahaya adalah merawat permusuhan antar umat beragama dengan memposisikan diri sebagai kelompok yang termarjinalkan untuk mengambil  hati masyarakat.

Di tengah rongrongan berbagai macam ideologi, prinsip yang didengungkan oleh Nahdlatul Ulama ini menjadi sangat penting untuk diimplementasikan oleh seluruh elemen masyarakat terutama dalam mencegah dan memutus pergerakan kelompok Islam transnasional agar eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara tetap utuh dan tidak terurai.

Peran Pemerintah

Bila diamati dari banyak kanal berita, apatisme masyarakat terhadap isu-isu radikalisme sangat terasa. Tidak sedikit pula yang menuding bahwa radikalisme adalah komoditas paling laris dan selalu ramai peminat apalagi untuk kepentingan politik pada pemilu 2024 mendatang sehingga sebagian masyarakat lebih memilih membiarkan dan pasrah karena merasa sudah tahu alurnya.

Pembiaran tersebut adalah angin segar bagi kelompok Islam transnasional untuk menyebarkan paham-pahamnya. Padahal telah disinggung di awal bahwa radikalisme adalah ancaman serius bagi persatuan dan kerukunan antar sesama umat  beragama di Indonesia. Dengan demikian, pembiaran atasnya adalah dosa besar terhadap negara.

Selain masyarakat, yang memiliki peran paling penting untuk mencegah dan memutus pergerakan kelompok Islam transnasional adalah negara. Aukha Uli (2017) menguraikan pentingnya peran negara. Menurutnya, pemerintah perlu membuat program deradikalisasi dengan cara memasukan kembali kurikulum Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga universitas.

Di samping itu Aukha juga menyarankan agar pemerintah lebih ketat dan tegas dalam mengontrol organisasi massa yang berpotensi melakukan makar terhadap ideologi Pancasila. Dan yang paling penting adalah melakukan kerja sama dengan seluruh ormas-ormas Islam yang moderat  untuk menjaga kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.