Kasus teror hampir terjadi tiap hari. Di Indonesia sendiri, mulai dari 2000 hingga 2021, berdasarkan catatan BNPT ada sekitar 50 orang perempuan yang terlibat terorisme. Ini baru perempuan yang terdata. Dan keseluruhan keterlibatan orang Indonesia menjadi teroris sangat mencengankan karena lebih dari hitungan umum umat manusia. Bahkan tren kasus teroris di Indonesia selalu ada peningkatan pada setiap tahunnya, yaitu mulai dari perorangan, melibatkan keluarga, masuk ke kalangan remaja, hingga bahkan masuk dan melibatkan institusi negara.
Jadi dalam peningkatan kasus tersebut, setidaknya pemerintah perlu mengevaluasi apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan akar rumput di bawah? Apa yang melatarbelakangi mereka terlibat dalam kasus terorisme? Dan bagaimana sebenarnya BNPT harus bertindak guna menekan jumlah teroris di Indonesia?
Di sini, BNPT wajib berbicara dan membeberkan kepada masyarakat secara luas bagaimana kesiapan dia yang sesungguhnya untuk menanggulangi terorisme di Indonesia. Berikan pertanggungjawaban secara lengkap kepada masyarakat agar mereka tidur lebih aman-tentram dan tidak terbayangi oleh pikiran-pikiran teror yang menghantui tiap harinya.
Jika kita membuka berita, dan kita menyimaknya, sungguh mengkhawatirkan bagaimana keadaan teroris dan keadaan cara menanggulangi teroris di Indonesia. Sejak BNPT hari lalu melakukan kekeliruan dalam mendata pesantren yang terafiliasi dengan teroris, ditambah lagi dengan blundernya meminta maaf, maka terlihat jelas bahwa BNPT ada yang bolong dalam memetakan teroris di Indonesia, sebagaimana bolongnya dalam menggali strategi yang mereka jalankan untuk menumpas teroris di Indonesia.
Sudah terlalu capek menunggu keamanan masyarakat Indonesia dari gempuran terorisme. Dan sudah terlalu kesal melihat keteledoran lembaga pemerintah dalam menanggulangi teroris di Indonesia. Perlu diketahui, negara wajib melindungi masyarakat atau korban. Dalam hal menanggulangi terorisme, sebagai sebuah lembaga, BNPT wajib bertanggungjawab dalam pencegahan tindak pidana terorisme.
Dalam Pasal 43 UU No 5 tahun 2018 tersebut juga disebutkan, pemerintah wajib melaksanakan pencegahan terorisme. Untuk itu, sudah semestinya pemerintah bekerja keras untuk melakukan upaya-upaya pencegahan yang salah satu upayanya adalah melakukan penangkapan terhadap anggota kelompok jaringan terorisme sebelum mereka melakukan aksinya.
Di luar sana teroris Indonesia masih berkeliaran. Teroris-teroris ini masih melakukan upaya-upaya operasi senyap atau pasif. Dan yang pasti, organiasi teroris berorintasi atau memiliki gerakan “Tamkin” atau penguasaan wilayah, memiliki tujuan perjuangan yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Dalam pandangan terorisme, selama 25 tahun ke depan mereka yakin akan dapat menguasai Indonesia.
Mereka kini bercokol di Pendidikan, di pondok pesantren dan rumah tahfiz. Dan banyak institusi ya telah mengajarakn praktik teroris atau ajaran-ajaran yang mengarah pada perilaku terorisme. Kita melihat, ini dibutuhkan penangan serius karena lembaga-lembaga ini adalah lembaga yang tidak mudah diketahui atau dipantai secara leluasa. Lihat pondok Ngruki, Sukoharjo.
Teroris Indonesia sudah terlalu banyak melakukan aksi teror yang benar-benar membunuh banyak masyarakat Indonesia yang tidak bersalah. Seperti dilakukan JI, bom malam Natal tahun 2000, Bom Bali I (2002) dan II (2005), bom di Hotel JW Marriott (2003), dan bom Kedubes Australia. Mereka juga telah membom Gereja Surabaya (2018) dan bom Makasar (2021) dilakukan oleh para anggota JAD, dan kasus-kasus pemboman atau teror lainnya. Gerakan teroris Indonesia praktiknya tidak hanya terorisme, tapi juga organisasi sosial keagamaan; bergerak melalui yayasan pendidikan dan gerakan amal sosial/ isu-isu kemanusiaan (membantu keluarga teroris, isu Palestina, Syria).
Mereka kini sangat pintar. Gerakan mereka kini sangat tertata. Mereka bisa menyusup di berbagai tempat dengan sikap-sikap yang inklusif. Dan mereka harus diakui dalam hal ini sangat berhasil untuk memainkan peran di segala tempat. Menurut pakar, pada tahun 2010, ada 31 aparat negara dan pemerintahan, 18 di antaranya ASN, 8 eks Polri dan 5 eks TNI yang terlibat dalam jaringan ini.
Dengan ini sesungguhnya keadaan teroris di Indonesia lebih pintar, lebih banyak lagi, dan lebih berbahaya, karena mereka telah menyusup ke pelbagai tempat, mulai instutusi pendidikan, ormas keagamaan, ormas kepemudaan, pemerintahan, bahkan Polri dan TNI. Dan berbahayanya lagi ketika kita melihat bagaimana badan yang mengurusi ini tidak punya asa dan strategi untuk melakukan tindak kepadanya. Kita kini hanya menunggu giliran, dan kalau itu terjadi, BNPT harus bertanggungjawab atas terorisme di Indonesia.
Leave a Review