Kabarumat.co – PRAKTIK mark up atau penggelembungan anggaran hingga saat ini masih menjadi problem yang belum terselesaikan. Masih banyak ditemukan kasus mark up harga dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Padahal, mark up jelas-jelas merupakan modus laten korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hingga saat ini, kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi. Tindakan mark up anggaran tentu sangat merugikan keuangan negara. Selain itu, juga dapat berpengaruh terhadap kualitas barang yang diadakan. Untuk mendapatkan keuntungan, terkadang barang yang diadakan bukanlah barang dengan kualitas dan harga terbaik, sehingga pemanfaatannya kurang maksimal.
Terkait hukum mark up anggaran, dilansir NU Online, pernah diputuskan dalam forum Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 9-10 Juni 2005 di Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
Forum ini memutuskan bahwa mark up anggaran adalah perbuatan dosa karena termasuk perbuatan dusta (kidzb) dan penggelapan dana (ghulul), sehingga para pelaku mark up diwajibkan untuk mengembalikan dana yang diambilnya serta dapat dikenai hukuman (ta’zir) sesuai kebijakan Imam atau pemerintah yang berwenang.
Di antara referensi yang digunakan dasar adalah pernyataan dari ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam bahwa penggunaan dana maslahat umum harus berdasarkan kepentingan bersama (maslahat umum), bukan berdasarkan kepentingan individual:
وَلَا يَتَخَيَّرُوْنَ فِي التَّصَرُّفِ حَسْبَ تَخَيُّرِهِمْ فِيْ حُقُوْقِ أَنْفُسِهِمْ مِثْلَ أَنْ يَبِيْعُوا دِرْهَمًا بِدِرْهَمٍ أَوْ مَكِيْلَةَ زَبِيْبٍ بِمِثْلِهَا لِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا بِاَلَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ وَإِنْ كَانَ هَذَا فِي حُقُوقِ الْيَتَامَى فَأَوْلَى أَنْ يُثْبَتَ فِيْ حُقُوْقِ عَامَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيمَا يَتَصَرَّفُ فِيْهِ الْأَئِمَّةُ مِنَ الْأَمْوَالِ الْعَامَّةِ لِأَنَّ اعْتِنَاءَ الشَّرْعِ بِالْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ أَوْفَرُ وَأَكْثَرُ مِنِ اعْتِنَائِهِ بِالْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ وَكُلُّ تَصَرُّفٍ جَرَّ فَسَادًا أَوْ دَفَعَ صَلَاحًا فَهُوَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ اهـ
Artinya: “Tidak boleh memilih dalam mengalokasikan dana sesuai pilihan mereka dalam hak-hak pribadi, seperti membeli dirham dengan uang dirham atau satu takar kismis dengan sesamanya. Karena firman Allah: “Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan sesuatu yang lebih baik”. Kendati ayat ini dalam hak-hak anak yatim, lebih utama ditetapkan dalam kepentingan umum kaum muslim dalam pengalokasian imam dari harta-harta umum.
Sebab perhatian syariat terhadap kepentingan umum lebih sempurna dan lebih besar daripada perhatian syariat terhadap kepentingan individu. Setiap pengalokasian yang membawa kerusakan atau menghindari kebaikan, maka dilarang.” (Qawa’idul Ahkam [Damaskus: Darul Qolam, 2000], jilid II, halaman 158)
Praktik mark up anggaran merupakan bentuk kebohongan (kidzb), berupa pencatatan dan pelaporan biaya yang dinaikkan melebihi realitas penggunaan yang sebenarnya. Syekh Muhammad bin Salim Babashil menjelaskan bahwa “Di antara maksiat lisan adalah berdusta, yaitu menginformasikan suatu tidak sesuai realitas, maksudnya berbeda dengan realitas yang terjadi, baik ia mengetahui dan sengaja atau tidak. Sementara, mengetahui dan sengaja merupakan ketentuan syarat mendapat dosa.” (Is’ad ar-Rafiq, [Jakarta: Dar Ihya’il Kutub al-‘Arabiyah, t.t] jilid II, halaman 76)
Selain itu, praktik mark up anggaran juga merupakan bentuk penggelapan dana yang diharamkan. Yaitu tindakan mengambil dana negara yang menjadi hak bersama secara pribadi.
Syekh Muhammad bin Salim Babashil juga menjelaskan bahwa: “Di antara maksiat tangan adalah penggelapan harta rampasan, itu termasuk bagian dosa besar. Praktiknya yaitu ada salah satu pejuang, baik seorang amir (pemimpin), atau orang lain yang mengambil harta rampasan sebelum dihadirkan kepada amir agar membaginya menjadi lima bagian, meskipun yang diambil hanya sedikit.”
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa “yang termasuk sama hukumnya dengan penggelapan harta rampasan ialah penggelapan harta umum kaum Muslim, harta baitul mal dan harta zakat. Baik pelakunya orang yang berhak atau tidak, sebab mengambil sendiri harta-harta tersebut itu terlarang, karena harus ada niat di dalamnya.” (Is’adur Rafiq, jilid II, halaman 98).
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menjelaskan bahwa orang yang ditugaskan untuk membeli barang dengan harga tertentu, kemudian dengan keterampilannya, ia dapat membeli dengan harga yang lebih murah, maka uang sisanya tetap harus dikembalikan dan tidak boleh diambil untuk diri sendiri.
وَمِنْهُ يُؤْخَذُ امْتِنَاعُ مَا يَقَعُ كَثِيْرًا مِنِ اخْتِيَارِ شَخْصٍ حَاذِقٍ لِشِرَاءِ مَتَاعٍ فَيَشْتَرِيْهِ بِأَقَلَّ مِنْ قِيْمَتِهِ لِحَذْقِهِ أَوْ مَعْرِفَتِهِ وَيَأْخُذُ لِنَفْسِهِ تَمَامَ الْقِيْمَةِ مُعَلِّلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُ هُوَ الَّذِيْ وَفَّرَهُ لِحَذْقِهِ وَأنَّهُ فَوَّتَ عَلَى نَفْسِهِ أَيْضًا زَمَنًا يُمْكِنُهُ فِيْهِ الْاِكْتِسَابُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ رَدُّ مَا بَقِيَ لِمَالِكِهِ لِمَا ذُكِرَ مِنْ إِمْكَانِ مُرَاجَعَتِهِ اهـ
Artinya: “Dari situ dapat dipahami larangan perbuatan yang marak terjadi, yaitu usaha orang cerdas dalam membeli harta benda, ia membelinya dengan harga yang lebih murah daripada harga pasaran karena kecerdasannya atau pengetahuannya. Kemudian ia mengambil sisa uang untuk dirinya sendiri dengan beralasan bahwa hal itu adalah sesuatu yang ia peroleh karena kecerdasannya, selain itu, ia juga telah menghabiskan waktunya yang bisa ia gunakan untuk bekerja. Maka ia wajib mengembalikan uang yang tersisa kepada pemiliknya, karena alasan tersebut yaitu ia masih bisa meminta izinnya.” (Hasyiyah Bujairami ‘ala al-Manhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017], jilid II, halaman 578).
Jadi, mark up anggaran merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam, karena merupakan tindakan kebohongan dan termasuk penggelapan dana. Pelaku mark up wajib mengembalikan dana yang telah mereka ambil untuk pribadi, serta mereka berhak mendapatkan hukuman dari pemerintah. Wallahu a’lam.
Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi, Blitar, Jawa Timur
Leave a Review