“Jangan sampai phobia perbedaan, ya”. Ini pesanku pada seorang sahabat yang beberapa hari lalu sharing denganku tentang lakon sosial-keagamaan. Aku “layaknya seorang santri” tidak mau terlibat terlalu dalam, cukup diam dan sesekali mengiyakan curhatnya bahwa, di luar sana ada orang yang sindrom pemikirannya “muslim kota”. Satu pola pemikiran yang—kalau boleh aku kategorikan—tidak semuanya perihal kehidupannya dilandaskan pada dalil, dan diskusi-diskusi keagamaan yang ndakik-dakik.
Pasalnya, si orang itu cukup baik mengamalkan praktik-praktik keagaaman secara patuh, ya walau dirinya tidak tahu dalilnya apa? Imamnya siapa? Sepertinya kurang penting beginya. Karenanya, jika terdapat satu-dua praktik sosial-keagamaan yang tidak masuk pada jantungnya sendiri, seorang itu—kata temanku—ia langsung reaktif, walau hanya dalam omelan ngerumpi belaka.
Fakta ini jelas berbanding 180 derajat dengan tradisi pesantren, yang jika ada perbedaan pendapat—bahasa gaulnya kontroversi—dianggapnya sebagai satu rahmat. Orang pesantren menghargai setinggi-tingginya perbedaan. Bisa dibilang perbedaan pendapat/musykilah menuntut untuk belajar lagi mencari hukum dan dalil. Bahkan jika tidak ditemukan dalam kitab lintas imam pun, pilihannya nanti ijtihad baru, dilakukan proses istinbath al hukmi.
Sampai disini sudah sangat jelas bukan?, bahwa orang pesantren, santri apalagi abah yai dan nyai, tampaknya lebih arif menyikapi perbedaan paham maupun pemahaman sosial-keagamaan? Beda dengan muslim model pertama seperti diceritakan sahabatku yang ngomelin siapapun yang berbeda—sekalipun itu ulama: Kyai dan Bu Nyai—jika tidak cocok dengan otak dan penilaiannya sendiri, menjadi bahan buah bibirnya. Maka pesanku kali itu itu “Jangan sampai phobia perbedaan, ya!”
Padahal, Sejak 1,390 lalu, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa para ulama kita adalah orang yang terpercaya dan adil. Hal ini tertuang dalam sabda beliau:
يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَهِلِيْنَ
Artinya:
Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang paling adil dari setiap generasinya. Merekalah yang akan memberantas pemalsuan orang-orang ekstremis, dusta orang-orang batil dan penyimpangan orang-orang bodoh.
Dari maqal di atas setidaknya ada tiga poin penting yang perlu ditegaskan: pertama, terjaminya keorisinilan ilmu syariat, kedua, perawinya adalah orang-orang adil, dan ketiga, Allah telah menyiapkan pengganti dan pewaris Nabi di setiap masa dari orang-orang terbaik untuk mengawal ilmu syariat-Nya
Bertolak dari maqal di atas, penulis perlu mengetengahkan ulama yang adil mesti berbuat, dan bahkan menetapkan satu putusan degan panduan ilmu pengetahuan agama. Karenanya, barang siapa mendurhakai mereka, maka dia telah mendurhakai Allah, dan barangsiapa mematuhi, maka dia telah mematuhi Allah.
Bagaimana tidak demikian sedangkan mereka adalah para pewaris Rasulullah, maka golongan yang menolaknya telah keluar dari lingkaran Ahlussunnah wal jamaah. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ
Artinya:
“Barang siapa meninggalkan golongan ini dengan kadar sejengkal maka dia telah melepas tali Islam dalam lehernya”.
Imam Bukhari dalam kitabnya menjelaskan bahwa golongan yang dimaksud adalah ulama. Hal ini juga didukung fakta bahwa mayoritas dari ulama adalah pengikut salah satu madzhab empat fiqih. Sebut saja bintang utama ilmu hadits: Imam Bukhari beliau bermadzhab syafi’i, Imam Ibnu Majah Dan Imam an-Nasa’i beliau bermadzhab syafi’i, Imam Syibli bermadzhab maliki, Imam Jariri bermadzhab hanafi.
Bila kita cermati lebih jauh, faktanya menunjukkan bahwa pelopor ilmu tarekat qadiriyah Syekh Abdul Qadir al-Jailani bermadzhab hambali, pelopor tarekat syadzili beliau Imam Syadzili bermazhab maliki. Begitu pula dengan para ulama pewaris setelahnya yang secara garis sanad keilmuan maupun sanad tradisi terus bersambung secara turun temurun hingga dewasa ini.
Dalam bidang ilmu fikih ulama kita mewariskan keilmuan dan tradisi madzhab empat imam, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Warisan itu terus dipertahankan dan didalami di dunia pesantren, di mana orang “muslim kota” tidak pernah sadar akan hal itu.
Kewajiban mengikuti imam madzahab ini juga telah ditegaskan oleh Rarulallah:
Dengan membaca keterangan di atas, maka wajib bagi umat Islam berpegang pada tali Allah dan tidak bercerai berai, yaitu mengikuti Al-Qur’an dan Hadits.
مَنْ شَذَّ شَذَّ فِيْ النَارَ
Artinya:
“Barang siapa menyendiri, maka dia mengasingkan menuju neraka”
Lebih sederhana, penulis dapat menyebutkan bahwa orang yang tidak bermadzhab membuat agamanya lemah, dah wawasan keagamaannya sempit. Orang model ini jika terjebak dengan pikirannya sendiri, ia bisa tidak memiliki dorongan untuk mengikuti agamanya secara benar. Bahkan, bukan hal mustahil pemikiran ekstrim akan muncul sebab terlalu dalamnya akal pemikiran namun minim ilmu. Wallahu a’lam bhi Showab.
* Fathul Ulum (Santri PP. Al Anwar, Sarang, Rembang)
📖Referensi: كتاب العُلَمَاءُ المُجَدِّدُوْنَ
Karangan Almaghfurllah KH Maemoen Zubair, cetakan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr, halaman 29-31.
Leave a Review