Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Dialog Antarumat Sebagai Upaya Preventif Memberantas Intoleransi

Dialog Antarumat Sebagai Upaya Preventif Memberantas Intoleransi

Tidak dapat kita bantah fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, bangsa dan agama. Keberagaman tersebut merupakan keniscayaan Indonesia sebagai negara multikultural. Dengan demikian, keberagaman semestinya menjadi anugerah bagi masyarakat Indonesia.

Melalui perbedaan dan keragaman kita memiliki sejarah dan pola kehidupan yang menarik. Sekaligus mampu mendewasakan pemikiran dan langkah kita untuk kedepannya. Meski tidak jarang tantangan tersebut berupa konflik.

Di antara sekian banyak segmen kehidupan yang diharapkan membaik pada tahun 2022, hubungan antarumat beragama merupakan masalah krusial yang terjadi di beberapa tahun terakhir. Muncul harapan dan juga tantangan bahwa di tahun berikutnya masalah hubungan antarumat beragama terjalin pada fase dialogis-intensif. Harapanya jelas lebih meningkat lagi di dalam bingkai saling percaya dan toleran.

Pada dasarnya sikap menghargai dan toleransi sudah ditanamkan di bangku pendidikan. Tetapi dalam realitasnya konflik antarumat beragama masih sering terjadi. Konflik tersebut tidak hanya terjadi antarumat yang berbeda, pun antarsesama agama, bahkan sesama komunitas atau organisasi dalam agama yang sama.

Salah satu contohnya adalah konflik di Tolikara, Papua, terkait penyerangan saat umat muslim salat Idul Fitri. Penyerangan itu menghanguskan puluhan kios dan satu masjid.

Multikulturalisme menimbulkan kesenjangan antara mayoritas dan minoritas. Sehingga kerap menimbulkan sikap fanatisme, ekslusivisme, sektarianisme, privilese politik dan berujung konflik. Agama sebagai nilai sentral dalam kehidupan masyarakat, membuat manusia dalam bertindak tidak bisa lepas dengan agama.

Cara pandang masyarakat terhadap agama juga memengaruhi tingkah laku masyarakat dalam bertindak. Fakta tersebut menjadikan intoleransi menjadi problem terbesar di tengah beragamnya umat beragama.

Jika dianalisis lebih dalam, persoalan yang muncul dari usaha merajut keragaman di dalam sistem religi yang majemuk, tidak terletak pada peranti hukum yang menaungi komunitas beragama. Penentu atau tepatnya pelaku utamanya adalah umat beragama itu sendiri. Artinya, harmonis tidaknya hubungan antarumat beragama ditentukan oleh para pelaku agama itu sendiri.

Sehingga untuk mencapai hubungan antarumat beragama yang harmonis, yakni perlunya pribadi dialogis. Pribadi ini adalah mental yang dapat menjadi modal dasar seseorang untuk mampu melakukan dialog antarumat beragama sebagai wujud relasi sosial.

Dalam ilmu sosiologi, terdapat teori interaksi sosial yang artinya dalam masyakat terdapat kontak secara timbal balik atau interstimulasi dan respons antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga faktor komunikasi memiliki peranan penting dalam menciptakan sebuah kerukunan. Manifestasinya adalah melalui dialog antarumat.

Jika kita berharap tahun 2022 adalah tahun merajut keragaman maka kuncinya adalah membuka diri di dalam sebuah dialog yang terus menerus. Spiritualitas apa pun yang kita bangun tanpa dialog dengan pemeluk agama lain maka akan kaku dan terjebak dalam pemikiran yang sempit. Bahkan tidak segan-segan menyebar permusuhan dan menggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

Dialog antar umat beragama perlu dipahami secara baik dan benar di kalangan masyarakat umum maupun dikalangan akademisi. Dialog digambarkan sebagai keterbukaan pandangan antara orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap satu sama lain. Dialog antarumat beragama merupakan salah satu wujud keserasian dan keharmonisan, karena adanya pandangan dan pendekatan positif antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Melalui dialog antar umat setidaknya ada komunikasi untuk menjembatani kesalahpahaman yang terjadi, berusaha mengungkapkan silang pendapat yang kerap menjadi penyebab konflik. Selain itu dialog bukan hanya menjadi gaya hidup saja, melainkan menyadarkan masyarakat akan kerukunan antarumat beragama. Dialog juga melatih untuk tidak kaku dalam menerima budaya yang berbeda sehingga cara berpikir masyrakat adaptif dan tidak statis.

Mengapa cara berpikir terbuka dan menghargai keragaman yang ada sangat diperlukan di era sekarang? Jawabanya adalah hingga kini budaya kafir-mengafirkan antar umat beragama masih sering terjadi. Kita bisa mengambil pelajaran dari dua tokoh teologis Al Ghazali dan Ibnu Rusyd mengenai perbedaan pandangan mengenai filsafat dan kritik terhadap beberapa pandangan keilmuan.

Dari perjalanan historis kedua tokoh di atas dapat diambil hikmah bagaimana kita menyikapi suatu perbedaan pemikiran. Perbedaan tersebut mengajarkan kita untuk menggunakan akal dan didasari oleh keimanan. Diperlukan observasi, dipilah dari terbaik yang terbaik dan bukan berdasarkan keyakinan.

Maka dialog antar umat beragama bisa menjadi solusi dan upaya preventif menanggulangi perbedaan yang ada. Dialog antarumat menjadi pilihan alternatif ideal di tengah masyarakat yang plural. Lebih penting lagi orientasi dalam dialog bersifat koesistensi ke pro-eksistensi. Koesistensi artinya mengutamakan terciptanya toleransi. Sedangkan Pro-eksistensi mencari persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sejarah, juga berupaya mencari unsur-unsur yang meliputi perbedaan dan hal-hal yang menyimpan konflik.

Tokoh Sosiolog, Jose Casanova mengatakan bahwa kehadiran agama di ruang publik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dalam karyanya Public Religion (1994) menunjukkan dengan jelas fakta bahwa di zaman post-modern,  tradisi keagamaan di berbagai belahan dunia, termasuk negara yang mengalami arus deras sekularisasi, menolak menerima peran marginal mereka dalam ranah privat.

Sehingga di era disrupsi sekarang fenomena deprivatisasi agama terjadi. Agama masuk kembali ke ruang publik untuk mengambil bagian dalam proses kontestasi dan legitimasi wacana. Hal ini akan menjadi tantangan sekaligus peluang dalam kehidupan beragama masyarakat.

Kehadiran agama di ruang publik seharusnya menjadikan wadah dan memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk mengajukan tafsir agama dan problematika yang diyakininya. Sehingga dialog antarumat beragama bisa menjadi solusi penyelasaian konflik antar umat beragama dan menciptakan kerukunan masing-masing umat beragama.

Lalu, dialog seperti apa yang diharapkan dalam ruang publik? Kerangka aksi komunikatif (communicative action) yang digagas sosiolog Habermas relevan dalam konteks ini. Di dalam aksi komunikatif setidaknya ada dua subjek yang mampu berbicara dan melakukan aksi untuk menegosiasikan pemahaman masing-masing terhadap sebuah permasalahan.

Menurut Habermas, semua pihak boleh terlibat dalam perbedaan sengit dalam menyampaikan pikiran masing-masing. Namun, tetap tunduk pada nilai-nilai bersama karena yang dituju adalah konsensus dan kesepakatan yang akan membawa kemaslahatan bersama.

Di era sekarang dialog antarumat beragama masih minim dukungan. Sampai saat ini miss konsepsi dialog antarumat masih terjadi di kalangan masyarakat. Terdapat dugaan bahwa dialog antarumat adalah hanya sebagai sarana saling menonjolkan siapa yang lebih baik. Padahal jika dalam konteks agama, dengan adanya dialog antar umat membuat keyakinan agamanya lebih bertambah kuat.

Bahwa perbincangan mengenai identitas lain bukan dalam rangka menyalahkan atau menebak siapa yang paling baik. Sebaliknya, dialog cross-culturalreligious justru untuk mempertegas garis keragaman yang mesti dirawat dan dilestarikan.

Upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri. Kesadaran untuk terbuka dalam dialog diperlukan untuk siapa saja yang ingin menjalin pertemanan lintas budaya dan agama. Dialog antar umat beragama akan meminimalisir setiap umat beragama yang masih pada pemikiran logika biner ‘agama saya benar, jadi agama lain salah’. Sehingga dialog antarumat beragama merupakan salah satu cara untuk merawat keberagaman kerukunan Indonesia.

Yusup
Santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.