Tak layak jika kita mengatakan bahwa perbedaan meniscayakan konfik. Karena pada hakikatnya perbedaan adalah hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Ia lazim sebagaimana lazimnya terang atas cahaya, dan lazimnya moderasi di negara plural. Jika perbedaan meniscayakan konflik kita amini begitu saja, maka sejatinya hidup adalah masalah. Dan itu tidak benar. Oleh karena hal tersebut maka seharusnya ada pengeloalaan perbedaan untuk dijadikan imun dalam menjalani kehidupan yang sehat.
Kira-kira terdapat dua hal yang dapat meniadakan sehatnya kehidupan; ekstrimisme dan apatisme. Ekstrimisme—sebagaimana lumrahnya—ia terbagi menjadi ektsrim kanan dan ekstrim kiri. Keduanya sama-sama merusak ideologi dan pola pikir yang sehat. Sementara apatisme menjadikan fasilitas kehidupan bagaikan garam dalam laut, tak berguna. Bukankah keduanya juga termasuk sebagian perbedaan yang diniscayakan oleh kehidupan massal?
Memang benar. Namun di samping sebagai kenisacayaan dari hidup ia adalah bibit dari konflik yang dapat menghalangi terkelolanya perbedaan yang lain. Sebagaimana tujuan dari pengelolaan perbedaan, yaitu persatuan, maka hasil akhir dari terhalangnya pengelolaan adalah perpecahan. Struktur sosial yang seharusnya tercipta dengan damai akan merangkak tak beraturan. Lalu bagaimana perkembangan bisa dicapai jika masih sibuk menaati hasrat tak mau mengalah?
Indonesia. Negara yang memiiki karakteristik plural dalam beberapa hal; agama, bahasa, budaya, suku dan bangsa. Berangkat dari hal tersebut Cliffor Geertz mengatakan bahwa Indonesia sangatlah kompleks, sehingga sulit untuk menentukan anatominya secara persis. Pluralitas tersebut telah menjadikan Indonesia negara yang multkultural. Maka atas nama perdamaian dalam hidup seharusnya perbedaan tersebut dikelola dengan baik.
Namun di sini kami hanya membahas konflik yang terjadi dalam ranah agama saja. Karena di samping yang sering terjadi hanya dalam konteks agama juga dengan surutnya konflik di dalamnya dapat membantu lancarnya pengelolaan pebedaan yang lain. Sehingga kerukunan umat beragama sangatlah dibutuhkan dalam perjalanan hidup berkebangsaan plural.
Hal lain yang membuat kerukunan umat beragama sangatlah dibutuhkan adalah tidak tercapainya pengelolaan pluralitas yang ada di Indonesia jika konflik sosial agama masih ada.
Berdasarkan faktor penghalang pengelolaan di atas maka—dengan yakin—kami sebutkan bahwa senjata ampuh untuk melancarkan pengelolaan adalah moderasi. Moderasi di sini saya pahami sebagai sikap peduli sosial tanpa harus berat sebelah. Menjadikan bangsa melangkah di jalannya, tanpa harus saling memberatkan di dua arah berlawanan adalah inti dari moderasi.
Sejatinya mereka boleh beda jalan untuk menuju arah tujuan, namun tetap bersatu dalam ikatan kebangsaan. Sehingga bukan hanya lancarnya perjalanan yang di dapat, manisnya persaudaraan sebab saling membantu dalam perjalanan juga ia rasakan.
Mengapa Harus Moderasi?
Saya kiaskan Indonesia bagaikan pohon besar yang indah sebab memiliki beberapa cabang dan ranting yang indah pula. Betapa tidak eloknya jika salah satu ranting menjalar ke ranting yang lain sehingga merusak tatanan keindahannya. Lumrahnya ranting tumbuh karena mendapat asupan dari sinar matahari. Oleh karena hal tersebut dibutuhkan keseimbangan dalam mengonsumsinya supaya tidak menjalar masuk ke ranting yang lain dan merusaknya.
Begitu pun Indonesia. Adanya keseimbangan adalah kunci bagi terciptanya hidup damai. Dalam hal ini kami bahasakan keseimbangan dengan sikap moderat. Jika salah satu perbedaan merusak pada perbedaan yang lain berarti terdapat ketidak-seimbangan dalam mengatur sosialnya . Tentunya keseimbangan tersebut diperlukan adanya campur tangan manusia berupa pengelolaan. Pengelolaan yang baik—sebagaimana perawatan tumbuhan yang indah—niscaya akan menghasilkan hasil maksimal.
Sebenarnya istilah keseimbangan dalam konteks sikap moderat adalah salah satu dari beberapa bentuk darinya. Kami menekankan keseimbangan (tawazun) karena ia adalah yang paling urgen dari beberapa bentuk sikap yang ada. Sehingga menurut kami sangatlah pantas jika misalnya kata moderasi diinterpretasikan sebagai sikap tawazun.
Di samping ia pas menjadi interpretasi atas konteks moderasi juga sangatlah efektif dalam memelihara kehidupan yang sehat. Efektifitas ini karena melihat faktor munculnya ekses sosial yang sedang terjadi, yaitu ekstrimisme dan apatisme.
Secara singkat sikap moderat adalah sikap yang tidak kaku terhadap segala hal. Dapat menerima kebenaran secara objektif tanpa terpengaruh oleh latar belakang adalah kunci bagi terciptanya sikap moderat (tawassuth). Oleh karena hal tersebut muncullah sikap-sikap turunan darinya, seperti tawazun, tasamuh dan I’tidal.
Akhir-akhir ini hadir konsep yang mirip dengan tawassuth dengan nama “moderasi beragama”. Konsep ini hadir dari Mentri Keagamaan guna menstabilkan kembali kehidupan beragama. Konsep moderasi yan mereka pahami adalah jalan tenga dalam setiap perkara. Pemahaman ini serupa dengan yang sudah ada sebelumnya. Hanya saja mereka mengemukakan konsep moderasi dalam ranah hidup beragama bukan dalam agama itu sendiri. Itulah yang membuat konsep ini terasa baru dengan langkah yang lama.
Kalau kita kembali ke paragraf awal akan sangat pas jika apa yang direncanakan Kemenag terealisasi dengan aksi, bukan hanya dalam bentuk wacana dan teori saja. Namun—sekali lagi—sebagaimana tumbuhan hidup plural harus disertai dengan campur tangan manusia berupa pengelolaan. Jadi tidak hanya terhenti dalam bentuk kalimat panjang saja, tapi terjalankan dalam realita langsung.
Maka akan sangat naif jika di antara kita yang memiliki pengaruh justru tidak mengamini konsep yang ditawarkan oleh Kemenag. Itulah yang membuat pengelolaan pluralitas Indonesia terhambat. Maka bukan hanya konflik sosial yang terjadi, ideologi bangsa sebagai penerang hidupnya juga ikut rapuh.
Leave a Review