Media sosial mampu menelanjangi kehidupan manusia menjadi dua kepribadian: realitas nyata dan realitas maya. Fenomena semacam ini tentu bukan berada di ruang hampa. Akan tetapi, digitalisasi lahir dari kemajuan teknologi dan informasi mampu menciptakan dunia lain yang dimensinya berbeda.
Media sosial digadang-gadang untuk mencetak generasi yang lebih update, terkoneksi dengan dunia luar, melipat jarak dan ruang. Tentu di sinilah peranan media leluasa dalam membentuk pola pikir dan kepribadian seseorang.
Indonesia menjadi salah satu pengguna aktif media sosial. Total dari populasi sebanyak 274,9 juta jiwa penduduk, ada sekitar 202,6 juta jiwa penduduk atau 73,7% yang aktif menggunakan media sosial. Dengan menghabiskan waktu mengakses internet rata-rata 8 jam 52 menit per hari (Kompas,23/2/2021).
Artinya, masyarakat Indonesia mempunyai ketergantungan hidup yang cukup kuat terhadap media sosial. Sehingga kepekaan dan kejelian untuk menggunakan media sosial sangat menentukan kepribadian seseorang dalam menjejali aktivitas di dunia maya.
Kemunculan media sosial bukan hanya dijadikan sebagai interaksi komunikatif, hiburan dan mungkin juga alat eksistensi diri sebagai bagian dari era digital. Melainkan ladang menanamkan ideologi, paham, dan doktrin-doktrin keagamaan di media sosial.
Lihat saja misalnya, dalam perkembangan digitalisasi, muncul ustad-ustad membawa paham dan doktrin keagamaan dengan corak berbeda dengan apa yang diajarkan kiai dan ulama Nusantara pada umumnya.
Tradisi menimba ilmu keagamaan terlebih dalam Islam Nusantara harus dilakukan dengan cara sowan terlebih dahulu. Mencari kiai dan ulama yang track record keilmuan dan silsilah keguruannya tidak diragukan. Di sini saya tidak ingin menjustifikasi bahwa ustaz dan kiai yang hadir di ruang virtual sebagai produk instan.
Akan tetapi, untuk berguru dan mencari referensi keagamaan dibutuhkan guru yang kompeten di bidangnya, bukan sembarang orang, apalagi mereka yang kecenderungan berdakwah di media sosial dengan caci maki, ujaran kebencian atau bahkan menyisipkan ideologi transnasional dan radikalisme.
Sejauh ini, media sosial mampu membentuk karakter keberagamaan masyarakat Indonesia. Apalagi media sosial terbukti menjadi locus dakwah Islam progresif bekalangan ini. Alih-alih mengukuhkan nilai-nilai dan spirit Islam rahmatan lil ‘alamin, melainkan semakin mempertebal jurang kecemasan di antara umat beragama. Dakwah yang dibawa justru memukul bukan merangkul. Ini merupakan potret dari pola keberagamaan yang lahir dari proses instan.
Fakta menjamurnya dakwah online, di mana hal itu masih dikuasai oleh paham keagamaan transnasionalisme yang satu paket dengan paham-paham terorisme, dan kekhalifaan. Apabila hal ini tidak segera diseimbangi, maka bukan hanya paham keagamaan Nusantara yang terancam, bahkan nasionalisme berkebangsaan juga memiliki nasib yang buruk.
Padahal jauh-jauh hari, Presiden Jokowi sudah berjanji akan memerangi ideologi. Tapi hal itu akan utopis jika tidak diseimbangi oleh peran para tokoh agama Islam Nusantara. Dari sini, kemudian penting untuk menumbuhkan kesadaran kesalehan virtual yang terejawantahkan dalam bentuk membangun situs, akun-akun online sebagai bentuk penyeimbang.
Hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh kiai-kiai Nusantara, di antaranya KH. Ahamd Mustofa Bisri, Gus Ulil Abshar Abadalla, Gus Nadirsyah Hosen, Kiai Husein Muhammad, Kiai Anwar Zahid, Habib Husein Ja’far, dan Gus Baha’ (untuk menyebutkan beberapa saja) sudah akrab dan tampil di media sosial, baik akun atau channel-nya dipegang sendiri atau orang lain.
Sayangnya secara de facto akun-akun tersebut masih jauh apabila dibandingkan dengan akun-akun berpaham Islam konservatif, transnasional, khilafah, dan kelompok-kelompok aliran kanan lain.
Pendeknya, hal ini menunjukkan peran media dalam kehidupan sosial bukan sekadar sarana diversion, melainkan ada varian ideologi dan paham keagamaan yang dihadirkan dalam realitas media sosial hari ini. Maka, ulama-ulama Nusantara perlu turun untuk merendam gelombang paham Islam yang cenderung keras, konservatif, dan penuh caci maki di media sosial.
Keterlibatan kiai-kiai Nusantara di ranah virtual memiliki ingatan secara kolektif, di mana kerap kita dengar anekdot metologis khas pesantren al-muhafadzah ala al-qodim al-shaleh wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Al-muhafadzah merupakan usaha mempertahankan tradisi lama yang baik, dalam hal ini sistem pembelajaran di pesantren dan pendidikan tradisional yang dianggap baik dan relevan untuk era hari ini masih dilestarikan. Begitupun al-akhdzu ialah ruang-ruang ikhtiar untuk memasuki dunia baru yang hadir seiring dengan perkembangan zaman.
Di sinilah, saya kira media sosial sebagai era baru dan perlu untuk dijadikan sebagai ruang dakwah yang lebih luas cakupannya. Tentu, berada di ruang virtual membutuhkan energi yang segar, kecakapan menyampaikan dengan lentur dan lugas, sehingga bisa diterima oleh semua kalangan.
Saya kira di sinilah tantangannya. Ketika kiai dan ulama tidak open minded terhadap perkembangan zaman. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin akan kehilangan ruhnya. Agama tidak lagi mempunyai jalan hidup, memupuk akhlak dan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, era virtual bukan dipandang sebagai hantu peradaban yang perlu dijauhi atau dibasmi, melainkan dicoba untuk melebur ke dalam sebagai alat penyeimbang dari narasi kelompok Islam transnasional dan Islam yang mengusung ideologi terorisme.
Leave a Review