Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Pesantren Dibajak Teroris, Mengapa Kita Tak Percaya?

Pesantren Dibajak Teroris, Mengapa Kita Tak Percaya?

Ketika silaturahmi ke MUI Pusat, Kepala BNPT Komjen (Pol) Boy Rafli Amar meminta maaf atas pernyataannya yang menyebutkan ada 198 pondok pesantren terafiliasi dengan terorisme.

“Saya selaku Kepala BNPT menyampaikan juga permohonan maaf karena memang penyebutan nama pondok pesantren ini diyakini memang melukai perasaan dari pengelola pondok, umat Islam yang tentunya bukan maksud daripada BNPT untuk itu. Jadi kami mengklarifikasi, meluruskan bahwa yang terkoneksi di sini adalah berkaitan dengan individu. Jadi bukan lembaga, bukan lembaga pondok pesantren secara keseluruhan yang disebutkan itu, tetapi adalah ada individu individu yang terhubung dengan pihak pihak yang terkena proses hukum terorisme,” kata Boy Rafli di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Kamis (3/2) lalu, seperti dikutip dari Kompas.

Statement tersebut kemudian blunder bagi BNPT. Banyak pihak memprotes karena seolah BNPT bersikap inferior, tidak tegas, dalam menghadapi propaganda terorisme. Bagaimana pun, MUI secara struktural bertingkat jauh di bawah lembaga negara. GP Ansor, misalnya, melalui sang ketua, Nuruzzaman, mengatakan bahwa permintaan maaf tersebut tak perlu dilakukan jika data yang BNPT sampaikan tidak salah.

“Sayangnya menurut saya BNPT minta maaf. Sayang menurut saya. Kenapa, karena harusnya disampaikan apa adanya wong fakta kok, bahwa ada lembaga pendidikan atau lembaga keagamaan yang mengaku sebagai pesantren. Wong faktanya bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan (yang disusupi teroris, red.). Ada lembaga amil zakat baru saja ditangkap Densus itu juga ada, menggunakan agama untuk kepentingan ya lama-lama mungkin politik juga,” kata Nuruzzaman dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Minggu (6/2) kemarin.

Harusnya, kata dia, BNPT tidak hanya mengatakan ada 198 pesantren, tapi menelusuri secara mendalam dan memberantas mereka sebelum para teroris itu punya ribuan pesantren. Pada saat yang sama, ia menyeru masyarakat agar melek terorisme, sehingga percaya dengan fakta tersebut, dan bukan malah terkesan mendukung penyusupan teroris ke pesantren.

“Ada, mungkin bahkan ribuan, tinggal pilih aja kita lakukan pemetaan atau kita lakukan trace ke masing-masing lembaga pendidikan keagamaan. Kita bicarakan, kalau mau kita ubah kita bersama-sama, duduk bersama apa yang kita lakukan agar kondisi bangsa ini atau lembaga-lembaga pendidikan agar tidak memproduksi orang-orang yang berpikiran intoleran,” imbuh Nuruzzaman.

PR Bagi BNPT

Beberapa orang menanggapi, BNPT memang layak minta maaf agar masyarakat tidak resah, sementara respons GP Ansor itu dilandasi kepentingan terselubung belaka. Namun demikian, tanggapan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sikap GP Ansor tepat, karena bagaimana pun BNPT terkesan merendah dan tak percaya diri pada data yang diproduksinya sendiri.

Selain itu, dua hari sebelum Kepala BNPT meminta maaf, Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwahid, melalui tulisannya di Harakatuna, Menjernihkan Polemik Pesantren yang Terafiliasi Jaringan Terorisme, telah mengklarifikasi bahwa BNPT tidak tengah mendiskreditkan pesantren. Kata Nurwahid, data 198 pesantren terafiliasi teroris merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dari strategi Pentahelix-nya BNPT selaku stakeholder.

Oleh karena seharusnya tidak ada permintaan maaf semacam itu, polemik seperti ini menjadi PR bagi BNPT. BNPT tidak boleh hanya menggunakan strategi multi-pihak, atau Pentahelix, untuk melacak pesantren yang tersusupi teroris, melainkan juga untuk mengumumkan hasil lacakannya ke publik. Sehingga masyarakat percaya penuh, melalui organisasi panutannya masing-masing.

NU, Muhammadiyah, MUI, dan lainnya, harus ikut mengumumkan bersama BNPT. Sehingga orang NU percaya pengumuman tersebut karena percaya pada NU. Orang Muhammadiyah percaya karena percaya pada otoritas Muhammadiyah. MUI juga demikian, sebagai LSM yang beberapa waktu lalu juga pernah tersusupi teroris, harus ikut meyakinkan masyarakat bahwa saat ini gerilya teroris telah mencakup segala pihak.

MUI harus melakukan itu, wajib. Bukan malah seolah menjadi pihak yang mendukung teroris, dan lebih percaya propaganda terorisme daripada hasil kerja BNPT. Lagi pula, bukankah susup-menyusup itu lumrah dalam dunia terorisme? lalu apa yang jadi keberatan sebagian kita dalam statement BNPT mengenai pesantren bajakan?

Pesantren Bajakan

Beberapa dari kita, masyarakat pesantren, mungkin lupa bahwa bajak-membajak di dunia terorisme adalah hal yang lumrah. Maksudnya, memang begitulah perangai mereka. Cara berperang melawan musuh, mereka membajak cara Amerika Serikat. Otorisasi dalam dakwah, mereka membajak cara Mesir dan kampus ternamanya, Al-Azhar. Lalu dalam hal pendidikan tanah air, mereka membajak pesantren. Apa tujuannya? Jelas demi kepentingan mereka sendiri.

Teroris semuanya begitu. Kita tidak perlu heran, tetapi harus percaya bahwa pesantren sebagai lembaga khas Nusantara juga telah dipakai mereka untuk melancarkan agenda jahatnya. Pesantren Al-Mukmin Ngruki milik Abu Bakar Baasyir, misalnya, siapa yang tak kenal?

Catatannya adalah, ketika ada informasi bahwa pesantren tersusupi teroris, yang harus kita salahkan bukan pesantrennya, melainkan yang menyusupinya. Pesantren adalah kekhasan pendidikan Indonesia yang bahkan ada sejak pra-kolonialisme. Pesantren adalah tolok ukur lembaga pendidikan ideal bagi masyarakat Nusantara, jadi maklum jika kelompok teroris membajak pesantren karena mereka tahu, dengan cara licik itu, agenda mereka akan sukses.

Logikanya sangat sederhana dan mudah dibaca, bukan? Lalu mengapa sebagian kita justru curiga bahwa pemerintah tengah menstigmatisasi pesantren—bahkan mencitraburukkan Islam secara umum?

Itu adalah propaganda teroris itu sendiri. Artinya, mereka sengaja mengonstruksi kecurigaan di tengah masyarakat, agar tipu muslihatnya ketutupan sakralitas pesantren sebagai lembaga pendidikan di Indonesia. Kelompok teror tahu betul bahwa pesantren telah melekat di hati masyarakat, dan karena itulah mereka memanipulasi gerakannya melalui pesantren.

Lalu apa yang perlu diambil pelajaran dari semua ini? Begini,

Ada aturan baku yang harus dipegang dalam mengonter propaganda terorisme. BNPT, sebagai otoritas pemerintah dalam kontra-radikalisasi dan kontra-terorisme, harus mencatat aturan ini. Aturan dimaksud ialah adu kuat, yakni kuat-kuatan mengambil hati masyarakat. Jika BNPT telah melakukan observasi, kemudian benar-benar menemukan bahwa sejumlah pesantren telah disusupi teroris, mengapa mesti ragu?

Ketidakpercayaan BNPT itulah yang justru membuat masyarakat meragukan kredibilitasnya sebagai representasi pemerintah. Dan melihat itu, teroris pasti tersenyum, bahkan mungkin ketawa terbahak-bahak karena propaganda berhasil: terorisme berhasil disusupkan ke pesantren, dan masyarakat justru membela terorisme itu sendiri. Sangat buruk akibatnya, bukan?

Mengungkapkan sebuah kebenaran, kemudian menariknya atau mengubahnya, adalah upaya lain dari mengubur kebenaran itu sendiri. Lalu lembaga negara meminta maaf pada LSM? Itu namanya lembaga tersebut tidak punya marwah.

Dan siapa yang paling diuntungkan dalam kuat-kuatan narasi ini? Jelas, teroris. Lihatlah, ke depan, gerilya teroris ke pesantren akan semakin marak, dan pemerintah sendiri terjebak dalam lubang ketidakpercayaan masyarakat. Kontra-terorisme jadi amburadul semua.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Advertisements