Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Kontroversi Kepemimpinan Perempuan dalam Wacana Islam Klasik dan Kontemporer

Kontroversi Kepemimpinan Perempuan dalam Wacana Islam Klasik dan Kontemporer

Perempuan merupakan bagian dari kehidupan ini. Wacana perempuan sangatlah menarik untuk diperbincangkan, khususnya dalam masalah kepemimpinan (imamah) perempuan. Berbicara kepemimpinan perempuan, teringat pada Kongres Umat Islam Indonesia Ke-3 yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 03-07 November 1998 di asrama haji Pondok Gede Jakarta.

Kongres tersebut merekomendasikan kepala negara dan wail kepala negara Republik Indonesia adalah seorang laki-laki. Lalu timbullah pro kontra pendapat para kiai atau ulama tentang boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin.

Buku yang ditulis oleh Moh Romzi al-Amiri Mannan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo dan juga berprofesi sebagai dosen di Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid mampu menjawab permasalahan pro kontra kepemimpinan perempuan dalam wacana Islam klasik dan kontemporer. Diketahui, Kiai Romzi mahir dalam kajian kitab kuning, khususnya fikih. Karena ia alumni Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Buku fikih perempuan ini ditulis sebagai salah satu tugas akhir di Pendidikan Pascasarjana Universitas Darul Ulum Jombang konsentrasi Hukum Islam.

Menurutnya, kepemimpinan dalam istilah fikih siyasah dikenal dengan term al-khilafah dan al-imamah (hal. 1), pemimpin yakni imam. Pemimpin yang dimaksud adalah orang yang melakukan kegiatan dalam usaha mempengaruhi orang lain yang ada di lingkungannya pada situasi tertentu, agar orang lain mau bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab demi tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan.

Dari definisi pemimpin ini, seakan-akan tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk seorang pemimpin. Namun penulis akan mengupas pro kontra kepemimpinan perempuan dalam bingkai klasik dan kontemporer. Thesis dari buku ini, dikatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala negara atau pemegang kebijakan tunggal, tetapi perempuan boleh menjadi pemimpin dalam lingkup yang lebih kecil seperti menjadi anggota DPR, MPR, ataupun kepala madrasah.

Argumen yang dikemukakan Romzi yaitu al-Qur’an Surat al-Nisa’ ayat 34. Berbeda menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang kedudukan laki-laki sebagai pemimpin, karena laki-laki lebih baik dan lebih utama dari perempuan, makanya kenabian dikhususkan bagi kaum laki-laki. Bahkan penulis mementahkan tafsir yang dikemukakan oleh Quraish Shihab.

Kalau dilihat dari isinya, buku ini terbagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama, buku ini akan mengupas tentang isu-isu imamah klasik dan kontemporer. Di dalamnya dibahas tentang makna imamah versus khilafah. Dan bagaimana dalil pro kontra tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam, sehingga dapat mengetahui bagaimana hukum kepemimpinan perempuan tersebut.

Bagian kedua dari buku ini yakni kepemimpinan dalam konteks global. Berawal dari makna kepemimpinan kemudian jenis-jenis kepemimpinan baik parlementer maupun presidensil, dilanjutkan dengan syarat-syarat kepemimpinan, perempuan dan kepemimpinan (kedudukan perempuan pra Islam), persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan dan kepemimpinan negara dalam tinjauan ushul fiqh.

Bagian ketiga dari buku yaitu prasyarat keabsahan perempuan menjadi kepala negara. Dalam bagian ini sangatlah menarik tema-tema yang dibahas didalamnya. Karena terkait dengan dalil yang membolehkan dan melarang perempuan menjadi kepala negara, dan pernyataan hadits Nabi bahwa suatu kaum yang dipimpin perempuan tidak akan bahagia.

Selain itu, dalam bagian ini juga diungkap tentang fakta sejarah keterlibatan perempuan dalam dunia politik seperti berkuasanya ratu bernama Shajar al-Durr dari Dinasti Mamalik, kepemimpinan Ratu Balqis di negeri Saba’ dan beberapa kepala negara perempuan di sejumlah negeri muslim yakni Benazir Bhuto di Pakistan dan Begum Khalida Zia di Bangladesh. Namun menurut penulis kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan, karena sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum  itu sendiri.

Bagian keempat merupakan bagian penutup. Bagian ini dapat ditarik kesimpulan terkait dengan wacana pro kontra perempuan menjadi kepala negara dalam wacana Islam klasik dan kontemporer. Menurut kelompok pesimistis dari kalangan ulama klasik seperti Ali al-Shabuni, Ibn Kathir, Musthafa al-Shiba’i, Ibn Hazm al-Juwaini, mereka menagatakan bahwa wajib bagi laki-laki sebagai pemimpin baik dalam bidang domestik maupun publik. Pernyataan itulah memunculkan perdebatan yang sangat panjang mengenai perempuan menjadi kepala negara.

Sementara ulama kontemporer berbeda pandangan, di antaranya Yusuf al-Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, Abu al-A’la al-Maududi, mereka membolehkan perempuan menjadi pemimpin tetapi hanya dalam lingkup legislatif seperti DPR, MPR, Hakim, Mufti dan mujtahid perempuan. Namun pemahaman kelompok optimistis lebih didominasi dengan pemahaman takwil (hermeneutic) bukan pemahaman dzahir (teks) sebagaimana dianut ulama klasik.

Penulis mencoba mengkomparasikan antara dua pendapat di atas. Namun kecenderungan penulis terletak pada pendapat ulama kontemporer, sehingga penulis masih mengkotak-kotakan antar wilayah laki-laki dan perempuan. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa buku ini memberikan khazanah keilmuan kepada masyarakat, sehingga masing-masing individu tahu pada pemikiran ulama klasik dan modern tentang kepemimpinan perempuan sebagai kepala negara.

Di lain sisi, penulis belum menanggalkan baju laki-lakinya sehingga berpendapat bahwa domestik itu merupakan tugas perempuan dan wilayah publik milik laki-laki. Begitu juga dengan masalah kepemimpinan perempuan, penulis terlalu kaku dalam memaparkan pendapatnya, padahal konteks saat ini sudah berbeda dengan konteks zaman dulu.

Wallahu a’lam bi al-shawab

*) Penulis : Dosen STKIP PGRI Sumenep dan Ketua PC LKKNU Sumenep 

Raudlatun, M.Pd.I
Dosen STKIP PGRI Sumenep dan Ketua PC LKKNU Sumenep