Bergulirnya nama Nusantara menjadi Ibu Kota Negara Indonesia, di mana nantinya bakal menggantikan Jakarta, menjadi perdebatan yang panjang. Di satu sisi, banyak orang setuju dengan ide Ibu Kota baru, tetapi menyatakan tidak cocok dengan nama Nusantara.
Di sisi lainnya, banyak orang sama sekali tidak setuju, bahkan menolak dengan pembangunan Ibu Kota Negara Baru, lebih-lebih berada nun jauh di sana, apalagi di tengah-tengah amazonnya Indonesia.
Pernyataan riilnya, apakah Ibu Kota Negara Baru sangat dibutuhkan Indonesia hari ini? Kalau mendesak dibutuhkan mengapa dibangun di hutan terlarang? Siapa pemilik hutan tersebut dan bagaimana sejujurnya pembangun Ibu Kota tersebut? Dan apa pentingnya bagi Negara dan Bangsa Indonesia?
Mega Proyek Ibu Kota Negara
Kita mungkin tahu siapa pengusul Ibu Kota baru. Dan bagaimana proses sejak diusulkan sampai sekarang. Pengusul dan pengesah semuanya dari partai. Kita tahu sendiri bagaimana politisi dan partai Indonesia. Dan mega proyek Ibu Kota baru tanahnya hanyalah punya politisi si pengusul dan pengesah.
Menurut peniliti, pembangunan Ibu Kota Negara ini tampak dipaksakan. Kendati, meski pandemi dari dua tahun lalu terus meluluhlantakkan manusia Indonesia, termasuk menghancurkan ekonomi Indonesia, pembangunan itu terus digodok. Hutang negara yang telah lebih mencapai angka yang dikhawatirkan, tetapi hal tersebut tidak menghalangi pembangunan proyek Ibu Kota Negara.
Pembangunan tersebut tidak lahir dari data dan kajian akademik yang terpercaya. Tetapi ujuk-ujuk pembangunan itu lahir dari wacana kaum oligarkis. Mengapa demikian, karena sejak wacana hingga pambangunan tersebut disahkan, hanya kaum oligarkislah yang bersuara kencang, dan sangat kencang sekali. Kita menyebut khilafah oligarkis.
Khilafah Oligarkis
Dalam wacana pembangunan Ibu Kota Negara ini suara kaum radikalis tampak kurang terdengar. Selain karena memang suaranya sumbang dan tidak dikenal dan tidak dibeli lagi oleh kebanyakan masyarakat, suara kaum radikalis menyangkut pembangunan ini memang sangat dekonstruktif.
Namun sangat berlebihan jika mengatakan bahwa kaum radikalis ikut campur dalam pembangunan Ibu Kota Negara ini. Dan sangat berlebihan pula jika dengan pembangunan ini menguntungkan kaum radikalis. Diukur dari sisi manapun tidak sampai pada tahap ini.
Mengapa? Karena kepentingan kaum radikalis hanyalah sebatas wacana keagamaan dan politik Islam. Dan dua tawaran kaum radikalis ini kita tahu, sangat tidak laku dan tidak menjual di Indonesia. Islamisme di kancah nasional dan internasional tertolak dan kurang dilirik. Oleh demikian, maka mereka secara sendirinya sesungguhnya mati-tidak ngefek di dalam wacana pembangun mega proyek ini.
Yang justru sangat membahayakan dan menguntungkan adalah dari kaum oligarkis. Karena yang menggerakkan baik wacananya, medianya, dan kunci-kuncinya ada dan telah dipegang oleh kaum oligarkis ini.
Jadi, terlalu sembarangan jika mengatakan bahwasanya sebagian kita termakan oleh narasi dan propaganda kaum radikalis dalam konteks pembangunan Ibu Kota Negara ini. Kita justru termakan oleh narasi dan propaganda kaum oligarkis. Dan kebanyakan kita mengangguk di sana. Karena sang pengendali semuanya di bawah naungan khilafah oligarkis.
Apakah khilafah oligarkis membahayakan daripada khilafah radikalis, dan pantas dikritik? Sama-sama berbahayanya. Tapi kalau boleh diukur dari kekuatan yang dimiliki masing-masing, lebih bahaya oligarkis. Kendati khilafah oligarkis ini tidak hanya mengendalikan wacana dunia dan narasi di media sosial agar kita menghamba pada mereka.
Khilafah oligarki ini sudah mengendalikan dan memonopoli institusi politik dan ekonomi bahkan memonopoli semua kehidupan di alam ini. Tidak hanya itu, mereka kerap menyimpang bahkan korup dalam mengelola sumber daya publik (Abdil Mughis Mudhaffir, 2020).
Sikap Dasar Khilafah Oligarkis
Sikap dasar oligarki kita tahu hanya memetingkan kekayaan atau kapital. Mereka hanya ingin mewujudkan agenda reformasi birokrasi lewat karangka pemerintahan dalam bahasa teknokrat. Jadi omong-kosong jika oligarki ini ingin menjadikan Indonesia menjadi negara baik dan maju. Yang ada sebenarnya hanyalah sebaliknya, mengeruk harta, bumi, gas dan alam seisinya, lewat proyek yang mengatasnamakan negara dan bangsa.
Misalnya, tawaran oligarki merancang Ibu Kota Negara atau RUU Cipta Kerja demi kebaikan negara dan bangsa agar menjadi negara hijau. Jelas tawaran ini tidak masuk akal, sebab ideologi-sikap dasar oligark sejak awal hanya berhasrat untuk menghasilkan harta sebanyak-banyaknya. Alih-alih merancang kota-negara hijau, Ibu Kota Negara atau RUU Cipta Kerja itu sendiri diakali supaya para oligarki tetap berlanjut melenggang dan aman.
Pada tahap selanjutnya, khilafah oligarkis ini kerjanya mengklaim dan mempertahankan kepemilikan. Ingatlah, hura-hara politik selama ini, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara ini, sebenarnya hanya kontestasi para oligarki dengan oligarki lainnya. Mereka sama-sama melakukan klaim berdasarkan kekayaan dan kepemilikan yang dimiliki, lalu memastikan kekayaan mereka tidak diambil orang lain. Sedangkan dalam aspek pertahanan, para oligarki untuk mempertahankan sebanyak mungkin kekayaan hartanya (Abdil Mughis Mudhaffir & Coen Husain Pontoh, 2020).
Artinya, bilamana para oligarki terancam dengan orang kaya lain, maka strategi yang diambil adalah menginvestasi koersif. Caranya dengan membayar preman, pasukan, benteng, ksatria, media, buzzer, atau pawing (tubuh polos politisi), guna melindungi mereka dari perebutan kekayaan tersebut. Ketika berhadapan dengan negara-oligark(i) lain, mereka melakukan pengalihan kekayaan dengan menggandeng kalangan profesional. Seperti pengacara, akuntan, politisi, dan konsultan agar terhindar dari pajak-redistributif negara (Abdil Mughis Mudhaffir & Coen Husain Pontoh, 15, 2020).
Dan harus disadari oleh kita, oligarki tak peduli dengan sistem apa pun dan bagaimana pun kecuali keuntugan. Oligarki hanya menginginkan akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya, atau apa yang disebut Marx sebagai “passion for wealth as wealth, hasrat kuat untuk memperkaya diri, tak peduli dampak dan akibatnya. Sebab itu, oligarki alih-alih menjadi solusi, ia bahkan menjadi boomerang dan masalah yang membahayakan (Fred Magdoff dan Joh Bellamy Foster, 2019).
Sampai di sini, jadi wacana yang dibuat oleh khilafah radikalis dan wacana yang dibuat oleh khilafah oligarkis, lebih bahaya mana?
Leave a Review