Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Kementerian Agama itu ‘Pasar’

Kementerian Agama itu ‘Pasar’

HUBUNGAN antara agama dan negara di Republik ini kerap dibuat rumit. Itu terjadi terutama saat ada penganut agama yang kelewat bernafsu menjadikan agama sebagai ‘tunggangan’ meraih kekuasaan atau demi keuntungan pribadi.

Bagi orang yang syahwat politiknya teramat tinggi, agama bisa dijadikan alat yang ‘gurih’ untuk menapaki tangga-tangga kekuasaan lewat simbol-simbol. Bagi orang yang tak mampu mengerem syahwat untuk menumpuk kekayaan pribadi, agama kerap dijadikan alat berlindung dari tindakan-tindakan ilegal ‘memburu rente’.

Maka, tidak mengherankan jika muncul rupa-rupa seloroh terkait dengan relasi antara agama dan negara ini. Presiden Keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, misalnya, pernah berkata sebaiknya negara tak usah mengurusi agama. Tujuannya, kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu, agar agama tidak dijadikan alat politik dan ekonomi.

Bahkan, Gus Dur sempat menimbang untuk membubarkan Departemen Agama (Kementerian Agama). Alasannya, “Karena Depag sudah menjelma menjadi pasar,” kata Gus Dur. Menurut putra Menag Pertama RI KH Wahid Hasyim, itu Depag sudah seperti pasar karena “Semua ada di Depag, kecuali agama itu sendiri yang enggak ada.”

Dalam pengamatan Gus Dur, Depag sudah seperti tempat jual beli dan ruang ‘negosiasi’, lebih-lebih saat musim haji tiba. Toh, saat menjadi presiden, Gus Dur tidak merealisasikan niatnya untuk membubarkan Depag. “Ada pertimbangan mudarat dan manfaat sebelum mewujudkan niat itu,” kata Gus Dur.

Pekan ini, saat kursi menteri agama beralih dari Fachrul Razi ke Yaqut Cholil Qoumas, ada beragam respons yang mengiringi peralihan itu. Ada yang gembira, skeptis, hingga sinis. Bagi yang gembira meyakini Gus Yaqut memiliki rekam jejak sikap toleransi yang jelas. Yang skeptis tidak yakin akan banyak hal berubah di Kemenag, khususnya menghilangkan ‘pasar’. Yang sinis menghubungkan dengan latar belakang ormas GP Ansor yang ia pimpin.

Ada pula yang bersikap skeptis karena Gus Yaqut masih berusia muda, baru 45 tahun. Dalam kurun setengah abad terakhir, hanya ada dua Menag berusia di bawah 50 tahun, yakni Said Agil Husin al Munawar, 47, dan Gus Yaqut. Usia itu dianggap kurang matang untuk menduduki pucuk pimpinan di Kemenag. Tapi, bukankah di era Bung Karno memerintah hampir semua Menag berusia muda? KH Wahid Hasyim dan HM Rasidi (menag pertama dan kedua) baru berusia 31 tahun saat menjadi menag.

Tapi, kegembiraan, skeptisisme, bahkan sinisme itu tantangan. Gus Yaqut harus membuktikan bahwa di tangannya hubungan antara agama dan negara bisa mudah, rileks, saling percaya. Hubungan antaragama juga tidak tegang, penuh toleransi, tidak dipenuhi syakwasangka.

Umat beragama setidaknya merasa nyaman dengan janjinya saat dipilih Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Jenderal (Pur) Fachrul Razi. Saat serah terima jabatan, Gus Yaqut bertekad menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Sebagai inspirasi, agama bisa menjadi sumber kebaikan. Sebagai aspirasi, agama kerap dijadikan ‘ajang pertarungan’.

Yaqut menuturkan, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pernah menyampaikan seloroh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur soal Kementerian Agama. Menurut Gus Dur, Kementerian Agama seperti pasar, di mana semuanya ada, kecuali agama. “Ini waktunya kita membuktikan bahwa Kementerian Agama bukan hanya Kementerian Agama, tapi kementerian semua agama, sehingga yang disebut pasar oleh Gus Dur, ya ini pasar agama-agama ada di Kementerian Agama,” terang Yaqut.

Ia juga menegaskan tidak boleh ada perbedaan atau diskriminasi antaragama di Kementerian Agama. Ia justru ingin menjadikan Kemenag sebagai ‘pasar’. Bukan pasar dalam arti tempat jual beli jabatan atau ajang negosiasi di ruang remang-remang, tapi tempat bagi semua agama untuk memasarkan ide, menjajakan inspirasi, dan merawat toleransi.

Tidak mudah menjadikan agama sebagai sumber inspirasi. Butuh kesabaran tingkat tinggi. Serasa mendengar Jalaluddin Rumi. Kata Rumi, “Siapa pun kau, penjahat, koruptor, mata keranjang, politikus pembohong, pencari kebenaran, datanglah walaupun kau telah ingkar janji seribu kali. Kereta kami ini bukanlah wahana untuk orang yang putus asa.”

Agama dan Kementerian Agama bukan ruang putus asa dalam menyulut inspirasi. Tentu, yang ditunggu-tunggu ialah membumikan tekad, menjalankan janji. Kata penyair WS Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.

Oleh: Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. Artikel ini diambil dari Media Indonesia klik untuk untuk kunjungi