Kabarumat.co – Hari-hari ini, term ‘hijrah’ kembali menjadi tren di kalangan pemuda. Laki-laki dan perempuan, mereka yang klaim diri tengah berhijrah, biasanya menandai peralihan laku mereka melalui sebuah simbol. Hijab syar’i adalah satu contohnya. Belum lagi ada cadar. Bagi laki-laki, mereka jadi suka pakai gamis atau koko. Apa yang dilakukan? Kajian-kajian berbayar lagi musim dan digemari pemuda.
Beranda TikTok penuh dengan muda-mudi yang sedang hadir di kajian seorang ustaz. Mulai kalangan biasa hingga artis, semuanya hadir—menambah animo masyarakat terhadap tren hijrah itu sendiri. Fenomena hijrah ini, sebetulnya sudah ditanggapi beragam. Ada yang membela, tak sedikit pula yang menghujat. Namun begitu, bukan hijrahnya yang dipermasalahkan, tetapi potensi propagandanya. Tuntutan bercadar, umpamanya.
Cadar kerap jadi strategi radikalis-ekstremis untuk menandai identitas diri. Tetapi alasannya tidak ditampakkan begitu, melainkan agar istikamah. Sebagai pertahanan, bahkan dibentuklah komunitas untuk identitas mereka. Agar kalau satu dihujat lantaran bercadar, mereka punya teman. Beda dengan cadar, hijab syar’i dan baju gamis lebih alami. Namun sekali lagi, propaganda di balik itu adalah “eksklusivisme” yang terselubung.
Apa Sih Sebenarnya Hijrah Itu?
Rata-rata alasan tentang berhijrahnya seseorang yang notabene simbol-centris, sering kali bertolak dari kejadian historis hijrahnya Nabi Saw. Setelah mendapat penolakan luar biasa dari klan Quraisy di Makkah, Nabi Saw. hijrah ke Yatsrib alias Madinah. Tak hanya tentang pindah kota, di Madinah, Nabi Saw. sukses jadi pemimpin tertinggi, jadi negarawan yang amat disegani, menguasai tampuk politik dan agama sekaligus.
Latar historis tersebut kemudian dimaknai sebagai “perpindahan dari buruk ke baik”. Seperti Nabi Saw. yang direspons tak baik di Makkah, namun dimuliakan di Madinah, kaum hijrah pindah dari laku buruk mereka. Kini mereka setingkat lebih agamis: mulai dari pakai gamis dan cadar, posting tentang dakwah islami di media sosial, dan puncaknya ialah jadi tukang endorse busana Muslim di TikTok.
Apakah itu hijrah, atau justru taubat, tidak ada yang peduli. Pokoknya kalau sudah bercadar, atau simbol-simbol lainnya, label ‘hijrah’ sudah melakat dengan sendirinya, sebagaimana melekatnya label Gus dan Ning bagi anak-anak kiai secara otomatis. Lama-lama, makna hijrah berkembang. Tak hanya yang berbusana agamis, mereka juga dituntut untuk ber-Islam kaffah, yakni kaffah yang ideologis.
Pemahaman hijrah yang demikian tentu adalah kekeliruan yang fatal sama sekali. Kejadian historis perpindahan Nabi dari Makkah ke Madinah adalah perpindahan geografis, peta politik Islam, dan strategi dakwah Nabi. Tidak ada yang berubah: misi utama Nabi tetaplah sama dengan ketika di Makkah, yaitu menyampaikan risalah kepada seluruh umat. Baik di Makkah maupun Madinah, sosok Nabi tetaplah sama, yakni sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai perenungan, mari ajukan pertanyaan: kenapa kalau ‘kalangan muda, milenial’ berusaha memperbaiki diri dari buruk ke baik kita sebut hijrah, sementara kalau ‘kalangan sepuh, para orang tua’ malah kita sebut mereka bertaubat? Bukankah keduanya, muda maupun tua, punya kesamaan misi, yakni dari berpindah buruk menjadi baik? Itu semua karena propaganda di dalamnya, yang pelakunya ialah para radikalis-ekstremis.
Jadi Radikalis-Ekstremis? Waspada!
Kenapa kaum milenial yang hijrah mudah sekali terpapar paham radikal–ekstrem? Pertanyaan ini sering kali diajukan di forum-forum. Jawabannya ialah karena kedangkalan pemahaman mereka tentang Islam, juga tentang term-term sensitif yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri. Bagaimana mereka mengartikan jihad, perang, serta sistem negara atau khilafah dalam doktrin mereka.
Pada saat bersamaan dengan indoktrinasi yang kian masif, kaum hijrah kerap tidak memiliki ruang membandingkan segala doktrin yang masuk. Tidak ada klarifikasi. Mereka menelannya mentah-mentah. Jihad mereka pahami sebagai perang, dan demokrasi sebagai sistem yang kontra dengan Islam, sehingga harus diganti khilafah. Kesalahan doktrin ini mengakar dan menjadi mindset serta ideologi.
Indoktrinasi yang terus-menerus secara akumulatif akan menjelma jadi sebuah tindakan konkret. Bom bunuh diri adalah salah satu contohnya. Keputusasaan untuk hidup demi sesuatu yang mereka anggap jihad, dan tidak sanggup hidup di negara Pancasila, yang mereka anggap sebagai thaghut. Tentu kejadiannya bertahap, tidak langsung frontal. Namun itu jelas pada akhirnya mempropagandakan hal yang tidak semestinya.
Itulah kenapa kita dapat menyimpulkan bahwa hijrah dalam fenomena milenial ini merupakan titik tolak atau cikal-bakal lahirnya paham radikal dan ekstrem. Kuatnya indoktrinasi bukan sesuatu yang baru, dan bagi para pelaku teror, aksi mereka akan dibalas berlipat ganda di akhirat. Umpamanya, doktrin bahwa pelaku bom bunuh diri akan dibalas surga serta puluhan bidadari.
Dalam arti semua ini, hijrah sebaiknya diwaspadai. Harus cerdas memilih sosok guru dalam Islam, khawatir malah menjerumuskan. Sebab, istilah hijrah sendiri sudah reduktif, jadi terkesan negatif. Hijrah tak lagi sekadar merepresentasikan tren industri busana, melainkan jadi cikal-bakal paham radikal dan ekstrem. Kalau memang hendak memperbaiki diri, kita bisa gunakan term yang lebih pas, yakni “taubat”. Hati-hati. Sungguh, hati-hati!
Wallahu A‘lam bi al-Shawab…
Leave a Review