Kabarumat.co – Kotoran biasanya mudah ditemukan di masjid dan mushala. Bahkan, kadang membikin resah. Kotoran ini kadang ditemukan di dinding, lantai, atau bahkan di atas sajadah atau karpet, dan lainnya.
Selain dapat mengganggu kenyamaan, kotoran cicak dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan menodai kesucian tempat ibadah, sehingga diperlukan upaya pembersihan secara berkala dan rutin. Namun, kadang karena saking banyaknya dan bentuknya yang kecil kerap kali tahi cicak terabaikan. Akhirnya pun hanya dibersihkan bersamaan dengan menyapu lantai
Lantas bagaimana hukum shalat orang di masjid atau mushala yang di sana ada tahi cicak dan tidak dihilangkan dengan standar fiqih dalam menghilangkan najis, Sahkah
Dilansir NU Online, kondisi masjid atau mushala dengan masalah tahi cicak menurut kami sudah menyeluruh dan umum di mana-mana bahkan tidak hanya di masjid atau mushala tetapi di hampir setiap rumah. Kondisi menyeluruh dan umum dialami banyak orang semacam ini dalam istilah fiqih disebut dengan umumul balwa.
ng menyeluruh dialami banyak orang dan sulit dihindari. Beberapa ulama menyebutnya sebagai ad-dharuratul ammah, dharuratul masiah atau kebutuhan manusia (hajatun nas). (Lihat Kementrian Waqaf, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXXI, halaman 6).
Dalam fiqih, kondisi umumul balwa yang sulit dihindari merupakan alasan najis dima’fu atau ditolelir. Sayyid Al-Bakri menjelaskan:
قوله: لعسر الاحتراز عنها علة العفو) أي ويعفى عما ذكر لأنه مما يشق الاحتراز عنه لكونه مما تعم به البلوى. (قوله: ويعفى عما جف من ذرق سائر الطيور) ذكر شرطين للعفو وهما الجفاف وعموم البلوى، وبقي أن لا يتعمد المشي عليه كما مر
Artinya: “Ungkapan: ‘Karena kesulitan menghindarinya’ adalah alasan dima’fu, yaitu bahwa hal-hal yang disebutkan dimaafkan karena sulit untuk dihindari mengingat bahwa itu adalah sesuatu yang sering ditemui (‘umumul balwa’).
Ungkapan: ‘Dan dimaafkan (ma’fu) kotoran burung yang sudah kering’. Ada dua syarat dima’fu, yaitu kering dan sering ditemui (‘umumul balwa’). Namun, perlu diingat bahwa tidak boleh dengan sengaja menginjak kotoran tersebut.” (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati As-Syafi’i, I’anatut Thalibin, [Beirut, Dar-Fikr: tt], juz I, halaman 126).
Menurut Mazhab Syafi’i, kotoran dan urin semua hewan baik yang halal dimakan maupun yang tidak, termasuk burung, adalah najis. Begitu pula kotoran ikan, belalang, dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat, kotorannya dan urinnya juga najis.
Namun ada satu pendapat dha’if atau lemah dalam Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa hewan yang darahnya tidak mengalir kotorannya tidak najis.
وحكى الخراسانيون وجها ضعيفا في طهارة روث السمك والجراد وما لا نفس له سائل
Artinya: “Dan para ulama Khurasan menceritakan pendapat lemah mengenai kesucian kotoran ikan, belalang, dan makhluk hidup yang tidak memiliki darah mengalir.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr:tt], juz II, halaman 550).
Masih menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’, cicak dinyatakan sebagai jenis hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir menurut jumhur ulama.
وأما الوزغ فقطع الجمهور بأنه لا نفس له سائلة: ممن صرح بذلك الشيخ أبو حامد في تعليقه والبندنيجي والقاضى حسين وصاحب ا
Artinya: “Adapun cicak, mayoritas ulama berpendapat bahwa ia tidak memiliki darah yang mengalir. Pendapat ini dinyatakan secara tegas oleh Syekh Abu Hamid dalam catatannya, serta oleh Al-Bandiniji, Al-Qadhi Husain, Penulis As-Syamil, dan lainnya.” (An-Nawawi, I/129).
Dalam Hasyiyah Qalyubi wa ‘Amairah lebih ditegaskan bahwa kotoran hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dimaafkan (ma’fu) di dalam shalat.
قوله: (ويعفى) أي في الصلاة فقط، أو فيها وغيرها ما مر على عامر. قوله: (عن قليل دم البراغيث) ومثله فضلات ما لا نفس له سائلة
Artinya: “Ungkapan: “Dan dimaafkan”, artinya dalam konteks shalat saja, atau dalam shalat dan selainnya sebagaimana yang dijelaskan dalam pendapat ‘Amir. Ungkapan: “Dari sedikit darah kutu”, dan seperti itu pula kotoran dari makhluk hidup yang tidak memiliki darah yang mengalir.” (Al-Qalyubi dan ‘Amairah, I/209).
Walhasil, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat orang di masjid atau mushala yang terdapat tahi cicak yang tidak dihilangkan dengan standar menghilangkan najis hukum shalatnya adalah sah. Sebab najis tahi cicak dimaafkan karena cicak termasuk hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, bahkan ada satu pendapat dha’if yang menyatakan bahwa kotoran hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir statusnya suci.
Untuk diketahui, tulisan bersumber dari Hasil Keputusan Bahtsul Masail LBM PCNU Purworejo dengan nomor 30/PC.LBMNU /VI/2024 yang diselengarakan pada Sabtu Legi, 7 Muharram 1446 H/13 Juli 2024 M di Masjid Jami Darusshalihin, Baledono Krajan, Purworejo, Jawa Tengah. Wallahu a’lam.
Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, Jawa Tengah
Kenali Kami Lebih Dekat
Assalamu Alaikum Akhi Ukhti!! Selamat datang di Kabar Umat
Kami hadir setiap saat untuk menyampaikan berita terpercaya serta wawasan keislaman, keindonesiaan dan kebudayaan hanya buat Akhi Ukhti. Bantu sukseskan Visi kami satukan umat kuatkan masyarakat dengan cara share konten kami kepada teman-teman terdekat Akhi Ukhti !