Kabarumat.co – Indonesia merupakan negara demokrasi menyelenggarakan Pilkada serentak setiap lima tahun sekali, mulai dari pemilihan presiden hingga kepala daerah. Kurang lebih satu bulan ke depan, berbagai daerah di Indonesia akan mengadakan Pilkada serentak guna memilih kepala daerah yang baru.
Sebelum pemungutan suaranya, biasanya para calon diberi hak kampanye dalam waktu yang telah ditentukan. Hal ini mengakibatkan menjamurnya alat peraga kampanye seperti baliho ataupun bilboard dimana-mana. Tidak sedikit dari para calon kepala daerah yang menyertakan foto atau nama ulama dalam rangka menarik simpati masyarakat. Terkadang foto ulama pada baliho itu segaris nasab dengan beberapa calon kepala daerah.
Lantas, bagaimana hukum memasang atau menyertakan foto kiai atau ulama dalam alat peraga kampanye dengan realita seperti permasalahan di atas? dan apakah penggunaan gambar dan atau nama ulama ada alat kperaga ampanye oleh para calon dapat dikatakan merendahkan martabat ulama?
Sebelumnya, mari kita bahas hukum memajang atau memasang foto ulama. Menurut fikih, hukum memajang foto ulama hukumnya adalah boleh. Pasalnya, memandang wajahnya para ulama ini mengandung banyak manfaat.
Dalil kebolehan ini sebagaimana legitimasi disampaikan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatil Awam, menuliskan:
وثالثها مندوب وهو ما تناولته قواعد الندب وأدلته كصلاة التراويح جماعة واقامة صور الائمة والقضاة وولاة الامور على خلاف ما كان عليه الصحابة رضوان الله عليهم بسبب ان المصالح والمقاصد الشرعية لا تحصل الا بعظمة الولاة في نفوس الناس وكان الناس في زمان الصحابة رضي الله عنهم انما يعظمون بالدين وسابق الهجرة والاسلام ثم اختل النظام حتى صاروا لا يعظمون الا بالصور
Artinya: “Bid’ah ketiga adalah bid’ah yang dianjurkan. Yaitu bid’ah yang masuk dalam cakupan kaidah amalan sunnah dan dalil-dalilnya, seperti praktik shalat tarawih berjamaah dan memasang foto para imam, hakim dan para penguasa yang berbeda dengan praktik para sahabat nabi. Hal ini disebabkan bahwa kemaslahatan dan prinsip-prinsip syariat tidak dapat diwujudkan kecuali dengan menumbuhkan citra kewibawaan para penguasa dalam hati masyarakat. Masyarakat pada zaman sahabat nabi dihormati karena agama serta senioritas dalam hijrah dan Islam. Kemudian aturan menjadi rusak sampai pada tahap para pemimpin tidak dihormati kecuali dengan cara memasang gambar mereka.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatil Awam. (Beirut: Dar Al-Hawi, 1996) Halaman. 27).
Memajang foto ulama hukumnya boleh selama untuk menghormati, yang tidak boleh adalah mengkultuskan atau melecehkan. Syekh Murtadha Al-Zabidi mengatakan, “Yang diharamkan adalah melecehkan berupa meremehkan dan merendahkan, hingga sakit hati kepada yang dilecehkan. Terkadang pelecehan atas ucapannya, menertawakan gerak-geriknya, tulisannya, hasil karyanya, foto (gambarnya), dan kepribadian yang menjadi aibnya, tertawa terhadap hal tersebut termasuk pelecehan.”
Penting untuk diperhatikan, bahwa jangan sampai foto ulama tadi direndahkan, semisal diinjak-injak, diduduki dan lain-lain. Dan memajangnya pun tidak boleh ada unsur merendahkannya atau membuka aibnya. Keterangan ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Murtadha Al-Zabidi:
وَاِنَّمَا المُحَرَّمُ اسْتِصْغَارٌ يَتَأَذَّي بِهِ المُسْتَهْزَأَ بِهِ لِمَا فِيْهِ مِنَ التَحْقِيرِ وِالتَهَاوُنِ وَذلك تَارّةً علي كَلَامِهِ إِذَا تَخَبَّطَ فِيْهِ وَلَمْ يَنْتَظِمْ أَوْ عَلَي أَفْعَالِهِ إِذَا كُنْتَ مُشَوَّشَةً كَالضَحَكِ علي خَطِّهِ اَوْ عَلي صَنْعَتِهِ اَو عَلَي صُوْرَتِهِ وَخُلقَتِهِ اِذَا كَانَ قَصِيْرًا اَوْ نَاقِصًا لِعَيْبٍ مِنَ العُيُوْبِ فَالضَحَكُ مِن جَمِيعِ ذَلِك دَاخِلًا في السَخْرِيَّةِ.
Artinya: “Yang diharamkan yakni, melecehkan berupa meremehkan dan merendahkan obyek, hingga berujung pada sakit hati kepada yang dilecehkan. Terkadang pelecehan atas ucapannya, menertawakan gerak-geriknya, tulisannya, hasil karyanya, foto (gambarnya), dan kepribadian yang menjadi aibnya. Tertawa terhadap hal tersebut termasuk ke dalam pelecehan”. (Syekh Murtadha Al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin bi syarh Ihya’ Ulum al-Din. (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, t.t) Juz 9, hal. 233)
Sedangkan menyertakan foto kiai atau ulama dalam alat peraga kampanye adalah boleh bila ada izin atau qorinah kerelaan dari ulama tersebut, juga tidak adanya unsur menghilangkan kehormatan (muru’ah) ulama. Dalil kebolehan ini dapat dilihat dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal berikut:
قال م ر ، ولو تسبب فيما يسقط مروءته لم يحرم إلا إن ترتب عليه إسقاط حق لغيره بأن تعين ثبوته به اهى سم – الى ان قال – واعلم أنه قد اختلف في تعاطي خارم المروءة على أوجه أوجهها حرمته ان ترتب عليها رد شهادة تعلقت به وقصد ذلك ؛ لأنه يحرم عليه التسبب في إسقاط ما تحمله وصار أمنة عنده لغيره وإلا فلا اهى شرح م ر [حاشية الجمل – (ج ٥/ ص ٣٧٣)]
Artinya: Imam Ar-Ramli berkata, “Jika seseorang menyebabkan sesuatu yang menjatuhkan kehormatannya, maka hal itu tidak haram kecuali jika hal tersebut menyebabkan jatuhnya hak orang lain, seperti jika hak tersebut harus ditetapkan dengan kehormatannya.” (hingga perkataan) “Ketahuilah bahwa ulama berbeda pendapat tentang memperlakukan hal yang menghilangkan kehormatan (muru’ah) dengan beberapa pandangan. Pandangan yang paling kuat adalah haramnya hal tersebut jika menyebabkan penolakan terhadap kesaksian yang terkait dengan dirinya dan ia bermaksud demikian, karena haram baginya menyebabkan jatuhnya sesuatu yang ia emban dan menjadi amanah baginya dari orang lain, jika tidak, maka tidak haram.” Hasyiah Al-Jamal (Jilid 5/halaman 373)
Tetapi, yang menjadi permasalahannya adalah penggunaan gambar serta nama ulama pada alat kampanye pemilu oleh para calon dapat dikatakan sebagai tindakan merendahkan martabat ulama, dengan penjelasan sebagai berikut:
مسألة : ذكر الشيخان وغيرهما أن من خوازم المروءة الذي ترد به الشهادة أن يلبس العامي لباس العلماء الذين يعرفون ويتميزون به من بين آحاد الناس، فيجب على حكام الشريعة بل على كل من قدر عليه منعهم من ذلك وزجرهم بالتعزير على ذلك بما يراه زاجرًا لهم
Artinya: Para imam (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i) serta ulama lainnya menyebutkan bahwa salah satu hal yang merusak kehormatan (muru’ah) sehingga menyebabkan kesaksian seseorang ditolak adalah ketika orang awam mengenakan pakaian para ulama, yang dikenal dan dibedakan dari orang-orang biasa dengan pakaian tersebut. Oleh karena itu, wajib bagi para hakim syariat, bahkan siapa saja yang mampu, untuk mencegah mereka dari melakukan hal tersebut dan memberikan hukuman ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh hakim) sesuai dengan apa yang dianggap dapat memberikan efek jera bagi mereka. [Ghayatut Takhlish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (Jilid 1/halaman 232)].
Sebagai kesimpulan akhir, memajang atau memasang foto ulama pada alat peraga kampanye seperti halnya baliho hukumnya boleh, dengan syarat tidak ada tujuan merendahkannya yang bersifat merusak kehormatannya. Serta sudah mendapatkan izin atau qorinah kerelaan dari ulama yang fotonya akan dipasang. Wallahu a’lam.
Kenali Kami Lebih Dekat
Assalamu Alaikum Akhi Ukhti!! Selamat datang di Kabar Umat
Kami hadir setiap saat untuk menyampaikan berita terpercaya serta wawasan keislaman, keindonesiaan dan kebudayaan hanya buat Akhi Ukhti. Bantu sukseskan Visi kami satukan umat kuatkan masyarakat dengan cara share konten kami kepada teman-teman terdekat Akhi Ukhti !