Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Hukum Operasi Keperawanan dalam Islam

KEPERAWANAN adalah sesuatu yang sangat berharga bagi semua perempuan, lebih-lebih bagi mereka yang beragama Islam. Namun pada zaman sekarang, tak jarang mahkota wanita itu terenggut oleh kebejatan kaum laki-laki.

Demi mengembalikan mahkotanya yang hilang, para kaum hawa rela menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Seorang dokter spesialis kulit Rumah Sakit DR. Soetomo Surabaya, Prof.DR. Djohan Sjah Marjueki SpBP, sudah terkenal mampu mengembalikan keperawanan perempuan yang telah hilang dengan cara operasi selaput dara.

Beliau adalah salah satu dokter yang ikut andil mengoperasi kelamin Dorce, salah satu publik figur di Indonesia. Sang dokter juga menjamin bahwa tingkat keberhasilan operasi tersebut mencapai 80,7 % dan sejauh ini belum ditemukan efek samping negatif bagi pasien.

Menurut pandangan fikih, Bagaimana hukum operasi “ keperawanan “ tersebut? Dan bagaimana status keperawanan perempuan yang telah berhasil dalam menjalani operasi?Sebenarnya status keperawanan tidak ditentukan dengan masih adanya selaput dara atau tidak. Sebab seorang perempuan masih bisa dikatakan perawan selama belum pernah bersetubuh dengan laki-laki, meskipun selaput daranya telah rusak karena jatuh, sakit atau yang lainnya.Syekh al-Islam Zakaria al-Anshari di dalam kitab Fathu al-Wahhab menyatakan:

أما من خلقت بلا بكارة أو زالت بكارتها بغير ما ذكر كسقطة وأصبعأمادة حيض ووطء في دبرها فهي في ذلك كالبكر لأنها لم تمارس الرجال بالوطء في محل البكارة

“Perempuan yang terlahir tanpa selaput dara, atau selaput daranya rusak disebabkan selain yang telah disebutkan (bersetubuh dengan laki-laki) semisal jatuh, dimasuki jari, haid yang deras, atau dijimak lewat dubur maka ia tetap perawan karena ia belum tersentuh laki-laki dengan dijimak pada tempat keperwanannya”. (Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fathu al-Wahhab, Juz 2, Halaman 61).

Kemudian di dalam masalah operasi selaput dara, ulama fikih kontemporer biasa mengistilahkannya dengan ritqu ghisyai al-bikarah. Salah satu ulama dari Universitas al-Azhar, Kairo, yakni Syekh Muhammad Na’im Yasin, memerinci hukum operasi organ vital perempuan tersebut. Di dalam kitab al-Ahkam al-Jirahah al-Thibiyah dijelaskan sebagamana berikut:

Pertama: Jika pecahnya selaput dara disebabkan oleh kecelakaan, sakit, cacat atau tindakan lain yang dianggap tidak menyalahi syariat dan bukan sebab persetubuhan dalam akad nikah yang sah, maka hukumnya boleh. Apalagi bagi gadis yang menderita atau kesulitan mendapat jodoh sebab selaput daranya pecah karena dizalimi (korban pemerkosaan).

Bahkan hukumnya wajib, bila tujuannya untuk mencegah timbulnya prasangka buruk dari calon suami atau keluarganya, yang mana hal itu dapat menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga.

Kedua: Jika penyebab pecahnya adalah hubungan seksual dalam pernikahan yang sah, seperti pada wanita yang dicerai, atau karena perzinahan dan perempuan tersebut sudah terkenal sebagai pezina, maka hukumnya adalah haram. Sebab terdapat unsur penipuan dan tidak ada hal mendesak yang mendorong untuk melakukan operasi.Mohamad Mohsin