Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Cara Muslim Tionghoa Menunjukkan Kecintaannya terhadap Indonesia

Cara Muslim Tionghoa Menunjukkan Kecintaannya terhadap Indonesia

Kelompok Tionghoa atau Cina menjadi salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Meskipun demikian, kehadiran kelompok tersebut menjadi kelompok minoritas yang rentan memperoleh diskriminasi dan berbagai keraguan legitimasi tentang kecintaannya terhadap negara Indonesia. Dalam penelitian Ahmad Muhibbin Zuhri, dkk;2021 yang berjudul “Chinese Muslims’ Ways Of Being Nationalist: Combining Islamic Cosmopolitanism, Acculturation And Social Roles”, peneliti melihat bagaimana ekspresi keberagamaan dan kecintaan para Muslim Tionghoa yang ada di Surabaya dengan berbagai fenomena yang terjado. Setidaknya ada beberapa upaya yang diekspresikan oleh para Muslim Tionghoa dalam menunjukkan patriotismenya terhadap negara Indonesia yang plural dan multietnis.

Bhinneka Tunggal Ika” sebagai jembatan keragaman ras dan etnis di Indonesia

Hubungan antara Cina dengan Indonesia tidak berjalan baru-baru ini akan tetapi sebelum Indonesia merdeka. Bahkan dalam sejarah masuknya Islam di Indonesia, Cina menjadi kelompok yang sering dibicarakan dalam historisitas Islam di Indonesia.

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tampaknya bisa kita lihat kedahsyatannya dalam konteks hubungan antar etnis dan keragaman yang dimiliki oleh Indonesia. sebab kita melihat bahwa pada kenyatannya, kita tidak bisa merubah takdir seseorang Seseorang mungkin berasal dari Cina, Arab, atau Eropa, tetapi karena kecintaan mereka pada Indonesia, mereka berkontribusi positif bagi pembangunan nasional.

Misalnya, orang Cina bernama John Lie, seorang Arab bernama Abdurrahman Baswedan, dan seorang Belanda bernama Ernest Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi) adalah pahlawan nasional karena mereka juga berjuang untuk Indonesia merdeka meski belum lahirdi Indonesia.

Sederhananya, kontestasi pribumi dan non-masyarakat adat di bawah konsep nasionalisme tidak boleh menjadi perspektif yang relevan. Mengindonesiasikan nama, atau istilah men-jawakan nama bagi kelompok muslim Tionghoa seperti sebuah keniscayaan. Menjadi sesuatu hal pasti ketika kelompok Cina sudah memilih Indonesia sebagai tempat tinggalnya. Pasti mereka memiliki dua nama yang tersemat dalam dirinya.

Menjadi muslim nasionalis berpenampilan Indonesia

Menjadi seorang “muslim”, sepertinya pilihan yang paling tepat ketika berada di Indonesia. Sebab di Indonesia merupakan mayoritas penduduk muslim sebagai kelompok paling banyak. Meskipun demikian, ketika memilih menjadi seorang muslim, tradisi lokal budaya yang dimiliki oleh kelompok etnis Cina bagaimanapun tetap dipertahankan dengan tidak merusak akidah yang dimiliki oleh mereka sebagai seorang muslim.

Tantangan tersebut juga diperoleh oleh kelompok Cina ketika menjadi seorang muslim, yakni persoalan penampilan. Diantara kondisi lokal Indonesia dengan budaya Tionghoa yang dimiliki, mereka harus menunjukkan penampilannya yang sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya agar tidak mendapat stigma radikal, dan mendapatkan kehidupan aman di tengah persoalan etnis yang tidak berkesudahan.

Dilansir dari theconversation.com, kelompok Cina kerap mendapat stigma negatif oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai “orang asing”. Kata tersebut merepresentasikan bahwa kelompok Cina datang ke Indonesia hanya untuk menjajah, mengambil keuntungan, bahkan mereka sama sekali tidak mengetahui tentang Indonesia secara lebih jauh.  Fenomena demikian, kerap memunculkan ketegangan antara masyarakat pribumi yang tidak diragukan nasionalismenya dengan masyarakat Cina yang masih dipertanyakan keindonesiaannya.

Tidak hanya itu, tantangan besar pada muslim Tionghoa adalah bagaimana mereka harus menampilkan kondisi dualisme tersebut agar bisa diterima oleh kelompok non-Cina ketika hidup sebagai makhluk sosial. Menjadi muslim yang hidup di Indonesia, tidak berarti mereka meninggalkan budaya Tionghoa yang ada. Dua atribut tersebut tetap mereka pertahankan dan berusaha untuk terus berjalan secara beriringan.

Salah satu wujud sebagai makhluk sosial masyarakat muslim Cina berupaya untuk hidup di Indonesia yakni dengan adanya organisasi Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini menjembatani wujud keberagamaan para muslim Tionghoa agar hidup damai dan toleran di tengah kondisi multikultural masyarakat Indonesia.

Peran sosial ketika hidup di tengah keragaman, mereka tidak segan untuk mengundang para pendakwah yang berasal dari kalangan NU dan Muhammadiyah sebagai basis organisasi Keislaman yang eksis di Indonesia dan dikenal sebagai organisasi moderat dan mengusung nilai-nilai Islam dan Indonesia secara berdampingan.

Di Surabaya, keberadaan masjid Cheng Hoo yang didirikan pada tahun 2002 menjadi salah satu penghubung para muslim Tionghoa dalam menampilkan Islam yang terbuka, masyarakat non-Cina agar bisa menerima segala etnis muslim yang ada di Indonesia.

Mendirikan Masjid Cheng Hoo, Muslim Tionghoa ingin menyampaikan pesan kepada sesama orang  Tionghoa bahwa Menjadi seorang Muslim tidak menghapus identitas budaya mereka sebagai Cina. Komitmen terhadap etnik ini terlihat dari bangunan Masjid Cheng Hoo yang menyatu dengan  tradisi dan filosofi Tiongkok seperti dominasi warna merah, tepuk kwa di atap Masjid, yang melambangkan keberuntungan. Wujud nasionalisme Muslim Tionghoa pada kenyataannya menunjukkan betapa multi beragamnya kelompok muslim di Indonesia. Tugas kita harus menjaganya dengan sikap toleran kepada antar kelompok. Wallahu a’lam

Advertisements