Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Begini Hukum Membaca Ayat Suci Al-Qur’an di Depan Non-Muslim

Begini Hukum Membaca Ayat Suci Al-Qur'an di Depan Non-Muslim

Saat Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus mengunjungi Masjid Istiqlal, Jakarta salah satu agendanya adalah mengunjungi “Terowongan Persahabatan”, yakni terowongan penghubung sepanjang 28,3 meter antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Paus disambut hangat oleh jajaran pengurus masjid, bahkan ada lantunan ayat suci Al-Qur’an.

Pertanyaannya, bagaimana hukum menyambut tamu non-Muslim dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di hadapan mereka? Hal ini penting dijelaskan karena tidak sedikit yang mempertanyakannya. Dilansir NU Online, berkaitan dengan membaca Al-Qur’an, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, mengutip pendapat Imam an-Nawawi, menyebutkan dalam kitabnya:

قال النووي في التبيان لا يمنع الكافر عن سماع القرآن لقوله عز وجل﴿ وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ﴾ ويمنع من مس المصحف وهل يجوز تعليم القرآن قال أصحابنا إن كان لا يرجى إسلامه لم يجز تعليمه ، وإن رجي إسلامه ففيه وجهان ، أصحهما يجوز رجاء لإسلامه

Artinya: ’’Imam an-Nawawi dalam Kitab at-Tibyan mengatakan, tidak boleh dihalangi non-Muslim dari mendengar bacaan Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS At-Taubah: 6)

Namun, perlu dilarang bagi non-Muslim menyentuh mushafnya. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana jika mengajarkannya? Menurut ulama kami, ada dua pendapat: Pertama, jika tidak diharapkan keislamannya, maka tidak boleh diajarkan. Namun, jika diharapkan keislamannya, maka ada dua pendapat, dan yang paling kuat adalah diperbolehkan karena alasan keislaman tadi.’’ (Lihat: Syekh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi, Kasyifatus Saja syarh Safinatun Najah, [T.tp: Darul Ihya, t.t.], halaman 27).

Berkaitan dengan ayat pada Kasyifatus Saja, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa pernah ada seorang laki-laki dari kaum musyrikin yang datang kepada Rasulullah saw dengan tujuan mendengarkan wahyu Allah.

Maka, Allah memerintahkan Nabi saw untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada laki-laki tersebut. Nabi saw pun memperdengarkan Kalamullah kepadanya, kemudian mengantarkannya ke tempat yang aman.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah saw selalu memberikan jaminan keamanan kepada siapa saja yang datang kepadanya untuk meminta petunjuk atau sebagai delegasi. Hal ini terjadi, misalnya, pada Perjanjian Hudaibiyyah. Pada hari itu, sejumlah delegasi dari kalangan Quraisy, seperti Urwah ibnu Mas’ud, Mukarriz ibnu Hafs, Suhail ibnu Amr, dan lainnya, datang silih berganti untuk menyelesaikan perkara antara Nabi saw dan kaum musyrikin.

Saat itulah kaum musyrikin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kaum Muslimin menunjukkan penghormatan dan pengagungan yang luar biasa terhadap Rasulullah saw, sehingga membuat mereka terkagum. Kaum musyrikin belum pernah melihat penghormatan yang diberikan kepada seorang raja atau kaisar seperti pengagungan yang dilakukan kaum Muslimin terhadap Rasulullah saw.

Sepulangnya ke kaumnya, mereka menceritakan segala sesuatu yang telah mereka saksikan. Banyak di antara mereka yang tertarik dengan risalah Nabi Muhammad saw, dan hal tersebut menjadi salah satu faktor keberhasilan dakwah Rasulullah saw. di kalangan mereka. (Lihat: Tafsir Ibni Katsir, [Riyadh: Daru Thayyibah, 1999], jilid IV, hal. 113).

Selain itu, perbuatan baik dan sikap toleran dalam ajaran Islam merupakan ciri khas serta prinsip dalam berinteraksi dengan sesama. Bahkan, terhadap non-Muslim sekalipun, seorang Muslim dituntut untuk saling menghormati, berbagi, berlaku adil, dan menjaga hubungan baik.

Sikap ramah kepada non-Muslim juga pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam peristiwa yang melibatkan Asma binti Abu Bakar. Saat itu, Asma meminta izin kepada Rasulullah sawuntuk menerima kedatangan ibunya, Qailah binti al-Uzza, yang membawa kismis dan mentega untuknya.

Pada awalnya, Asma menolak hadiah tersebut dan tidak mempersilakan ibunya masuk rumah karena ibunya adalah seorang non-Muslim, sebelum meminta izin kepada Rasulullah saw.

Tidak disangka, Rasulullah saw mempersilakannya, bahkan memerintahkan Asma selalu menjaga hubungan baik dengan ibunya, “Silakan jalin hubungan dengan ibumu.”

Ditambahkan oleh Ibnu ‘Uyainah, bersamaan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan ayat:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8). (Lihat: Ibnu Hajar, Fathul Bari, [Kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1970], Jilid V, halaman 234).

Demikianlah sambutan dan perlakuan baik terhadap non-Muslim yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, termasuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapan mereka. Wallahu a’lam.

M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.

Advertisements