Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Tokoh Besar Indonesia A. Hassan Mengkafirkan Pancasila, Kok Bisa?!

Ada sebuah buku berjudul Islam dan Kebangsaan. Buku ini ditulis oleh A. Hassan, tokoh besar Indonesia dan lebih dikenal sebagai salah satu pendiri Persatuan Islam (Persis) dan kemudian menjadi ketuanya. Buku ini merupakan kumpulan karangan A. Hassan yang membahas tiga masalah penting, yaitu Islam dan kebangsaan; kritik A. Hassan terhadap pemikiran Soekarno; dan sistem pemerintahan berbasis Islam.

Pada tulisan ini saya coba fokus memberikan komentar terhadap pandangan A. Hassan yang berbicara tentang sistem pemerintahan berbasis Islam. Pada bagian ini A. Hassan tegas menyebutkan bahwa orang mukmin (orang yang beragama Islam) wajib hukumnya menjalankan hukum-hukum Allah Swt. Pernyataan ini didasarkan pada sembilan ayat Al-Qur’an, di antaranya, surah al-Maidah ayat 44, 45, 47, 49, 50; surah an-Nur ayat 48, 51; surah al-Ahzab ayat 36; dan surah an-Nisa’ ayat 65.

Sembilan ayat Al-Qur’an tersebut ditafsirkan oleh A. Hassan: Pertama, orang yang tidak menggunakan hukum-hukum Allah Swt. sebagai undang-undang di tengah-tengah manusia, maka mereka diklaim sebagai orang zalim dan fasiq. Kedua, seseorang pantas diklaim kafir jika ia menganggap bahwa hukum Allah Swt. itu tidak baik atau menganggap ada hukum yang lebih baik daripada hukum-Nya. Ketiga, seseorang pantas disebut fasiq jika ia tahu ada hukum Allah Swt. namun ia menentangnya dan ia menetapkan suatu hukum di luar undang-undang yang diwahyukan oleh Allah Swt.

Kemudian, A. Hassan mengutip pandangan ulama, meski tidak disebutkan namanya, yang mengatakan bahwa orang yang menentang hukum dengan undang-undang yang tidak diwahyukan oleh Allah adalah kafir dan orang yang kafir itu sudah tentu zalim dah fasiq. Bahkan, A. Hassan memberikan sebuah kesimpulan yang cukup tegas, ayat-ayat tadi, meskipun ditafsirkan dengan cara apa saja, tetap maksud yang terkandung di dalamnya adalah bahwa manusia, terutama orang mukmin, wajib menghukum manusia dengan undang-undang yang diturunkan oleh Allah Swt.

Pandangan A. Hassan tentang hukum undang-undang suatu negara itu sangat tertutup (eksklusif). Pandangan semacam ini persis seperti yang digaungkan oleh kelompok Khawarij pada saat mengkafirkan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib beserta pengikutnya. Karena, pada waktu itu Ali memutuskan suatu hukum di luar hukum Allah. Ayat yang dijadikan landasan berpikir Khawarij itu persis sama dengan ayat yang dijadikan rujukan oleh A. Hassan tadi. Terus yang keliru yang mana? Apakah yang keliru ayat-ayat Al-Qur’annya atau mereka yang menafsirkan ayat itu? Mari kita bahas secara lebih hati-hati berikut ini.

Banyak hal yang disayangkan dari pandangan A. Hassan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, meski secara keilmuan ia cukup mumpuni dalam menafsirkan kitab suci umat Islam itu, apalagi ia sendiri pernah menulis tafsir tiga puluh juz berjudul Al-Furqan, Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir. Bahkan, saking alimnya Soekarno sendiri menjadikan A. Hassan sebagai guru dan sering menulis surat tentang ilmu-ilmu Islam yang dikirim kepadanya. Di antara hal yang disayangkan dari pemikiran A. Hassan adalah: Pertama, cenderung tekstualis dalam memahami ayat Al-Qur’an, sehingga ayat itu kehilangan konteksnya. Bayangkan saja bagaimana bisa ia langsung memberikan kesimpulan yang parsial tentang pentingnya berpijak pada hukum Allah dan Rasul-Nya setelah membaca teks ayat itu tanpa dikaji sabab nuzulnya, kajian semantiknya, munasabah ayatnya, dan lain-lain. Sungguh kering penafsiran semacam itu!

Kedua, pemikiran A. Hassan cenderung mengantarkan bangsa Indonesia khususnya dan umat Islam umumnya kepada paham radikal. Bangsa ini akan mudah terjebak dalam ketertutupan berpikir. Mereka akan berpikir sempit dan tidak menerima pluralisme agama atau semacam paham yang memandang bahwa agama memiliki kebenaran yang majemuk. Semua pemeluk agama punya hak untuk membenarkan agama atau keyakinannya masing-masing. Bangsa yang terjebak dalam pemikiran A. Hassan akan menolak agama di luar Islam dan akan sangat mungkin mengkafirkan mereka. Karena, jangankan orang non-muslim, orang muslim pun sebab menggunakan hukum produk manusia semacam sekularisme, moderatisme, dll, sudah diklaim kafir.

Makanya, pada sinopsis buku Islam dan Kebangsaan ini, Soekarno memilih jalan lain dibandingkan gurunya A. Hassan dengan memperkenalkan paham kebangsaan yang mempunyai arti chauvinisme atau netral agama. Paham yang diperkenalkan Soekarno dianggap oleh A. Hassan sebagai paham yang membahayakan dan harus ditanggapi secara serius. A. Hassan dan muridnya Mohammad Natsir menanggapi pemikiran Soekarno sebagai pemikiran sekuler. Padahal, Soekarno memperkenalkan netral agama itu sebagai bentuk sikap toleran terhadap agama-agama yang ada di Indonesia, apalagi pada waktu itu ia menjabat sebagai presiden yang harus netral kepada rakyatnya. Tidak boleh pemimpin terjebak pada keberpihakan terhadap satu kelompok, apalagi agama.

Ketiga, pemikiran A. Hassan, meskipun ia sendiri diakui sebagai tokoh besar Indonesia, dapat menghilangkan nilai-nilai kebhinekaan sebagai dasar bernegara. Hilangnya nilai-nilai kebhinekaan ini akan berpotensi menghancurkan negara ini dari dalam. Indonesia bukanlah negara Islam (Daulah Islamiyah) seperti yang diinginkan A. Hassan dan muridnya Natsir. Indonesia adalah negara demokrasi yang menggunakan ideologi negara Pancasila. Pada ideologi ini tidak ada satu agama pun yang superior dan agama lain imperior. Apapun agamanya, selama diakui di negera merah putih ini, dapat berpegang teguh pada pesan-pesan yang terkandung dalam Pancasila.

Jika A. Hassan tetap pada pandangannya bahwa manusia harus menggunakan hukum Tuhan, maka berkiblat pada Pancasila sebagai produk manusia bisa jadi (sekali lagi: bisa jadi ya!) dianggap sebagai orang kafir, zalim, dan fasik. Sangat menyayangkan tokoh pembaharu seperti A. Hassan terjebak dalam tafsir-tafsir eksklusif yang didengungkan oleh kelompok Khawarij. Melalui tulisan ini, pembaca tidak terjebak dengan kemasyhuran A. Hassan sehingga dengan mudahnya membenarkan pemikirannya yang cenderung tekstualis dan eksklusif itu.[] Shallallah ala Muhammad.

Khalilullah
Lulusan Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta