Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Perempuan Afghanistan Tanggung Beban Krisis Ekonomi

Perempuan Afghanistan Tanggung Beban Krisis Ekonomi

Saat Afghanistan dilanda krisis ekonomi dan kemiskinan pasca pengambilalihan oleh Taliban pertengahan Agustus lalu, perempuan adalah kelompok yang membayar harga paling mahal. Mereka berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga mereka dan mendapat hak untuk bekerja dan belajar. 

Krisis ekonomi, kemiskinan dan kelaparan telah memaksa banyak perempuan Afghanistan menjual barang-barang rumah tangga mereka di pasar barang bekas di bagian utara Kota Mazar-e-Sharif agar dapat memberi makan keluarga mereka.

Mantan kepala sekolah Amina Saifi yang berusia 40 tahun adalah salah satu dari puluhan pedagang perempuan yang duduk di pinggir jalan untuk menjual pakaian.

Saifi mengatakan setelah Taliban kembali berkuasa pada 15 Agustus lalu, ia dilarang kembali bekerja untuk mengelola salah satu sekolah menengah di kota itu. Suaminya meninggal dalam serangan bunuh diri tiga tahun lalu dan kini ia bertanggungjawab memberi makan delapan anaknya. Akhirnya ia terpaksa bekerja di pasar barang bekas di kota itu dengan menjual barang-barang rumah tangganya.

Meskipun mengalami kesulitan, fasilitas pendidikan untuk anak perempuan di setidaknya sepuluh provinsi – termasuk Mazar-e-Sharif – masih berjalan tanpa gangguan. Tidak jelas mengapa Saifi kehilangan pekerjaannya sebagai kepala sekolah.

Saifi telah menjadi kepala sekolah selama 15 tahun dan ia masih menyimpan semua sertifikatnya, tetapi Departemen Pendidikan di provinsi itu tidak melakukan apapun untuk membantunya. Setelah membimbing dan memimpin ratusan siswa, Saifi mengatakan tidak lagi mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memberi makan kedelapan anaknya.

“Saya menjual pakaian bekas ini seharga 30-50 Afghanis (sekitar Rp 4.000-Rp 6.800). Kalau pun saya berhasil menjual satu pakaian, keuntungan yang saya dapat tidak lebih dari 10 Afghanis (sekitar Rp 1.370),” tuturnya.

Taliban telah menjanjikan untuk membentuk pemerintahan Islam yang lebih moderat dibanding pada masa ketika mereka memerintah negara itu terakhir kali pada 1996-2001. Namun, banyak warga Afghanistan, terutama perempuan, sangat skeptis dan takut akan kemunduran hak-hak mereka, yang telah diperoleh selama 20 tahun terakhir ini.

Perempuan di sebagian besar kementerian pemerintah sekarang tidak dapat bekerja, dan remaja perempuan di banyak negara bagian dilarang bersekolah.

Situasi menyedihkan

Aktivis hak-hak perempuan, Fraiba Akbaryaar, mengatakan perempuan Afghanistan kini hidup dalam situasi yang “sangat menyedihkan.”

“Frustasi telah mencapai puncaknya. Perempuan tidak lagi yakin dan berharap untuk memperjuangkan masa depan mereka,” ujar Fraiba.

Terlepas dari semua rintangan dan ketidakmungkinan itu, perempuan di Afghanistan masih terus menggelar protes menuntut hak-hak mereka untuk bekerja dan memperoleh pendidikan.

“Jika perempuan dalam sebuah keluarga didukung oleh laki-laki, tanggung jawab terbagi sama dan perempuan tidak terlalu berada di bawah tekanan. Namun, jika perempuan ini menjadi satu-satunya pencari nafkah keluarga dan tidak ada kesempatan bekerja, sangat sulit bagi seorang ibu untuk menyaksikan anak-anaknya mati kelaparan di depan mata mereka,” imbuh Fraiba.

Perang selama beberapa dekade telah menimbulkan dampak pada banyak keluarga di Afghanistan. Banyak perempuan kehilangan suami dan laki-laki anggota keluarga mereka, dan kini mereka menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi anak-anak mereka.

Taliban berjuang keras mengatasi hampir seluruh kehancuran ekonomi, penghentian pendanaan internasional, peningkatan kelaparan yang mengkhawatirkan, dan pemberontakan berbahaya oleh militan ISIS. Semua hal itu menjadi tantangan tambahan bagi perempuan untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga mereka.

Pasar Perempuan Rabia Balkhi, yang menampung 56 toko milik pengusaha kecil dan menengah khusus perempuan, didirikan 13 tahun lalu. Manajernya Habiba Amerini mengatakan pasar itu sudah terpukul karena pembatasan sosial terkait Covid-19, tetapi perubahan politik di negara itu membuat bisnis semakin anjlok.

Bibi Ruqia yang berusia 30 tahun, datang setiap hari untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup. Sebagaimana banyak orang lainnya. Ruqia dan keluarganya berharap dapat meninggalkan Afghanistan. Ia mengatakan mereka menunggu musim dingin berlalu untuk mencari kehidupan yang layak di luar Afghanistan.

Pemerintah baru Taliban, yang berkuasa mulai 15 Agustus lalu setelah ambruknya militer Afghanistan dan pemerintahan yang didukung Barat, telah dijatuhi sanksi oleh masyarakat internasional.

Afghanistan menghadapi perlambatan ekonomi dan bencana kemanusiaan pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pertengahan Agustus lalu. Aset Afghanistan di luar negeri yang bernilai miliaran dolar dan terutama dikelola oleh warga Amerika, telah dibekukan.

Dunia juga masih menantikan perkembangan situasi di negara itu sebelum menyampaikan pengakuan pada penguasa baru di Kabul karena mereka khawatir Taliban akan memberlakukan aturan hukum yang sama kejamnya dengan rejim yang berkuasa 20 tahun lalu.

Advertisements