Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Mengantisipasi Lonjakan Radikalisme dan Terorisme Menuju 2024

Mengantisipasi Lonjakan Radikalisme dan Terorisme Menuju 2024

Radikalisme dan terorisme juga belum reda. Berdasarkan analisis global, ancaman radikalisme dan terorisme tercatat masih tinggi. Termasuk juga dalam konteks Indonesia. Hal itu yang menjadikan kita sampai hari ini masih was-was dan bertanya akan kedamaian yang sesungguhnya di Indonesia.

Terjadinya pembantaian demi pembantian dan pendirian negara-negara baru oleh kelompok teroris yang masih berlangsung di Timur Tengah, menunjukkan fakta bahwa radikalisme dan terorisme jadi ancaman nyata bagi kita. Dan fakta ini menunjukkan situasi kita kini memang belum baik-baik saja.

Betul, sejauh ini kebijakan pemerintah dalam menangani radikalisme dan terorisme sudah di jalur yang benar, bahkan lebih baik daripada sejumlah negara lain. Namun, hal itu jangan membuat kita terlena. Jangan sampai lonjakan kasus-kasus seperti bom bunuh diri dan teroris yang pasif ini, tiba-tiba mengkhantam kedamian kehidupan kita. Ini yang patut kita sadari.

Sejauh ini, pemerintah-pemerintah negara dunia memberlakukan tingkat pengamanan teroris yang ketat. Di samping juga mereka menurunkan skala resiko terorisme. Namun bagi Indonesia, hal seperti itu tidaklah perlu ditiru. Sebab, penerapan atau pemberlakuan penurunan skala resiko teroris sering dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk memainkan aksinya.

Ingat, tidak adanya aksi teror dan aktivitas terorisme di Indonesia hari, ini bukan karena teroris sudah mati tiada. Atau tidak adanya aksi teror, bukan berarti pemberlakuan kebijakan deradikalisasi berhasil. Tapi, tidak adanya teror di Indonesia, sebab teroris kini mulai pasif dan melakukan derakan dari bawah tanah. Mereka meniru taktik dan strategi Taliban dan Al Jaulani.

Seperti Al Jaulani, teroris-teroris di Indonesia, mencoba memulai suatu gerakan yang baru. Jika yang dulunya jihad terror, kini yang mulai dengan cara-cara jihad yang lunak. Misalnya, mereka kini ingin menguasai hati dan pikiran orang Indonesia. Caranya, mereka membuat perangkap lewat pengajian-pengajian, filantropi, dan bantuan kemanusiaan. Bukan ini tidak baik. Tapi harus diakui, itu adalah cara gerombolan teroris untuk masuk dan mengusai medan yang mereka incar.

Mereka tahu, pemberlakukan monitor atas kegiatan keagamaan masyarakat yang ketat, menjadi titik kelemahannya juga. Di sini ia berperan masuk secara pelan-pelan dan mengikuti setiap strategi yang negara lakukan. Dengan sudah mengetahui dan mengusai kunci-kunci strategi, kemudian anggota teroris ini melakukan aksi. Dengan demikian pula, strategi pemerintah dan negara, ujungnya hanya sekadar proyek dan retorika.

Apa yang harus dilakukan dalam meredam aksi terorisme di Indonesia? Atau sejauh mana teroris di Indonesia kini mengusai medan? Lalu bagaimana cara mengantisipasi lonjakan radikalisme dan terorisme menuju 2024?

Terkait ini, sebenarnya menjadi tanggung jawab negara secara penuh. Namun juga menjadi tanggungan bangsa Indonesia dalam rangka menjaga dan menjadikan kehidupan kita yang damai dan nyaman. Oleh sebab itu, minimal kita meminta dan mengingatkan kepada negara untuk terus melakukan sterilisasi terhadap keberadaan teroris di Indonesia.

Sebab seperti yang kita tahu, kelompok-kelompok radikal teroris ini, ingin kembali kepada akar, sebagian mereka menjadi fanatik buta terhadap sesuatu yang mereka percaya. Di sinilah asal mula masalahnya. Karena kefanatikannya, kelompok radikal menjadi eksklusif, intoleran, lalu membunuh dan menghancurkan yang lian atas nama agama Islam. Tidak hanya itu, pada tahap berikutnya, radikalisme dapat meningkat menjadi agama baru: agama teroris.

Menurut Muchtadlirin, peneliti dari Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ada empat karakteristik kelompok radikalisme dalam Islam: Pertama, literalis, memahami teks keagamaan secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks. Kedua,  intoleran, menganggap hanya pemahaman atas teks agama milik kelompoknya yang benar, selain itu salah.

Ketiga, anti-sistem, mereka menolak sistem negara yang tidak berlandaskan hukum Islam, termasuk sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Mereka menganggap negara yang belum menjalankan sistem “khilafah” versi mereka sebagai thaghut. Keempat, revolusioner, tidak hanya berhenti pada sikap menolak sistem, melainkan juga memiliki keinginan untuk mengganti sistem dengan sistem lain yang mereka anggap benar. Dan semua itu sangat berbahaya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita melakukan upaya-upaya riil untuk sama-sama menghilangkan kelompok teror dan melakukan upaya mengantisipasi lonjakan terorisme ke depan. Salah satunya adalah kita tidak boleh lelah mengingatkan negara dan masyarakat untuk terus ikut menyelenggarakan kontra radikalisme dan terorisme. Termasuk juga kita juga terus saling toleran dan memahami kelompok yang berbeda demi kemaslahatan Bersama untuk kemudian sama-sama hidup nyaman Bersama.

Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman