Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Menafkahi Anak Tiri: Kewajiban atau Kebaikan?

Menafkahi Anak Tiri: Kewajiban atau Kebaikan?
Menafkahi Anak Tiri: Kewajiban atau Kebaikan?

Kabarumat.co – Dalam setiap pengambilan keputusan besar, tak jarang ada pihak yang harus menanggung akibatnya. Hal ini sangat terasa dalam kasus perceraian, khususnya bagi pasangan yang telah memiliki anak. Oleh sebab itu, keputusan untuk bercerai harus dipikirkan secara matang dan rasional. Perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi juga — bahkan sering kali lebih berat — dirasakan oleh anak-anak yang tak bersalah. Perpisahan orang tua dapat mengganggu masa depan mereka, terlebih jika kemudian dibesarkan oleh ayah tiri. Dalam hal kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan, tidak selalu mudah bagi anak untuk menerima atau mendapatkan pengganti yang setara dengan ayah kandung.

Sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan, kami ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa kewajiban untuk menafkahi anak tetap berada di tangan ayah kandung, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT.

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ 

Artinya: “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah [2]:233).

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ 

Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (Ath-Thalaq [65]:6)

Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar hukum bahwa seorang ayah memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya. Ini didasarkan pada kandungan ayat yang menyebutkan kewajiban ayah membayar upah bagi ibu yang menyusui anaknya. Dari sini, dipahami bahwa ayah bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan anak, baik secara materi maupun perawatan. (Lihat: Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], jilid II, hlm. 480).

Dalam hukum fikih, jika seorang anak tidak lagi memiliki ayah, maka kewajiban memberikan nafkah berpindah kepada kakek dari pihak ayah, dimulai dari yang paling dekat hubungannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan Ali As-Syarbini:

“Wajib bagi ayah maupun kakek ke atas untuk menanggung nafkah anak-anaknya, bahkan hingga keturunan di bawahnya (seperti cucu dan cicit). Ayah bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika tidak ada ayah, maka kewajiban ini dialihkan kepada kakek dari pihak ayah yang terdekat, lalu kepada yang berikutnya.”

Dari sini dapat disimpulkan bahwa secara hukum Islam, yang berkewajiban menafkahi anak adalah ayah kandung, dan bila ayah tidak ada, tanggung jawab itu dilanjutkan oleh kakek dari garis ayah. Dengan demikian, menafkahi anak tiri bukan merupakan tanggung jawab ayah tiri.

Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, ditegaskan bahwa dalam hal perceraian, ayah tetap bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Jika ayah tidak sanggup menjalankan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat mewajibkan ibu untuk turut menanggungnya. Pengadilan juga dapat memutuskan agar mantan suami memberikan nafkah hidup kepada mantan istrinya.

Meski demikian, jika seorang ayah tiri dengan sukarela memberikan nafkah kepada anak tirinya, meskipun bukan kewajibannya, hal ini dianggap sebagai perbuatan yang mulia dan berpahala. Pandangan ini sejalan dengan fatwa Dar al-Ifta’ al-Misriyyah (Mesir) yang dikeluarkan oleh Mufti Mesir, Ustaz Dr. Syauqi Ibrahim ‘Allām, dalam fatwa nomor 7569 tertanggal 2 Maret 2023 berjudul Hukum Nafkah Suami terhadap Anak-anak Istrinya.

Artinya: “Anak-anak dari istri tidak memiliki hak untuk dinafkahi oleh suami ibunya. Namun, apabila sang suami memberikan nafkah secara sukarela, maka perbuatannya akan mendatangkan pahala.”

Dengan demikian, secara prinsip, ayah tiri tidak memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah anak-anak dari pernikahan istrinya yang terdahulu. Namun, bila ia dengan ikhlas memberikan nafkah kepada mereka, maka hal tersebut termasuk tindakan terpuji yang bernilai ibadah. Wallahu a’lam.