Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Mahfud MD: Politik Identitas Bagian dari Radikalisme

Mahfud MD: Politik Identitas Bagian dari Radikalisme

Warga Surabaya bernama Albert menanyakan soal politik identitas di Pemilu 2024 kepada cawapres nomor urut 03 Mahfud MD dalam acara ‘Tabrak Prof’ di Warkop Sedulur Tunggal Kopi (STK) Ngagel, Surabaya, Rabu (10/1).

Albert yang merupakan seorang Katolik masih ingat dengan politik identitas yang ramai pada 2017. Peristiwa bom gereja di Surabaya pada 2018 juga masih membekas di hatinya.

“Saya ingin bertanya kepada Prof. Mahfud selaku Menkopolhukam dan juga selaku paslon yang akan berkontestasi besok, apakah ada jaminan bahwa politik identitas itu tidak digunakan lagi di Pilpres atau Pileg 2024 ini?” ungkap Albert.

Menjawab pertanyaan itu, Mahfud menjelaskan bahwa politik identitas itu termasuk bagian dari radikalisme.

Saya akan cerita dulu, politik identitas itu menimbulkan tiga implikasi. Karena politik identitas itu bagian dari radikalisme. Satu intoleransi, yang kedua jihadis pengeboman-pengeboman itu, lalu yang ketiga infiltrasi,”

Mahfud MD

Mahfud menceritakan, akhir-akhir ini jarang sekali terjadi adanya ancaman bom di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa politik identitas sudah bisa ditangani.

“Tahun 2022 itu tidak ada bom. Tahun 2023 ada satu di Bandung, hanya di kantor Polsek, kecil-kecilan orangnya langsung ditangkap. Tapi sekarang ndak ada bom, artinya itu sudah bisa ditangani politik identitas yang dalam bentuk kekerasan,” tutur Mahfud.

“Banyak [terduga teroris] yang kita tangkapi, menjelang tahun baru, menjelang Natal di berbagai tempat, ini yang merencanakan, tercium semua, diciduk di Jakarta. Jauh lebih baik,” terangnya.

Mahfud menyampaikan bahwa politik identitas juga berkaitan dengan toleransi beragama. Ia juga menceritakan tentang pembangunan gereja di Bogor yang dipersulit pada tahun 2006.

“Jangan sampai, politik identitas itu menyangkut toleransi beragama. Dulu ada kasus Gereja Yasmin di Bogor, itu bersengketa sejak tahun 2006. Jadi oleh wali kota diberi izin didirikan gereja, tapi oleh masyarakat ditolak. Terjadi pertengkaran wali kota berikutnya cabut lagi dan seterusnya sampai tidak ada kepastian 18 tahun. Gereja itu hak orang untuk beribadah. Saya resmikan pada tanggal 9 April sesudah 18 tahun tidak jalan,” ujar dia.

Sehingga, ia berkomitmen untuk menjaga toleransi agar tidak ada politik identitas yang terjadi pada Pemilu 2024 kali ini.

“Nah, itu, karena komitmen kita untuk membangun toleransi, karena perbedaan itu adalah fitrah dari Tuhan sehingga setiap yang berbeda itu harus melindungi dan tidak boleh melakukan kekerasan dari yang satu terhadap yang lain,” tandas Menko Polhukam itu.

Advertisements
Ahmad Fairozi
Magister Sejarah Peradaban Islam, Universitar Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.