Indonesia merupakan negara yang sarat dengan keberagaman yang kompleks: ras, suku, etnik, tradisi, budaya, dan agama. Dalam realitas kemajemukan kompleks itulah, agama Islam berkembang menjadi agama mayoritas warga negara Indonesia. Karenanya, adalah wajar dan bahkan penting untuk memunculkan konsepsi pluralitas dalam beragama, mengingat banyaknya konflik etno-religius yang mudah dijumpai di Indonesia.
Mudah sekali menemukan di YouTube dan sosial media lainnya, bentuk dakwah Islam yang mempertontonkan antikeberagaman. Mudah melabeli sesat dan kafir kepada yang berbeda, atau menjelek-jelekkan ajaran agama umat lainnya. Pola dakwah yang seharusnya dihindari oleh ulama, kyai, tokoh agama dan ustadz/ustadzah karena mencerminkan arogansi beragama.
Hal ini karena jika dakwah seperti ini terus tumbuh subur, niscaya kasus-kasus fanatisme, radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam akan semakin sering terjadi. Ini karena pengajian keagamaan masih belum memegang prinsip pluralitas dan toleransi agar sesama umat beragama bisa hidup dengan damai. Nahas memang. Diskursus keislaman kita, selalu saja dihadapkan dengan sulitnya menerapkan nilai-nilai prularitas Islam di ruang publik.
Ironinya, potret tersebut ialah apa yang mendominasi jagat maya saat ini, dimana jutaan masyarakat Indonesia mengakses setiap hari. Maka itu, mudah sekali kita menemukan ujaran kebencian dan hoaks dalam narasi-narasi keagamaan. Kondisi ini semakin diperparah dengan pemanfaatan media sosial oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ideologi transnasional berikut tutorial melakukan aksi teror secara lonewolf.
Mereka membelokkan dalil-dalil keagamaan untuk melegalkan ujaran kebencian dan tindakan kekerasan kepada sesama saudara. Ajaran-ajaran agama juga dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Demokrasi yang merupakan perwujudan kesepakatan politik manusia dibenturkan dengan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut. Demokrasi dan Pancasila dianggap thaghuut (berhala). Tindakan tersebut, tentu saja selain bertentangan inti ajaran agama, perlahan juga mulai menggerus sistem toleransi dalam bermasyarakat yang sebenarnya telah berdiri dengan mapan.
Sungguh. Praktik islamisme ini telah menjadi ancaman serius bagi keutuhan dan kebinekaan NKRI. Meski jumlah mereka saat ini masih tergolong kecil, ideologi ini tetap berpotensi tumbuh subur apabila tidak disikapi dan diantisipasi secara serius. Memerlukan kesadaran bersama (mutual awareness) secara penuh untuk melawan bahasa radikalisme, intoleransi dan fanatisme dengan bahasa “persatuan”.
Sama halnya dengan kegagalan memahami bahasa yang berbeda, kegagalan memahami bahasa persatuan juga akan menyebabkan ketersinggungan atar anak bangsa, karena kita tak menggunakan paham yang satu dan mengedepankan persatuan (Yohanes Bara, 2019).
Beragama adalah Kata Kerja
Beragama ialah praktik hidup oleh pemeluk agama, di mana jiwa, pikiran, sikap, dan segala tindakan selalu berpijak pada agama yang dianut. Dengan beragama, manusia bukan hanya beriman namun juga sekaligus berilmu dan beramal kebaikan sesuai dengan nilai-nilai asasi agama yang dianut. Secara sederhana, dapat dianalogikan: beragama ialah kata kerja dari setiap pemeluk agama. Dalam terminologi Islam, wujud keberagamaan ialah mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan secara totalitas atau kaffah (Haidar Nashir, 2019).
Dalam Islam, praktik beragama secara kaffah menurut al-Qur’an, sudah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Aisyah RA mengilustrasikan, Rasulullah SAW ialah sosok berakhlak sebagaimana al-Quran. Artinya, Nabi Muhammad sebagai “Al-Quran yang berjalan” di muka bumi ini, memberikan teladan yang harus diikuti oleh para pengikutnya. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak (HR. Bukhari).
Dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Muhammad tidak pernah memaki, mencela, mengajak untuk bertindak intoleran, dan mengadu domba. Karenanya, tindakan mudah melabeli seseorang dengan kafir, menebar provokasi, hoaks, dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, itu bukanlah semangat beragama sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi ialah menyebarkan risalah Tuhan dan mengajarkan ilmu serta memakmurkan dunia (Q.S. Al-Baqarah: 30; Hud: 60). Umat beragama sebagai pembawa risalah Tuhan sama sekali tidak diharapkan mengelola dunia dengan cara merusaknya. Karenanya, ideologi yang selalu menggaung-gaungkan tumpah darah demi agama, itu bukanlah sifat asli pembawa risalah Tuhan.
Rasulullah sekalipun, dalam setiap peperangan melarang sahabatnya merusak tanaman yang dilewatinya, membunuh anak-anak dan perempuan. Bandingkan dengan fenomena sekarang, “bom bunuh diri” yang dilakukan oleh para orang mengaku pembela agama bahkan merusak segalanya.
Hal itu menegaskan, umat beragama harus senantiasa mengedepankan akhlak agar dapat menebar rahmat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Menjadi moderat dalam beragama adalah kunci. Fanatisme terhadap kekerasan dalam beragama justru akan mencoreng nama baik agama yang sedang dibawa risalahnya.
Epilog
Jelas bahwa persoalan mendasar yang perlu diselesaikan dalam konteks beragama adalah penanaman prinsip moderasi beragama. Hal ini hanya bisa tumbuh apabila paham keagamaan disampaikan secara kaffah, sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan tafsir ajaran sehingga terjadi aksi radikal.
Dan, sekalipun masih ada orang yang hendak menebarkan ideologi transnasional, ajaran keagamaan yang kita miliki sudah cukup untuk membentengi diri dari jeratan-jeratannya. Perlahan tapi pasti, narasi-narasi kekerasan pun akan semakin lenyap dari ruang publik seperti ceramah keagamaan di masjid/jam’iyyah dan juga jagat maya, yang notabene diakses oleh jutaan manusia Indonesia setiap hari. Wallahua’lam bish-shawaab.
Leave a Review