TOLERANSI seperti masih menjadi barang yang mahal di negeri kita. Dari pemberitaan belakangan ini, belum reda rasa geram kita terhadap public figur pelaku pelecehan seksual yang keluar dari penjara dan disambut layaknya seorang pahlawan, atau tentang tersangka pidana korupsi yang mendapatkan keringanan hukum, perhatian kita makin dibuat terenyak oleh adanya praktik tidak toleransi di masyarakat.
Praktik itu menimpa kelompok Ahmadiyah di Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar), Jumat (3/9), yang mendapatkan perusakan tempat ibadah oleh kelompok yang mengatasnamakan diri mereka gerakan Aliansi Umat Islam di Kalimantan Barat.
Hal ini tentu sungguh disayangkan. Mengapa toleransi dalam beragama terkesan sukar ditegakkan? Mengapa sebagian dari kita terkesan sulit sekali dalam menerima perbedaan? Bahkan sejak tujuh puluh tahun lebih republik ini berdiri, kesadaran pentingnya toleransi sepertinya belum dipahami secara baik oleh sebagian dari kita.
Dalam beberapa kasus, perbedaan aliran, madzhab, atau ideologi menjadi api yang menyulut benak para pemangkunya untuk menebar kebencian terhadap kelompok atau orang yang memiliki keyakinan berbeda. Padahal, perbedaan adalah bagian dari keberagaman. Dan keberagaman menjadi bagian dari kekayaan bangsa yang tak ternilai keberadaannya.
Isu pentingnya inilah, yang setidaknya menjadi satu sorotan dari figur K.H. Husein Muhammad dalam buku teranyarnya yang bertajuk Islam (Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan Kemanusiaan) ini. Terbagi ke dalam empat bab utama, yakni: keislaman, kenabian, kesetaraan, dan pencerahan, buku ini memuat esai-renungan Kiai Husein dalam memandang praktik, budaya, tradisi, dan perilaku umat Islam di negeri ini. Adapun isu terkait toleransi beragama seperti kasus di atas menjadi satu yang paling sering ia bahas, ia banyak mengulasnya di bab Keislaman dan Pencerahan.
Dalam memandang isu tersebut, jelas, beliau sangat menyayangkan praktik itu masih terjadi di sekitar kita. Menurutnya, persebaran agama Islam di negeri kita ini memiliki sejarah panjang yang penuh perbedaan. Sekian aliran tersebar di seantero negeri. Ada yang tampak besar, menyebar di banyak wilayah; ada pula yang menjadi kelompok kecil, menyebar di tempat-tempat khusus saja.
Namun, tetap saja, tujuan mereka sama satu dengan yang lainnya. Mereka mengejar keridhaan Tuhan yang Maha Esa dan mengharapkan kebaikan di setiap langkah yang diambil. Hanya saja, memang, dalam beberapa praktik beragama, mereka memiliki sedikit perbedaan.
Akan tetapi, sekali lagi, perbedaan ini tidak lantas menjadi pijakan bagi sekelompok lain untuk merepresi atau menyerang kelompok lainnya. Agama Islam adalah agama yang cinta damai, menjungjung cinta dan kasih sayang, dan menghormati berbagai perbedaan yang ada. Kita, misalnya, bisa mencontoh kebijaksanaan salah satu ulama terkemuka kita, yakni Imam Malik, dalam menyikapi perbedaan. Suatu kali, Khalifah ‘Abbasiyah, Abu Ja’far al-Manshur, meminta Imam Malik agar kitab Al-Muwatha’ yang menghimpun hadits-hadits nabi karyanya dijadikan sumber hukum positif yang diberlakukan di seluruh wilayah Islam.
Namun, beliau menolaknya sebab tahu bahwa di berbagai wilayah negeri tersebut telah berkembang berbagai tradisi hukum yang berbeda. Mereka memperolehnya dari para sahabat Nabi Muhammad Saw. Pandangan para sahabat nabi tersebut tentu didasarkan pada informasi yang diperolehnya dari nabi.
Mereka memahaminya secara berbeda karena berbagai sebab. Imam Malik menghormati semuanya. Atas dasar itu, masyarakat berhak memilih dan tidak bisa dipaksakan mengikuti satu pendapat dan tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim kebenarannya sendiri seraya menyalahkan orang lain. (Hal. 253)
Kita lihat, bahkan selevel ulama besar yang termasuk ke dalam empat ulama madzhab terkemuka seperti Imam Malik pun memiliki kebijaksanaan yang luar biasa dalam menilai perbedaan. Lalu, mengapa sebagian dari kita selaku pengikutnya, yang berada dalam satu agama yang sama, terkesan jauh dari kebijaksanaan tersebut? Bahkan, di beberapa kasus, sebagian dari kita justru sangat enteng melabeli pihak atau kelompok lainnya dengan kaum sesat (kafir).
Satu kasus lain misalnya, ditunjukkan oleh beliau di bab Kenabian yang membahas tradisi Maulid Nabi yang dirayakan di banyak tempat di dunia. Tradisi ini pun dirayakan di beberapa daerah di negeri ini. Namun, masih saja ada orang yang secara pihak memperkarakannya dengan dalih atas nama agama. Mereka tidak ragu-ragu mencap kelompok yang masih merayakannya dengan bid’ah, kafir, atau bahkan sesat. Di samping itu, mereka juga ingin tradisi ini lenyap dari muka bumi sebab tidak sejalan dengan anjuran Nabi.
Atas hal tersebut, Kiai Husein beranggapan, “Sungguh sangat naif jika ada orang yang membid’ahkannya (menganggapnya praktik keagamaan orang yang sesat) hanya semata-mata karena nabi tidak menyelenggarakannya atau karena tradisi itu tidak ada pada masa nabi. Ini adalah pandangan orang-orang yang amat sederhana dalam memahami agama. Mereka yang cerdas, terpelajar, dan memiliki pengetahuan kebudayaan niscaya akan memberikan apresiasi yang tinggi atas tradisi ini. Tanpa kecerdasan pikiran seperti ini, peradaban Islam akan berhenti, tenggelam, lalu mati.” (Hal. 92)
Tradisi lahir dari buah zaman yang bergerak. Dan masyarakat menyikapinya sebagai bagian dari laku kehidupan sosial dan beragama. Maka, sejalan dengan pandangannya, membunuh tradisi tadi sama dengan mematikan elemen kebudayaan yang telah mengakar kuat dan merentang sejak zaman lampau. Ini yang dipahami dengan baik oleh beliau. Bahwa agama Islam yang tidak statis atau diam, mesti dimengerti. Kalau tidak, kita mungkin akan mengalami stagnasi yang merugikan umat sendiri. Lagi pula, bukankah ini bagian dari upaya menghormati perbedaan keyakinan dan tradisi saudara kita?
Lebih lanjut, Kiai Husein membahas banyak hal lagi terkait kehidupan sosial dan beragama kita. Misalnya, ia membahas bahwa agama Islam sebagai agama yang bergerak, tidak tertutup, dan menerima perubahan. Ia menyoroti beberapa kelompok atau saudara kita yang kukuh menolak segala hal yang berbau “asing”, sebab mereka memiliki ideologi yang berbeda dan dicap kafir atas agama mereka. Kiai Husein, lagi-lagi menyayangkan hal ini.
Sebab, menurutnya, “Sikap menolak segala hal yang berbau asing atau produk pemikiran asing merupakan sikap yang sama sekali tidak ilmiah sekaligus tidak Islami. Sikap tersebut merupakan cara pandang yang mengkerdilkan diri sendiri dan menutup kemahaluasan rahmat Tuhan. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Allah Swt. Memberikan “hikmah” (ilmu pengetahuan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan orang yang diberikan hikmah, berarti ia diberi banyak sekali kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]: 269). (Hal. 138)
Atau, saat ia membahas soal kesetaraan gender di tengah kehidupan umat. Kiai Husein memiliki pandangan yang segar dan terbuka. Menurutnya, benar, bahwa perempuan memiliki kesempatan, kemampuan, dan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Ia menolak anggapan bahwa perempuan sebagai makhluk nomor dua. Atau, dalam bahasa Simone de Beauvior sebagai “sang liyan”, the other. Landasan Kiai Husein dalam memandang kedudukan perempuan pun bukannya mengada-ngada atau datang dari ruang hampa.
Ia sendiri merunut sumber-sumber yang terpercaya, yang sumbernya dari sejarah umat Islam sejak zaman nabi sendiri. Maka, di akhir uraiannya ia berujar, “Cukup sudah rasanya pernyataan al-Qur’an, hadits, kesaksian para sahabat, dan catatan sejarah peradaban Islam menjadi bukti bahwa perempuan memiliki potensi intelektual yang sama dengan laki-laki, bahkan sebagian justru melebihi kecerdasan intelektual laki-laki.
Fakta-fakta di sekitar kita hari ini juga menunjukkan hal yang sama. Kenyataan ini seharusnya mengarahkan pikiran kita untuk memberikan hak-hak kepada perempuan sebagaimana hak-hak yang dimiliki laki-laki, tanpa mendiskriminasikannya dalam ruang kehidupan, baik domestik maupun publik. (Hal. 199)
Pembahasan mengenai peran perempuan dan kesetaraan itu tentu bukan akhir dari buku ini. Di bab keempat, yakni Pencerahan, menjadi penutup dari uraiannya. Beliau memungkasnya dengan harapan, bahwa beragama mestilah tidak dengan dilandasi sesuatu yang buru-buru, menilainya sepihak semata, atau tanpa mempertimbangkan kemaslahatan seluruh umat sendiri.
Dari situ, esai-esai yang terhimpun di buku ini tidak saja berfungsi sebagai pengingat, tetapi pula bisa menjadi pijakan dalam merenungkan sekian isu dan praktik beragama serta berkehidupan sosial kita. Dan, walaupun ia melayangkan kritik yang pedas di beberapa pembahasan, bahasa yang beliau gunakan tidaklah bertendensi kebencian. Sebagaimana nilai Islam yang ia percayai, ia menyampaikan dengan adem dan segar, bak tengah menyuguhi mata air bagi para pembacanya.
Leave a Review