Apa itu intoleransi? Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, jika diterjemahkan, intoleransi adalah sikap penolakan untuk menerima pandangan, keyakinan, atau tindakan yang berbeda dengan apa yang diyakininya.
Sedangkan, radikalisme berasal dari kata “Radix” yang berarti “akar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau secara drastis.
Terorisme, sebagaimana dijelaskan dalam UU No 5 Tahun 2018 Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, dikategorikan sebagai tindak pidana. Yang dimaksud dalam beleid tersebut adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan/ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Intoleransi adalah awal terbentuknya radikalisme, lalu ekstremisme, dan terakhir dalam bentuk terorisme. Artinya, intoleransi adalah benih dari radikalisme dan terorisme.
Isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang merajalela di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal seperti agama, ekonomi, atau pendidikan, tetapi ada faktor lain yang berperan atau memicu terjadinya intoleransi dan radikalisme ataupun dalam membentuk seseorang menjadi radikal, yaitu faktor psikologis.
Orang yang dibingungkan masalah identitas, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, religius atau non-religius, bisa dengan mudah menjadi fanatik. Mereka yang mencari jati diri membutuhkan pegangan untuk menyatukan diri, sehingga mereka berusaha mencari tempat di mana mereka bisa berada. Mereka mencari jati diri, butuh pegangan untuk menguatkan diri, dan sekarang kebanyakan mencari organisasi tertentu seperti ISIS atau khilafah lainnya sebagai pendukung mereka.
Dalam perkembangannya, intoleransi, radikalisme, dan terorisme menjadi isu global. Hal ini terjadi karena pengaruh perkembangan geopolitik. Dalam 20 tahun terakhir, tiga organisasi teroris telah dinyatakan dilarang oleh resolusi Dewan Keamanan PBB yaitu Al-Qaida, Negara Islam, dan Taliban.
Intoleransi, radikalisme, dan terorisme merupakan musuh bangsa Indonesia karena tidak sesuai dengan ideologi dan konsensus dasar negara. Kejahatan teroris merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary) dan kejahatan transnasional, oleh karena itu setiap negara perlu mengantisipasinya sedini mungkin.
Meningkatnya tindakan dan perilaku provokatif yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu tentu dapat mengganggu ketertiban umum dan memecah belah persatuan dan kesatuan negara. Banyak hasutan yang dapat membangkitkan kemarahan publik yang didasari oleh intoleransi dan paham radikal.
Intoleransi dan radikalisme berupa ujaran kebencian, misalnya, jika tidak segera dihentikan, pada akhirnya akan merusak stabilitas politik dan keamanan nasional. Akumulasi intoleransi dan radikalisme akan melahirkan paham terorisme, dan dalam kasus ekstrem akan memicu aksi teroris. Kondisi ini tentu meresahkan masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Berbagai langkah dilakukan pemerintah dari hulu hingga hilir untuk mencegah dan menanggulangi radikalisme dan intoleransi secara komprehensif. Penguatan criminal justice response terhadap isu kontraterorisme dengan pengesahan dan penerapan sejumlah peraturan, seperti UU Nomor 5 Tahun 2018, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020, dan Peraturan Presiden Nomor 7. Tak ketinggalan Rencana Aksi Nasional 2021 tentang pencegahan dan pemberantasan Ekstremisme berbasis kekerasan menuju Terorisme.
Keseimbangan Pendekatan
Kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi dan mencegah bahaya intoleransi, radikalisme, dan terorisme yaitu menjaga keseimbangan antara pendekatan keras dan lunak. Untuk pencegahan terorisme atau penerapan pendekatan lunak perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan jangka panjang melawan terorisme.
Salah satu upaya yang terus dilakukan pemerintah adalah kebijakan deradikalisasi. Upaya deradikalisasi pemerintah tidak cukup hanya menyasar mantan napi teroris, bahaya intoleransi, dan radikalisme terhadap persatuan kesatuan negara yang perlu disosialisasikan secara penuh kepada masyarakat. Deradikalisasi adalah cara tanpa kekerasan untuk mencegah pemikiran radikal dengan meningkatkan berbagai aspek, misalnya pemahaman agama, keadilan, dan ekonomi yang melibatkan masyarakat.
Jika masyarakat tidak ingin gerakan kontraradikalisme dan terorisme hanya menjadi retorika, mereka harus membekali sekolah dengan materi-materi intoleransi, anti-radikalisme, dan terorisme yang selama ini menjadi lahan subur kebencian.
Upaya deradikalisasi lebih menitikberatkan pada pendidikan siswa dan siswi pelajar karena secara psikologis tidak stabil (mencari jati diri) dan mudah terindoktrinasi menjadi fanatik. Sekolah mengajarkan untuk membentuk karakter dalam kondisi nilai-nilai yang baik dan intoleransi dalam dunia pendidikan, dan pendidikan harus menghilangkan karakter bangsa dari nilai-nilai intoleransi.
Di samping itu upaya mencegah dan merespons intoleransi dan radikalisme di Indonesia membutuhkan kerja sama dari semua pihak, kerjasama antar kementerian/lembaga, organisasi masyarakat (ormas) dan seluruh komponen masyarakat. Antisipasi terhadap intoleransi, radikalisme, dan terorisme harus dimulai sedini mungkin dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Saat ini masyarakat Indonesia dan dunia membutuhkan persatuan, persaudaraan dan kerjasama untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan tantangan global lainnya. Oleh karena itu, kebhinnekaan dan toleransi yang ada menjadi penting untuk dijaga agar tidak berkembang biak menjadi intoleransi dan radikalisme.
Leave a Review