Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Ikut Karnaval HUT RI Bolehkah Menjamak Shalat?

Ikut Karnaval HUT RI Bolehkah Menjamak Shalat?

Kabarumat.co – Karnaval kemerdekaan telah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari perayaan HUT RI. Setiap tahun, Pawai meriah ini menjadi ajang pergelaran budaya yang kaya, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang menyatu dalam satu semangat persatuan. Kostum-kostum unik, tarian tradisional, serta musik daerah berpadu menciptakan kaleidoskop budaya yang memukau.

Karnaval 17 Agustus bukan hanya sekadar perayaan, melainkan juga refleksi atas keberagaman Indonesia yang patut disyukuri. akan tetapi sangat disayangkan masih ada beberapa daerah yang menggelar karnaval tanpa memperhitungkan waktu shalat peserta, sehingga banyak Masyarakat yang memilih menjamak shalat. lantas bagaimanakah hukum menjamak shalat pada saat karnaval?

Shalat jamak adalah salah satu bentuk keringanan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya karena adanya alasan tertentu. Menjamak salat berarti menggabungkan dua salat dalam satu waktu, baik dilakukan pada waktu salat yang pertama maupun pada waktu salat yang kedua. dalam konteks karanaval, praktik yang sering dugunakan adalah menjamak shalat dhuhur dan ashar yang dilakukan pada waktu ashar (jamak ta’khir).

Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqh al-Sunnah” menjelaskan bahwa kita diperbolehkan menggabungkan sholat Dzuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya, baik dilakukan lebih awal (taqdim) maupun lebih lambat (ta’khir) dalam lima kondisi:

1. Saat ibadah haji di Arafah dan Muzdalifah, pra ulama sepakat bahwa pada aat wukuf di Arafah diperbolehkan menjamak taqdim antara dhuhur dan ashar, kemudian saat mabit di muzdalifah diperbolehkan menjamak ta’khir antara maghrib dan isya.

2. Saat bepergian (safar).

3. Saat hujan lebat.

4. Saat sakit atau ada halangan (udzur), Diperbolehkannya menjamak shalat bagi orang yang sakit, menurut ulama madzhab Hanbali, sebenarnya memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada alasan karena hujan lebat. Selain itu, mereka juga memasukkan keadaan-keadaan tertentu sebagai udzur, seperti orang yang khawatir akan keselamatan diri atau hartanya, wanita yang mengalami istihadzah, wanita yang menyusui dan khawatir pakaian terkena najis karena air kencing bayinya, orang yang sering mengeluarkan madzi atau mani, serta pekerja yang jika meninggalkan pekerjaannya dapat menimbulkan bahaya bagi dirinya atau pekerjaannya.

5. Saat ada keperluan mendesak, Jika menunda sholat akan menimbulkan masalah yang lebih besar, maka kita diperbolehkan untuk menggabungkannya.

Selanjutnya, mungkin ada beberapa orang yang tetap ingin tampil dalam kegiatan karnaval yang berpendapat bahwa melaksanakan shalat akan menjadi sulit. Mereka telah mengenakan aksesoris dan berdandan selama beberapa jam, kemudian waktu shalat tiba, yang mana pada dasarnya memerlukan wudhu dan bagi wanita harus mengenakan mukena. Biasanya, mereka akan merujuk pada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Dawud  sebagai pedoman untuk menjamak shalat:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فَقِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُخْرِجَ أُمَّتَهُ

Para ulama memberikan berbagai penafsiran terkait makna hadis di atas karena tidak adanya penjelasan rinci tentang apa yang dimaksud dengan uzur yang berlaku. Beberapa ulama berpendapat bahwa hadis ini berlaku bagi mereka yang menghadapi situasi sangat penting, yang jika diabaikan dapat menimbulkan bahaya, seperti seorang dokter yang sedang melakukan operasi panjang yang membuatnya tidak bisa melaksanakan shalat pada waktunya.

Terdapat dua syarat yang memungkinkan dibolehkannya menjamak shalat karena tidak bisa melaksanakannya tepat waktu:

1. Situasi tersebut terjadi secara tiba-tiba dan di luar perencanaan atau perkiraan. Misalnya, seperti saat perang Khandaq (Ahzab) ketika serangan musuh menyebabkan Rasulullah tidak sempat melaksanakan shalat Dzuhur, Asar, Maghrib, dan Isya’ pada waktunya, sehingga beliau mengerjakan shalat tersebut setelah lewat tengah malam.

2. Kondisi yang sangat mendesak sehingga benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat pada waktunya, seperti bencana tsunami, gempa bumi yang berkepanjangan, atau dokter yang sedang melaksanakan operasi.
 

Sedangkan Imam Nawawi dalam Majmu’ telah menjelakan tentang pndangan 4 madzhab tetang diperbolehkannya menjamak shalat:

في مذاهبهم في الجمع في الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مصر ولا مرض مذهبنا ومذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والجمهور أنه لا يجوز 

Artinya: “Menjamak shalat di rumah tidak dalam kondisi takut, sakit, hujan, atau bepergian hukumnya adalah tidak diperbolehkan oleh madzhab Syafi’i, Abi Hanifah, Malik, Ahmad, dan mayoritas para Ulama.”

Kemudian ada pendapat yang mengemukakan boleh menjamak shalat dirumah dengan syarat adanya keperluan dan tidak menjadikannya sebuah kebiasaan. Imam an-Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin mengatakan: 

وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا. وَاللَّهُ أَعْلَم 

Artinya, “Imam al-Khattabi menceritakan dari Imam Qaffal al-Kabir as-Syasyi dari Abi Ishaq al-Marwazi tentang kebolehan menjamak shalat saat tidak bepergian karena adanya hajat dengan tanpa mensyaratkan keadaan khauf, hujan dan sakit. Ibnu al-Mundzir dari ashab Syafi’i juga berpendapat demikian.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr:tt] juz I, halaman 410). 

Adapun yang dimaksud kebolehan dalam hal ini adalah  dikarenakan keadaan yang amat sangat sibuknya dan jamak ini tidak menjadi kebiasaan. Misalnya jamak shalat bagi pengantin baru yang sedang  menjalani walimatul arusy dan selalu menerima tamu. Begitu diterangkan dalam Syarah Muslim lin Nawawi.

وذهب جماعة من الأئمة الى جواز الجمع فى الحاضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك وحكاه الخطابي عن القفال والشاشى الكبير من أصحاب الشافعى عن أبى إسحاق المروزى عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر

Artinya: Sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini pendapat Ibnu Sirrin, Asyhab pengikut Imam Malik, al-Qaffal. As-Syasyi al-Kabir dari kalangan as-Syafi’I dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ahlul hadits. Sebagaimana dipilih oleh Ibnu Mundzir.

Kesibukan Dalam beberapa situasi, kondisi tersebut dapat dianggap sebagai masyaqqah (kesulitan) dan dapat diberikan rukhshah (kemudahan). Kategori kondisi yang mendapatkan rukhshah antara lain: (1) Bepergian (al-safar), (2) Sakit (al-maradh), (3) Terpaksa (al-ikrah), (4) Lupa (al-nisyan), (5) Ketidaktahuan hukum (al-jahalah), (6) Ketidakmampuan, dan (7) Kesulitan umum, seperti kesulitan menghindari najis saat banjir.

Karnaval adalah kegiatan yang dilakukan dengan perasaan gembira, menghibur, dan tanpa paksaan. Dengan kata lain, tingkat kesulitan dalam melaksanakan shalat bagi setiap orang yang ikut karnaval bisa berbeda-beda, atau bahkan mungkin tidak ada kesulitan sama sekali.

Oleh karena itu, karnaval tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mengikat atau memaksa pesertanya. Dalam pandangan ushul fiqh, karnaval tidak bisa dijadikan ‘illat (alasan) atau udzur syar’i yang membolehkan menjamak shalat. Karnaval tidak termasuk dalam kategori kondisi yang mendapatkan rukhshah, sehingga tidak dapat dianggap sebagai masyaqqah. 

Meskipun karnaval adalah kegiatan hiburan masyarakat yang terkadang memakan waktu lama dan bisa menyebabkan para peserta melewatkan waktu shalat, tidak ada penjelasan rinci yang memperbolehkan menjamak shalat karena karnaval. Oleh karena itu, meskipun karnaval hukumnya mubah, menjamak shalat karena karnaval tetap tidak diperbolehkan, terutama jika kegiatan tersebut mengandung unsur kemaksiatan.

Referensi:

An-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarof. Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab. Jeddah: Maktabah al-Irsyad, n.d.

An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Bin Syaraf. Raudhatut Thalibin. Beirut: Darul Fikr, n.d.

Siddiq, Muhammad Fajar. “Hukum Menjamak Shalat Saat Tampil Pada Karnaval.” AHKAM 10, no. 02 (2022).

Advertisements