Ada seorang teman hamil sebelum menikah. Lalu orang tuanya meminta dia menikahi, sebagai bagian tanggungjawab. Bagaimana hukumnya ini? Wassalam.
Jawab:
Hidayatullah.com | PARA ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama: Haram hukumnya menikah dengan perempuan yang hamil karena perzinaan, baik yang menikahi adalah orang yang berzina dengannya, maupun orang yang tidak berzina dengannya Ini adalah pendapat Madzhab Maliki dan Madzhab Hambali. (Ibnu Qudamah, al-Mughni : 6/ 601-604, Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa : 32 / 109-110).
Mereka berdalil dengan hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا تُوطَأُ الْحُبْلَى حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali.“ (HR. Abu Daud no : 2159, Ahmad no : 11911, ad-Darimi, no : 2350 , al-Hakim no : 2790, al-Baihaqi, no : 11105 , Hadist ini dihasankan oleh Ibnu ‘Abdul al-Barr di dalam at-Tamhid : 3/143, dan Ibnu Hajar di dalam Talkhis al-Habir : 1/ 275 ).
Hal ini dikuatkan dengan Hadits Abu Ad-Darda` radhiyallahu ‘anhu,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ
“Dari Nabi ﷺ, bahwa beliau melewati seorang wanita (tawanan) yang hamil berada di depan tenda besar, lantas beliau bersabda: “Sepertinya tuannya ingin menggaulinya.” Mereka (para sahabat) menjawab; Sepertinya begitu. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh saya berharap bisa melaknat (tuannya), laknat yang bisa membawanya sampai ke kuburnya, bagaimana ia mewarisi (anak dalam kandungannya) padahal ia tidak berhak atas anak tersebut? Bagaimana ia menjadikan (anak tersebut) sebagai pelayannya (budaknya) padahal ia tidak halal baginya?” (HR. Muslim).
Begitu juga, mereka berdalil dengan hadist yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyib radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya seseorang menikah dengan perempuan, ketika digaulinya ternyata perempuan tersebut sudah hamil, kemudian hal itu dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau langsung menceraikan keduanya.“
Pendapat Kedua : Menikah dengan perempuan yang hamil dari perzinaan hukumnya boleh, baik yang menikahi adalah orang yang berzina dengannya, maupun orang yang tidak berzina dengannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, yaitu pendapat Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan. ( al-Marghinani, al- Hidayah : 1/ 194, al-Kasani, Bada’i As-Shonai’: 2/269) dan pendapat Madzhab Syafi’I. ( Yahya al-Imrani, al-Bayan : 9/ 270-271, Al-Khatib As-Syarbini, Mughni al-Muhtaj : 3/ 187, Mujib Muthi’i, Takmilah al- Majmu’ : 16/ 220-221).
Mereka beralasan bahwa air mani hasil perzinaan itu tidak ada harganya dalam pandangan Islam, buktinya bahwa nasabnya tidak diakui. Ini sesuai dengan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَ
“Anak (hasil perzinahan) dinisbatkan kepada pemilik kasur (laki-laki yang mempunyai ikatan pernikahan dengan perempuan yang melahirkan anak). Adapun laki-laki yang berzina dihalangi (untuk menisbatkan anak tersebut kepadanya).” (HR. Bukhari no: 2533)
Oleh karenanya, berdasarkan hadist di atas menurut Madzhab Syafi’i, orang yang berzina itu tidak mempunyai ‘iddah sama sekali, sehingga seorang laki-laki boleh menikah dengannya dan menggaulinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan.
Adapun menurut Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan, jika yang menikahi adalah laki-laki yang tidak berzina dengan perempuan tersebut, maka dia tidak boleh menggauli perempuan tersebut sampai dia melahirkan.
Alasan mereka adalah hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu di atas bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا تُوطَأُ الْحُبْلَى حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali. “
Begitu juga hadist Ruwaifi’ bin ats-Tsabit al-Anshari di atas bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuangkan airnya di dalam tanaman orang lain dan tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menggauli seorang tawanan perempuan sampai dia membersihkan rahimnya.” (HR. Abu Daud).
Namun jika yang menikahi perempuan tersebut adalah laki-laki yang berzina dengannya (yaitu yang menghamilinya), maka suaminya boleh menggauli istrinya tersebut walaupun dalam keadaan hamil. Ini juga pendapat Abu Yusuf dari madzhab Hanafi.
Alasannya bahwa yang ada di dalam rahim perempuan tersebut adalah air maninya sendiri dan merupakan tanamannya sendiri sehingga dia boleh menggaulinya walaupun dalam keadaan hamil, dan hal ini tidak bertentangan dengan hadist yang melarang untuk menuangkan air mani dalam tanaman orang lain, sebagaimana yang disebut di atas.
Ringkasnya, bahwa jika ada seorang laki-laki dan perempuan berzina kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah ketika diketahui bahwa perempuan tersebut hamil dari perzinaan tersebut, maka status pernikahannya tidak sah menurut madzhab Maliki dan Hambali, dan sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i. Wallahu A’lam.*/ Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA (PUSKAFI).
Leave a Review