Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Biasakan Budaya Sadar untuk Tangkal Radikalisme

Biasakan Budaya Sadar untuk Tangkal Radikalisme

Bandung – Tumpulnya rasa kesadaran keberagamaan dalam masyarakat yang majemuk menjadi salah satu faktor penyebaran faham radikalisme dan intoleransi. Padahal Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku, adat istiadat, budaya dan agama.

Hal tersebut menuntut adanya sikap toleransi dimana menunjukkan keterbukaan untuk menerima, mendengar dan menghormati orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan dengan kita.

Mantan Kapolda Jabar, Irjen Pol. (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, MPKN, mengungkapkan “Faham Negara Islam Indonesia atau NII yang terjadi di Garut, Jawa Barat dianggap faham yang berbahaya. Fenomena gerakan radikalisme dan intoleransi ini terjadi lagi di Indonesia melalui pembaiat warga Garut untuk masuk aliran sesat Negara Islam Indonesia (NII).”

Abah Anton Charliyan, sapaan akrab Jenderal Bintang dua yang juga pernah menduduki Jabatan penting di Mabes Polri sebagai Kadiv Humas menegaskan, hal ini berdasarkan pengakuan sejumlah anak yang mengaku dibaiat NII, salah satu doktrin radikalisme yang diberikan adalah menganggap pemerintah RI thogut.

“Perlu kita sadari bersama bahwa dalam budaya sadar konsitusi, hal itu tidak benar, sangat tidak benar, bertentangan dengan proklamasi kemerdekaan 45.” Tegas Purnawirawan Jenderal Bintang Dua Polri kepada mediaandalas.com Sabtu (16/01/22).

“Jangan ada dalam pikiran kita tentang berdirinya negara berdasarkan apapun juga selain Negara Republik Indonesia. Indonesia adalah negara kesatuan, oleh sebab itu, tidak boleh negara di dalam Indonesia.” Tandasnya.

Faham Negara Islam Indonesia (NII) yang terjadi di Garut, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menyebarkan faham NII melalui media pengajian yang mengganggap Pancasila adalah thogut perlu di berantas agar keamanan, ketentraman serta kerukunan umat beragama di Garut bisa terjaga.

Abah Anton Charliyan menekankan Pemerintah Daerah Garut diharapkan segera mengambil langkah tegas bersama pihak kepolisian untuk melakukan penelitian penyelidikan terhadap mentor (pembaiat) bagian dari satu sistem NII.

“Yang paling utama Pemerintah tak boleh mentolelir sedikit pun terhadap faham-faham radikalisme yang di luar Pancasila dan UUD 1945. Bangsa Indonesia harus bisa saling menghormati perbedaan yang ada serta tidak bisa memaksakan semua orang untuk memiliki pemahaman dan keyakinan yang sama.” Pintanya.

Bahwa para pendiri bangsa telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Kesepakatan itu telah terjadi dari berbagai kalangan, baik Islam, nasionalis dan agama lain.

“Pada masyarakat, kita sudah sepakat buat kita itu Negara Republik Indonesia. Dulu para founding fathers kita sudah sepakat dari berbagai kelompok, baik tokoh-tokoh Islam, nasionalis, dari tokoh agama lain sepakat bahwa negara kita ini Negara Republik Indonesia.” tutur Abah Anton.

Islam melarang umatnya untuk mencela apalagi menistakan agama lain, termasuk melakukan tindakan-tindakan yang menjurus terhadap penghinaan terhadap agama lain.

Bahkan Islam pun mengajarkan dakwah dengan cara yang baik (ma’ruf), begitu juga mencegah kemungkaran harus dengan cara yang baik, tidak boleh dengan cara yang mungkar.

“Kondisi yang berhubungan di Garut menjadi pembelajaran di Indonesia, jangan sampai nanti suatu proses pengajian disisipi oleh hal yang berhubungan dengan fanatisme di luar Pancasila adalah thogut.” Tandas Abah Anton.

“Untuk korban yang pembaiatan faham NII agar segera dilakukan perlindungan, pertama, luruskan ke ajaran yang benar, ke dua dilakukan pendekatan sosial seperti anak – anak yang tadinya putus sekolah agat disekolahkan lagi dengan melibatkan banyak pihak sebagai bapak asuh.” Saran Abah Anton.

Menurut al-Raghib al-Ashfihaniy dalam Mufradat Alquran, thogut adalah ungkapan setiap sesuatu yang melampaui batas dan setiap sesuatu yang disembah dari selain Allah. Namun, menurut pengamat terorisme Umar Abduh, mereka yang percaya dengan NII, ISIS atau faham radikal lainnya punya alasan tersendiri kenapa polisi dianggap sebagai thogut.

Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin mengungkap, realitas saat ini menunjukkan adanya sebagian kecil umat Islam yang berteriak lantang menyatakan pemerintahan Republik Indonesia termasuk aparat keamanan, Polisi dan TNI adalah thogut.

Oleh karena itu mereka menganggap pemerintahan yang berdasarkan demokrasi Pancasila, UUD 1945 dan UU-nya buatan manusia harus dibenci, dimusuhi, ditumbangkan dan diganti dengan sistem pemerintahan Islami atau khilafah.

Tidak mengherankan jika dalam pergaulan mereka menjadi orang-orang yang eksklusif, menutup diri, dan tidak sanggup menghargai sesama manusia. Maka mereka begitu bernafsu dan tergesa-gesa untuk menstigma muslim lain dengan stempel kafir, musyrik, munafik, sesat-menyesatkan, dan atau ahli bid’ah.

Kata thogut disebut berulang sebanyak delapan kali dalam Alquran, yakni dalam Qs. al-Baqarah: 256, 257; Qs. al-Nisa’: 51, 60, 76; Qs. al-Maidah: 60; Qs. al-Nahl: 36; dan Qs. al-Zumar: 17. Menurut al-Raghib al-Ashfihaniy dalam Mufradat Alquran bahwa thogut adalah ungkapan setiap sesuatu yang melampaui batas dan setiap sesuatu yang disembah dari selain Allah. Terkait dengan ini maka tukang sihir, dukun peramal, syetan pembangkang, jin, dan yang memalingkan dari jalan kebajikan dapat disebut sebagai thaghut.

Kelompok-kelompok tersebut memandang bahwa semua pihak di luar diri dan cita-citanya tiada lain adalah musuh. Mungkin hubungan mereka dengan orang berbeda berdasarkan keyakinan akan perlunya permusuhan, bukan atas dasar pentingnya perdamaian, persamaan, persaudaraan, dan persatuan

Dalam penegasannya Abah Anton Charliyan menuturkan, “Pemahaman sikap anti radikalisme dan sikap toleransi sangat penting di sadari sebagai bentuk pengejawantahan Pancasila dalam budaya sadat konstitusi agar masyarakat tidak melakukan tindakan yang menganggu kerumunan umat beragama di Indonesia.”

“Dengan demikian perlu perhatian dan tindakan tegas Negara dalam hal ini pemerintah RI termasuk aparat keamanan dalam hal ini Polri, tidak boleh disebut thogut karena berbagai aturan dan hukum-hukumnya tidak dimaksudkan untuk mengingkari substansi dan nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam.” Cetus Purnawirawan Jenderal Bintang Dua yang malang melintang di dunia reserse ini.

Ajaran Islam yang sumber utamanya adalah Alquran, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas juga memberikan kewenangan kepada ulama untuk membuat dan memutuskan hukum sesuai tuntutan situasi, kondisi, dan tempatnya demi untuk mewujudkan kemashlahatan bersama dan terhindarkan setiap kemafsadatan.

“Kiranya tidaklah tepat dan tidak dapat dibenarkan sedikitpun menurut agama dan akal sehat memberikan label thogut kepada pemerintahan Republik Indonesia yang sah.” Ujar Abah Anton.

“Penyebutan istilah thogut kepada pemerintahan yang sah, merupakan ujaran kebencian yang merongrong kewibawaan pemerintah dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.” Paparnya.

“Oleh karena itu setiap pengucapan nya harus terus diwaspadai dan diawasi oleh setiap warga negara yang masih mencintai keutuhan bangsa dan tanah airnya.” Pungkas Abah Anton Charliyan.

Advertisements