Pada tulisan sebelumnya, saya mencoba untuk melihat fenomena populisme Islam, di mana salah satu yang saya sorot tentang kebangkitan populisme Islam di Indonesia tyang idak akan mengalahkan demokrasi. Argumen ini mengacu kepada perkembangan perkembangan wacana keislaman yang bercorak keindonesiaan dengan melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia.
Islam wasathiyah menjadi prinsip dasar ormas-ormas Islam yang sudah berdiri sejak 1 abad lalu. Dalam bidang dakwah, pengembangan pendidikan, lembaga sosial, serta kedekatan dengan masyarakat, menjadi tulang punggung dari perkembangan moderasi Islam di Indonesia yang masih tetap eksis sampai hari ini. Tidak hanya itu, sampai hari ini, masyarakat memiliki kesetiaan yang sangat tinggi terhadap ormas-ormas Isla. Masyarakat di akar rumput, menjadi pilar motor penggerak dari eksistensi ormas-ormas di Indonesia.
Masalah populisme Islam, pasca reformasi perkembangan media elektoral banyak bermunculan. Kondisi ini menciptakan keragaman pilihan bagi masyarakat. Di samping itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik adalah agenda yang paling banyak diusung sehingga banyak bermunculan keragaman ekspresi, termasuk yang berkaitan dengan ajaran Islam. Pada masa itu, terdapat empat partai yang memiliki simbol Islam, di antaranya: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sejalan dengan keberadaan partai tersebut, cendekiawan Muslim yang biasa disapa Cak Nur, pernah mengkritik partai politik Islam yang mengusung konsep keilahian dalam bentuk partai. Menurutnya, partai politik yang mengeksploitasi nama Islam dengan menyamakan agenda manusia dengan kehendak Tuhan adalah penyembah berhala. Selain itu, dia juga menegaskan bahwa Islam tidak dapat direduksi menjadi ideologi politik belaka. Keberadaan partai Islam ini direduksi oleh masyarakat sebagai representasi oleh ajaran Islam. kekalahan suatu partai politik, bisa dimaknai sebagai kekalahan Islam, sehingga bisa jadi, para pengikut dari sebuah partai Islam akan melakukan apa saja untuk menang dan berakibat pada pandangan yang salah dan kebencian terhadap Islam. Pandangan Cak Nur, bisa kita jadikan sebagai dasar bahwa, keberadaan partai Islam sedikit banyak akan memberikan pemahaman kepada sebagian masyarakat tentang representasi ajaran Islam.
Populisme Islam di Indonesia
Vedi R. Hadiz dalam tulisannya menyebut bahwa, populisme dalam bentuknya, memiliki basis sosial yang sangat kuat dan memiliki beragam massa untuk mendukung gerakan yang diusung. Namun, adapula pandangan politik demokratis dan politik Islam kerapkali berpotongan karena realitasnya, banyak organisasi Islam menjadi bergantung pada mekanisme politik elektoral demi keberlangsungan hidupnya sendiri.
Namun, apakah populisme Islam akan bangkit di tahun pemilu ini? dalam tulisannya Azumardi Azra, populisme Islam sulit memiliki ruang di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti: arus utama perkembangan organisasi Islam yang mengusung Islam wasathiyah. Meskipun ada kelompok populisme Islam yang terus melakukan konfrontasi dan propaganda untuk mencapai tujuan, bahkan hadir sebagai bagian dari dinamika demokrasi di Indonesia dengan menjelma sebagai penggerak demokrasi, terdapat ketegangan dan kontestasi terbuka saling sikut antara gerakan populisme yang satu dengan yang lain.
Perkembangan populisme Islam di Indonesia secara tidak resmi bekerja sama dengan parpol. Artinya parpol yang bekerja sama dengan gerakan populisme-pun, memiliki tujuan dan kepentingan tertentu (simpati dan tambahan suara) sehingga apabila hal itu tidak berakhir, maka hubungannya-pun juga bisa dipastikan berakhir. Atas dasar argumen ini, dukungan parpol tertentu pada geraka populisme Islam bisa dikatakan tidak ‘genuine’.
Gerakan populisme Islam tidak menjelma sebagai partai politik yang secara terang-terangan bersikap tegas dalam melakukan gerakan. Sehingga, sikap yang tampil justru menjadi abu-abu dan tidak terlihat secara frontal bahwa kehadirannya, memiliki tujuan tertentu. Mereka masih menumpang pada kelompok-kelompok rezim untuk merebut kekuasaan dengan sangat soft. Pada pemilu tahun 2024 mendatang, gerakan populisme Islam belum bisa dikatakan bangkit dengan berbagai argumen di atas. Namun, ini bukan berarti kita tenang-tenang saja dalam menanggapi kehadiran mereka yang terus memiliki strategi yang cukup sustainable.
Akan tetapi, sekali lagi menurut pandangan Azumardi Azra, pada politik 2019 silam, kita tidak perlu khawatir (exaggerated fear) dengan populisme Islam; dapat dipandang sebagai gejala religio-politik biasa. Pernyataan tersebut kiranya bisa disamakan dengan Pemilu tahun 2024 yang akan datang. Wallahu A’lam.
Leave a Review