Kabarumat.co – Tradisi musik kian berkembang dan bahkan tidak lenyap dari perkembangan zaman. Musik menjadi sesuatu yang sangat menghibur bahkan membangkitkan semangat seseorang, tak terkecuali dalam melantunkan shalawat. Saat ini musik tidak hanya dipakai untuk menyanyikan tembang-tembang lagu berbagai bahasa. Tapi juga dimainkan beriringan dengan pembacaan shalawat.
Sekarang banyak muncul grup-grup, gambus-gambus yang mensyiarkan shalawat disertai alat musik. Bukan hanya karena nada dan ritme iramanya yang enak didengar, pembacaan shalawat disertai dengan musik juga membuat pendengar dan pembacanya sendiri lebih meresapi dan menikmati lantunan shalawat. Lantas, bagaimana hukum melantunkan shalawat disertai musik?
Pada dasarnya, membaca shalawat adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam. Membaca shalawat merupakan bentuk rasa cinta kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Berkat kemuliaan Nabi saw dan keistimewaan shalawat, orang yang membaca shalawat pasti diterima oleh Allah swt dalam kondisi apapun. Syekh Abu Bakar Syatha’ Dimyathi mengatakan:
وأن جميع الأعمال منها المقبول ومنها المردود إلا الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فإنها مقطوع بقبولها إكراما له صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Dan bahwa semua amal ada yang diterima ada yang ditolak, kecuali shalawat. Maka shalawat pasti diterima karena memuliakan Nabi saw”, (Lihat kitab Kifayatul Atqiya’, [ al-Haramain: tanpa tahun], halaman 48)
Terkait melantunkan shalawat dengan berbagai irama, ulama asal madura KH. Thaifur Ali Wafa dalam kitab Bulghatut Thullab (h.28) mengemukakan bahwa membaca shalawat atau maulid nabi dengan irama dan nada hukumnya boleh.
Lalu bagaimana jika disertai dengan alat musik seperti sekarang?. Permasalahan alat musik adalah persoalan khilafiyah dalam fiqih dan bukan persoalan pokok akidah. Sebagian ulama mengharamkan alat musik tertentu seperti alat musik petik (gitar) dan tiup (seruling) berdasarkan teks dalam hadits. Sebagian yang lain, seperti al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki dan yang lain cenderung memperbolehkan alat musik.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin berpandangan bahwa pada dasarnya bermain musik dan nyanyian hukumnya boleh-boleh saja. Menurutnya, tidak ada satupun nash maupun argumentasi qiyas yang mengatakan musik haram.
ولا يدل على تحريم السماع نص ولا قياس
Jika tidak ada nash dan argumentasi qiyas pada nash dalam persoalan ini, maka batal pendapat yang mengharamkan musik dan nyanyian. Dan mendengarkan musik dan nyanyian tetap sebagai aktivitas tidak bernilai dosa seperti halnya aktivitas mubah lainnya.
Dan tidak ada satupun nash dan qiyas yang mengarah pada keharaman aktivitas mendengar (musik, nyanyian, atau lagu)” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2019], juz II, halaman 333)
Lebih lanjut, kalaupun ada alat musik yang diharamkan dalam nash hadits sejatinya bukan karena alat musik itu sendiri, melainkan karena faktor eksternal (a’ridhi) yang timbul dari alat musik tersebut. Diantara faktor eksternal itu adalah alat musik tersebut di zaman dulu identik dengan musik peminum miras dan waria.
العارض الثاني في الآلة بأن تكون من شعار أهل الشرف أو المخنثين وهي المزامير والأوتار وطبل الكوبة فهذه ثلاثة أنواع ممنوعة وما عدا ذلك يبقى على أصل الإباحة
Artinya: “Faktor eksternal yang kedua terletak pada alat musik dengan menjadi syiar orang-orang buruk atau waria, yaitu alat musik seruling, gitar, gendang. Tiga alat ini dilarang. Adapun selain itu tetap pada asal hukum mubah” (Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah: 2019], juz II, halaman 347 )
Dari pandangan al-Ghazali ini meniscayakan kemungkinan ada perubahan status hukum dalam musik bila faktor eksternalnya berubah. Sebagaimana kaidah fiqih a-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa’adaman (hukum berputar bersama illat, ada dan tidaknya). Tentu, jika faktor keharaman dalam musik itu hilang, maka hukum haram dalam musik gugur dengan sendirinya.
Pandangan ini relevan digunakan mengingat pada masa sekarang seni musik seperti gitar dan sejenisnya tidak lagi identik dengan musik para pemabuk dan orang berperilaku jahat, justru sekarang musik banyak dipakai sebagai media dakwah mengiringi nyanyian yang bernuansa Islami seperti shalawat. karena itu, membaca shalawat dengan disertai seni musik tidaklah masalah.
Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa mengikutsertakan seni musik dan nyanyian pada momen-momen kebahagiaan hukumnya boleh dengan tujuan menambah gairah dan menampakkan kegembiraan:
الخامس: السماع فى أوقات السرور تأكيدا للسرور وتهييجا له، وهو مباح إن كان ذلك السرور مباحا كالغناء فى أيام العيد وفى العرس وفى قدوم الغائب وفى وقت الوليمة والعقيقة وعند ولادة المولود وعند ختانه وعند حفظه القرآن العزيز، وكل ذلك مباح لأجل إظهار السرور به
Artinya: “Kelima: Aktivitas mendengar (musik, nyanyian, dan lagu) pada momen-momen kebahagiaan sebagai penguat kebahagiaan dan menambah gairah, hukumnya mubah jika kebahagiaan tersebut mubah, seperti bernyanyi pada hari-hari raya, pernikahan, datangnya seseorang, walimah ursy, aqiqah, dan ketika lahiran, khitan, dan ketika berhasil menghafal Al-Qur’an yang mulia. Semua itu hukumnya mubah karena untuk menampakkan kegembiraan”. (Lihat Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2019], juz II, halaman 341 )
Kesimpulan Hukum Membaca lantunan shalawat sangat dianjurkan dalam agama Islam dan pasti diterima oleh Allah swt. Adapun persoalan memakai seni alat musik, terdapat khilafiyah di antara ulama. Sebagian ulama cenderung memperbolehkan seni musik selama di dalamnya tidak mengandung unsur keharaman. Wallahu A’lam.
Bushiri (Pengajar di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Jawa Timur).
Leave a Review