Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Mewaspadai Bahaya Politisasi Agama bagi Kemajemukan Bangsa

Mewaspadai Bahaya Politisasi Agama bagi Kemajemukan Bangsa

Kebinekaan merupakan takdir NKRI. Hanya saja, kompleksitas keberagaman yang mendiami jagat Nusantara sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab demi tujuan menguntungkan mereka sendiri. Politisasi agama, kita menyebutnya.

Parahnya, kepentingan bangsa seringkali diabaikan. Kemajemukan bangsa yang seharusnya harus dijaga agar tetap harmonis, justru dengan sengaja dipecah-belah untuk mendulang suara bagi mereka sendiri.

Dalam konteks ini, identitas keagamaanlah yang biasanya sering sekali dimanfaatkan sebagai komoditas politik untuk saling serang dan memecah-belah dukungan massa. Agama, dengan sengaja dipolitisasi untuk mendapatkan suara dukungan dan memenangkan kontestasi demokrasi.

Pemakaian agama sebagai komoditas politik atau politisasi agama, sesungguhnya mereduksi misi utama dalam setiap kontestasi demokrasi, yaitu menemukan pemimpin politik (baca: politisi) berkualitas sebagai representasi warga negara untuk memimpin bangsa. Namun, politisasi agama selalu digemari karena menjadi cara paling praktis, murah, dan gampang untuk merebut emosi dan simpati rakyat.

Seorang politisi tidak perlu membuktikan menjadi tokoh yang hebat dalam menyelesaikan permasalahan kebangsaan. Cukup bisa mencitrakan diri sebagai pemeluk agama taat dan merebut hati tokoh agama yang siap menjajakan ayat dan fatwa untuk kepentingan politik, niscaya dukungan pasti akan didapatkan dengan mudah.

Di Indonesia, sebagai negara dengan tingkat ketaatan terhadap agama serta relijiusitas tinggi, penggunaan narasi politisasi agama hampir selalu dilakukan oleh politisi medioker. Dalam Pilpres 2019 misalnya, pelabelan Partai Allah dan Partai Setan ialah salah satu wujud politisasi agama.

Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan politisasi untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.

Di Eropa, penambahan suara atau kemenangan partai sayap kanan dalam pemilu juga tidak terlepas dari politisasi agama. Partai-partai sayap kanan itu antara lain: National Front Party di Perancis dengan tokohnya Marine Le Pen, The Party for Freedom di Belanda dengan tokohnya Geert Wilders, Danish People’s Party dengan tokohnya Pia Kjarsgaard, dan Austrian People’s Party dengan tokohnya Sebastian Kurz.

Agama sebagai Landasan Etik Berpolitik

Sesungguhnya, agama harus menjadi kontrol dalam berpolitik agar politik tetap dalam koridor etik. Bryan S. Turner menyebutkan bahwa agama memiliki fungsi-fungsi antara lain: (1) sebagai kontrol sosial (2) sebagai acuan legitimasi politik, dan (3) sebagai perekat sosial (solidaritas sosial). Maka itu, penggunaan agama sebagai narasi politik untuk mendulang dukungan massa merupakan salah kaprah cara berpolitik.

Sungguh. Dampak politisasi agama sangat bahaya bagi persatuan dan kebinekaan NKRI. Ini karena umumnya politisasi agama hanya bertujuan mengadu domba dukungan massa sehingga pada akhirnya lebih banyak massa yang memutuskan untuk mendukung oknum politisi yang menggunakan narasi tersebut.

Ini, tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menghendaki Bhinneka Tunggal Ika. Dan, jika narasi politisasi agama terus ada di Nusantara, niscaya keutuhan NKRI akan semakin berada di ujung tanduk kehancuran.

Kita, tentu harus berhati-hati serta mewaspadai segala macam bentuk narasi politisasi agama yang berpotensi memecah-belah kebinekaan NKRI. Masykuri Abdullah (2018) mengatakan, politisasi agama itu dilakukan dengan: (1) berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional.

Dengan demikian, penggunaan narasi agama dalam politik selama digunakan secara santun, tidak mengadu domba atau memecah-belah dukungan massa tidak dapat disebut politisasi agama. Begitu juga, penggunaan narasi agama yang bukan untuk menyerang politisi lain sehingga keterdukungan politisi lainnya meningkat. Artinya, agama hanya dijadikan sebagai landasan nilai-nilai moral-etik dalam berpolitik kenegaraan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI agar selalu utuh dan terwujud segala cita-cita kemerdekaan.

Jadi, pada dasarnya, negara kita, yang berlandaskan Pancasila, di mana mengakui keberadaan agama sebagai landasan nilai moral-etik kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak akan pernah bisa memisahkan peran agama dalam politik. Hanya saja, sejauhmanakah narasi agama digunakan dalam politik, itulah yang harus diwaspadai. Ketika digunakan untuk kepentingan politik praktis, politisasi SARA, dan ujaran kebencian, niscaya jangan sampai kita ikut terhasut.

Keutuhan dan kebinekaan bangsa jauh lebih penting dari kepentingan politik praktis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Lebih penting menjaga NKRI tetap bersatu, daripada mempolitisasi agama yang justru dapat merendahkan nilai agama itu sendiri. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Advertisements