Bagaimana jadinya ketika membaca sebuah buku tentang cinta berbentuk syarah puisi? Barangkali kita akan ingat dengan sya’ir-syair yang ditulis oleh Jalaluddin rumi, atau Rabiatul adawiyah. Sebagai pembaca pasti akan menemukan kenikmatan dalam membaca sebab ada tafsir yang bisa dipahami dari sya’ir-syair yang disampaikan. Seperti itulah Haidar Bagir menulis buku ini dengan penuh cinta dan semangat menyebarkan kebahagiaan kepada pembaca. Jika biasanya kita membaca puisi dengan menafsirkan sendiri apa yang disampaikan oleh penulis, maka tidak dengan buku ini. Pembaca akan mendapatkan pemahaman yang cukup luas dengan sya’ir yang disampaikan.
Buku yang terdiri dari 60 sya’ir ini, setidaknya ada beberapa hal yang dirangkum oleh penulis tentang cinta, diantaranya:
Allah Pemilik Cinta, segala ketinggian atas nama cinta
Allah adalah Maha Cinta. Begitulah esensi dari sya’ir yang disampaikan oleh penulis. Rahman-rahimnya Allah sangat luar biasa dan begitu luas untuk kita renungi. Hal ini pula yang mendasari kita sebagai makhluk untuk senantiasa berusaha menyatukan diri dengan Allah Sang Khaliq yang sudah melimpahkan segala hal kepada kita semua.
Semua keberadaan alam dan seluruh isinya ini merupakan tanda-tanda (teofani) Allah. Bahkan tajalli (manifestasi, penzahiran) Allah Swt. Hal ini disebut dalam Al-Quran: “Kan Kutunjukkan tanda-tanda-Ku di ufuk dan dalam dirimu”(QS. Al-Fusshilat). Inilah yang kemudian menjadikan kita sebagai manusia untuk selalu sadar diri akan kekuasaan Allah.
Kalau bukan karena kecintaan, tak akan ada ciptaan. Sampai-sampai Imam Ja’far al-Shadiq mengatakan:” Agama itu cinta. Cinta itu agama. Kalau bukan cinta, agama itu apa?(hlm.21). kalimat inilah yang bisa menjadi perenungan kita sebagai makhluk ketika dihadapkan dengan berbagai kegelisahan jiwa agar senantiasa mengingat bahwa Allah adalah Esa, Maha Kuasa dengan segala kekuatan yang dimiliki-Nya. Sehingga cacatlah kita sebagai manusia jika masih meragukan tentang kekuasaan Allah.
Cinta Rosulullah
Syahadat yang selalu kita kumandangkan sejauh ini, merupakan esensi dari keberagamaan yang kita jalankan sebagai umat Islam. Ucapan syahadat tidak lain adalah bentuk penyatuan kita sebagai manusia. Maka menjadi aspek penting dalam hidup kita untuk mencintai Rosulullah sebagai kekasih Allah yang memiliki tempat begitu istimewa di sisiNya.
Rosulullah bukan hanya cipaaan-Nya yang pertama, melainkan ciptaan Allah paling sempurna, paling indah, dan paling paripurna (al-insan al-kamil). Dia paling sempurna dalam menyerap keindahan nama-nama Allah dalam dirinya. (hlm.37).
Melalui fakta demikian, masihkah kita sebagai makhluk yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk hidup memungkiri keduanya. Sesungguhnya berikrar untuk meyakini Allah, dan Rosulullah adalah dua hal yang tidak dipisahkan.
Maka seyogyanya sebagai manusia yang biasa saja, kecintaan kepada Rosulullah menjadi suatu obat yang tidak bisa dipalingkan dalam kehidupan. Apalagi sejauh ini, Rosulullah tidak hanya sebagai kekasih, melainkan panutan kita sebagai umat Islam yang sampai hari ini berupaya untuk mendapatkan syafaat Rosulullah.
Keistimewaan penciptaan Rosulullah yang disebutkan dalam hadis, yang diterima secara luas, menjelaskan bahwa awal mula pertama yang dicipta oleh Allah ialah nur (cahaya) Muhammad. Yakni esensi ruhani Muhammad Saw(hlm.40). Figur kerasulannya tidak bisa dipungkiri dalam berbagai spektrum kehidupan. Jelasnya, marilah menjadi manusia yang senantiasa mencari dan berupaya untuk mencintai Allah dan Rosulullah.
Menemukan diri sendiri melalui Allah
Menemukan diri bukan berarti kehilangan. Sebab manusia sepanjang hidupnya senantiasa mencari. Melihat segala aspek kehidupan yang tidak pernah berhenti untuk terus mencari jati dirinya, kadang ditengah jalan kehilangan, kadang pula hilang arah. Kondisi manusiawi ini tidak lain hanya kepada Allah-lah kita kembali, dan hanya kepada Allah-lah kita kembali. Tujuan akhir semua manusia sebetulnya adalah kembali ke sumbernya. Kembali kepada Tuhan, yang dirindukannya. Bahkan orang-orang jahatpun sama (hlm. 53).
Meskipun demikian, dalam proses pencarian diri ini, kita dihadapkan dengan berbagai, termasuk proses mencari pengetahuan adalah hal penting dalam fase ini. Sebab kita sebagai manusia, senantiasa dituntut untuk mencari ilmu untuk melihat kekuasaan Allah. Ilmu dan iman menjadi dua hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ilmu yang disertai I,an ada di dalam hati yang selalu merindu kepada Allah Swt(hlm.123).
Sya’ir ini tidak lain selayaknya minuman, menyegarkan serta membuka mata pembaca bahwa Allah sebaik-baik tempat untuk bercinta. Demikianlah pengharapan, keinginan, kegelisahan, kegalauan, hanya kepada Allah-lah kita menjadikannya tempat bersandar. Wallahu a’lam.
Leave a Review