Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Memotong Silat Lidah Tokoh Salafi: Dari Wahabi ke Salaf ke Islam Murni (1/2)

Memotong Silat Lidah Tokoh Salafi: Dari Wahabi ke Salaf ke Islam Murni (1/2)

DALAM karyanya yang monumental, Laskar Jihad, Noorhaidi Hasan (2019) menggunakan istilah “enklaf” untuk kalangan Salafi yang hipokrit dan oportunis: satu sisi menentang globalisasi, tapi di sisi yang lain mereka tidak mampu membendungnya. Ketika Ja’far Umar Thalib merapat ke pihak yang dianggap rival Salafi, yang membuat Thalib kemudian dibenci pengikutnya sendiri karena tidak konsisten, Noorhaidi tidak pakai istilah ‘silat lidah Salafi’. Terlalu kasar, barangkali.

Sungguhpun demikian, dalam artikelnya yang lain, Salafism, Knowledge Production and Religious Education in Indonesia, Noorhaidi cukup tegas mengatakan, selama beberapa dekade terakhir, Indonesia telah melihat dampak eskalatif dari dakwah transnasional. Berkat dukungan dana besar dari Arab Saudi, kegiatan dukwah yang berfokus pada mempromosikan Salafisme menjamur, yang ditandai dengan bermunculannya yayasan dan madrasah yang berorientasi Salafi di Indonesia.

Paling tidak sejak era Reformasi, menurut Noorhaidi, Salafi telah berhasil membangun aktivisme Islam versi eksklusif otoritas agama di Indonesia. Karena kampanye Salafi yang intensif, Muslim Indonesia juga semakin rentan terhadap pengaruh pemurnian iman yang kaku yang hampir tidak menerima keragaman ekspresi agama dan budaya yang, tantangannya, tidak hanya bagi otoritas keagamaan yang ada, melainkan juga bagi legitimasi organisasi Muslim yang sudah mapan.

Kampanye Saudi berdampak, paling utama, menurut Noorhaidi, pada maraknya literatur Salafi di sekolah dan universitas. Karya-karya terjemahan ‘Aid al-Qarni, Muhammad Nasiruddin al-Albani, dan Muhammad Salih al-Utsaimin menjadi referensi favorit. Dedengkot Salafi percaya bahwa misi utama mereka adalah untuk memurnikan keyakinan dan praktik Muslim Indonesia yang telah lama bid’ah dan sesat, baik itu di pesantren maupun ormas mapan seperti NU dan Muhammadiyah.

Salafi mengajak mereka untuk kembali ke interpretasi yang benar dari Al-Qur’an dan sunnah, sesuai dengan contoh yang diberikan oleh para salaf al-shalih. Tentu ini semua adalah klaim mereka. Untuk tujuan itu, kata Noorhaidi, yang pertama Salafi mengajarkan penyucian (tasfiyyah) dan yang kedua pendidikan (tarbiyyah). Mengapa fakta yang miris ini bisa terjadi, mengapa Muslim Indonesia banyak terjebak? Jawabannya adalah: silat lidah Salafi.

Silat Lidah Salafi

Ketika Peter Beyer (2000: 2) mengatakan bahwa salah satu tesis globalisasi ialah hubungan komunikasi sosial mendunia dan semakin padat, menjadi tidak sulit untuk membaca mengapa proyek Wahabisme sangat sukses di negeri ini. Beberapa waktu lalu, seorang dedengkot Salafi dari Arab Saudi ditanya, dalam satu forum, terkait Salafi yang tertuduh sebagai garis keras di Indonesia. Dengan berwibawa, syekh Salafi tersebut menjawab kira-kira begini,

Istilah Salafi hari ini sudah dijelek-jelekkan. Sehingga dikatakan ada Salafi jihadi, Salafi takfiri, atau apa pun. Padahal, kita memang wajib mengikuti ulama salaf al-shalih. Karena itu jangan ambil pusing dengan istilah yang stigmatis tersebut. Kita berislam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah yang murni. Istilah Salafi tersebut dipakai untuk mencitraburukkan Islam yang murni ini. Kita berlindung kepada Allah.

Di sini jelas tidak mungkin mengulas Salafi secara keseluruhan. Tetapi, buku Al-Buthi, Al-Lamazhabiyyah dan As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islamiy, telah lengkap membahas Salafi dan kelicikan mereka dalam berdakwah.

Yang perlu diulas di sini adalah, mengapa para Salafi tidak mau dianggap Salafi ketika terminologi tersebut sudah jelek di masyarakat? Sebenarnya dari mana istilah Salafi itu sendiri? Dan sebenarnya siapa orang yang mengaku Salafi tersebut? Pertanyaan ini akan memotong silat lidah mereka, membuka kedok bahwa tidak hanya tidak konsisten, mereka juga selalu berbohong untuk kemulusan dakwahnya.

Sebenarnya, gerakan pemurnian Islam adalah produk Muhammad bin Abdul Wahhab. Para pengikutnya disebut Wahhabi, yang memiliki paham puritan ekstrem. Wahhabi sangat kuat, dan menjadi patron politik Ibnu Saud untuk melanggengkan rezim monarkinya melalui doktrin “keharaman memberontak kepada pemimpin”. Kalau begitu, doktrin tersebut cocok untuk Indonesia? Jelas tidak. “Pemimpin” dimaksud juga tergantung legitimasi mereka.

Mereka membuat formula tentang “pemimpin Islam yang harus ditaati”. Politik Saudi diuntungkan dalam hal ini. Ada hubungan timbal-balik di situ: Saudi dapat legitimasi kekuasaan karena Wahhabi meredam suara kritis Muslim, sementara Wahhabi dapat jemaah semakin banyak dengan dana dari Saudi. Namun Salafi tidak puas, dan Wahhabi disebarkan ke seluruh dunia. Dari sini, statemen Noorhaidi di atas (lihat: paragraf kedua) menemukan relevansinya.

Namun kemudian, arus pembaruan Islam membuka kedok mereka secara total. Ini karena spirit tajdid akan menghempas status quo Wahhabi di mata umat Islam—tidak lagi sebagai Islam murni, melainkan sebagai legitimator otoritarianisme Islam. Sejak itu, istilah Salafi banyak mereka pakai sebagai silat lidat ketika berdebat. Mereka bersembunyi dalam topeng ulama salaf (salaf al-shalih) dan kemudian bersembunyi lagi di dalam topeng Islam murni.

Wahhabi-Salafi-Islam

Dari Wahhabi, mereka bersilat lidah jadi Salafi. Padahal, Salafi lebih umum, mereka pengikut Ibnu Taimiyah. Di Indonesia, Salafi itu banyak, di antaranya Wahdah Islamiyah, Jemaah Islamiyah, dan lainnya. Sebagian doktrin dalam Salafi juga ditemukan dalam Muhammadiyah. Salafi menjadi istilah payung dari penentang sesuatu yang dianggap bid’ah, termasuk tradisi lokal yang dianggap tidak dicontohkan Rasul seperti tahlilan, maulidan, dan merokok.

Setelah Salafi kompleks dengan segala jenisnya, dan di antara mereka terlibat terorisme yang kemudian memancing labelisasi Salafi-jihadi atau Salafi-takfiri untuk mereka, Wahhabi kembali terdesak. Mau tidak mau, ia harus menyucikan diri dari istilah Salafi agar umat tetap bisa dikelabui. Mereka pun berpindah ke bagian paling sensitif yang memungkinkan umat tidak berkutik untuk menolak, yaitu ‘Islam murni’.

Islam murni yang dimaksud ialah, dalam klaim mereka, Islam yang paling konsekuen pada Al-Qur’an dan sunnah. Islam yang paling suci karena ikut salaf al-shalih. Islam yang paling lurus karena tidak terjerumus bid’ah, khurafat, dan kesesatan. Islam yang murni, belum terkontaminasi budaya setempat yang menjerumuskan pada kemusyrikan. Silat lidah Wahhabi ke Salafi lalu ke Islam murni inilah yang sangat berbahaya. Orang awam pasti terjerumus tanpa menyadarinya.

Bersambung…

Rujukan

Beyer, Peter. Religion and Globalization. London: SAGE Publications. 2000.

Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: LP3ES Indonesia & KITLV. 2008.

Saat, Norshahril dan Ahmad Najib Burhani (Ed.). The New Santri : Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute. 2020.

Advertisements