Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Indonesia Nihil Serangan Teror Dua Tahun Terakhir, Namun Ancaman Digital Kian Nyata

Indonesia Nihil Serangan Teror Dua Tahun Terakhir, Namun Ancaman Digital Kian Nyata

Kabarumat.co – Dalam dua tahun terakhir, Indonesia tidak mencatatkan satu pun serangan teror, sebuah pencapaian yang membanggakan di tengah dinamika keamanan global. Namun demikian, aparat keamanan mengingatkan bahwa ancaman terorisme belum sepenuhnya hilang, melainkan berevolusi dalam bentuk baru yang memanfaatkan teknologi digital.

Peringatan ini disampaikan dalam seminar bertajuk “Global Terrorism Index (GTI) 2025: Findings and Lessons Learned for Indonesia” yang diselenggarakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, awal April lalu.

Deputi Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Andhika Chrisnayudhanto, mengungkapkan bahwa meskipun data menunjukkan tren positif, kewaspadaan tetap diperlukan.

“Jika melihat secara keseluruhan dari GTI 2025, Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara memang menunjukkan kemajuan. Tapi alat untuk melakukan teror itu tetap ada. Internet sangat kuat, dan pasti dimanfaatkan oleh kelompok radikal,” ujar Andhika dalam paparannya.

Menurutnya, ruang digital kini menjadi medan baru penyebaran ideologi ekstrem, terutama kepada generasi muda yang rentan. Ia menekankan bahwa fenomena pelaku tunggal (lone wolf) menjadi tren global yang juga mengancam Indonesia.

“Tren yang terlihat dari GTI menunjukkan bahwa ancaman teror kini lebih adaptif terhadap zaman. Di negara-negara Barat, banyak serangan dilakukan oleh pelaku muda yang bergerak sendiri. Mereka sulit dimonitor karena bekerja secara senyap,” tambahnya.

Hal senada diungkapkan oleh Steve Killelea, pendiri Institute for Economics and Peace (IEP), lembaga yang merilis laporan GTI. Ia menyebut bahwa 92 persen kematian akibat teror di dunia disebabkan oleh pelaku tunggal.

“Kami mengamati bahwa media sosial, khususnya grup percakapan tertutup dan gim online, menjadi ruang rekrutmen baru yang sulit diawasi. Proses radikalisasi yang sebelumnya bisa memakan waktu 16 bulan, kini bisa terjadi hanya dalam hitungan minggu,” jelas Killelea.

Sementara itu, dari pihak kepolisian, AKBP Mayndra Eka Wardhana, Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, menggarisbawahi bahwa tayangan konflik kemanusiaan, seperti yang terjadi di Timur Tengah, berpotensi memicu radikalisasi instan.

“Jika seseorang hanya punya niat tapi tak ada kesempatan, mungkin belum menjadi ancaman. Tapi jika dipicu oleh tayangan yang sangat tidak manusiawi, ditambah provokasi dan hoaks, maka kemarahan itu bisa melahirkan aksi teror,” terang AKBP Mayndra.

Ia menekankan bahwa peran masyarakat, terutama orang tua dan komunitas lokal, menjadi pagar pertama dalam mendeteksi gejala radikalisasi.

“Biasanya, seseorang yang mulai terpapar paham radikal akan menunjukkan perubahan sikap dan menjauh dari komunitas. Maka dari itu, orang tua harus proaktif mengawasi, dan lingkungan sosial juga harus peka,” tegasnya.

Meski Indonesia dinilai berhasil menjaga stabilitas keamanan, laporan GTI 2025 tetap mencatat Indonesia dalam peringkat ke-30 negara dengan tingkat ancaman teror menengah—turun dua peringkat dari tahun sebelumnya. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh masuknya data serangan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua ke dalam indikator GTI.

BNPT menilai bahwa perubahan wajah terorisme akibat digitalisasi menuntut pendekatan baru dalam pencegahan. Literasi digital, penguatan ketahanan keluarga, dan kolaborasi lintas sektor dianggap menjadi kunci untuk menghadapi tantangan terorisme masa depan.